Dalam Gang-gang, Kami Menjaga Kewarasan
Dengan caranya sendiri, orang-orang kampung ini memelihara keasrian itu, antara lain, lewat sastra dan seni. Mereka berjuang demi kewarasan.
Kampung selama ini dianggap sebagai ruang yang ”tertinggal” di kota. Padahal, di kampunglah nilai-nilai luhur terjaga dan berkembang asri. Dengan caranya sendiri, orang-orang kampung ini memelihara keasrian itu, antara lain, lewat sastra dan seni. Mereka berjuang demi kewarasan.
Sabtu (21/11/2020) pagi pukul 10.36, Redy Eko Prastyo mengirim tangkapan layar ke grup Whatsapp Jaringan Kampung (Japung) Nusantara tentang kunjungan Komunitas Lisan dari Kampung Literasi ke sebuah kampung di Tarakan, Kalimantan Utara. Kunjungan bagian dari program Dongeng Keliling Kampung.
Grup WA Japung Nusantara menjadi wadah komunikasi antarpegiat kampung, para praktisi, dan akademisi dalam wilayah strategis. Meski begitu, anggota grup juga gemar melucu sehingga nyaman berada di sana. Anggota grup tersebar di berbagai daerah, termasuk Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur. Redy adalah penggeraknya. Informasi-informasi kecil selalu dibagi dan menjadi penghangat diskusi.
Redy juga membentuk grup WA kecil Pembakti Kampung yang berisi rekan-rekan eksekutor di banyak kampung. Dari 239 anggota grup, sebanyak 197 orang menjadi admin. Egaliter sekali grup ini.
Gerakan itu bermula saat Redy yang asli Situbondo dan kuliah di Universitas Brawijaya ini melihat Kampung Cempluk, Kota Malang, sebagai komunitas yang berdaya melawan kepungan urbanisasi. Warganya yang semula sebagai produsen hasil kebun dan sawah beralih menjadi pekerja di bidang jasa ketika sawah mereka diborong pengembang yang kemudian mengepung kampung.
Kemudian Redy membentuk grup WA, menghubungi rekan-rekannya sesama aktivis budaya, akademisi, dan perangkat desa setempat. ”Saya bilang ini grup pembakti kampung semacam PSR (personal social responsibility). Lalu bergabung Didik Nini Thowok, Trie Utami, dan lain-lain. Kami sangat kaya (gagasan) dan saling menguatkan. Ternyata kampung dengan begitu, bisa menjadi stasioner ide. Laboratorium hidup. Akhirnya teman-teman di pulau lain tertarik dengan konsep ini,” kata Redy.
Gagasan Redy ini yang, antara lain, menarik Prof Melani Budianta untuk melihat kampung dengan cara yang benar sebagaimana dia tuangkan dalam Pidato Kebudayaan, Dewan Kesenian Jakarta. Pidato bertajuk ”Lumbung Budaya di Sepanjang Gang” itu, antara lain, mengkritik cara kita melihat kampung yang terlalu mengelu-elukan kota.
Keresahan berhimpun
Salah satu titik penting kampung sebagai lumbung kebudayaan adalah kesadaran literasi. Berikut ini sebuah cerita tentang kesadaran itu.
Pada bulan puasa dua tahun lalu Demitria Budiningrum (44) jalan-jalan ke Kampung Warna-warni Jodipan, Malang. Ini kampung kumuh yang kemudian disulap menjadi kampung penuh warna dan menjadi tujuan wisata. Demi, begitu Demitria akrab disapa, tergoda ke sana, antara lain, lantaran maraknya informasi tentang daya tarik wisata kampung ini.
Sesaat dia melihat keceriaan warga, mulai dari penjaga tiket sampai penjual makanan, di lorong-lorong gang penuh warna itu. Dia mendapati warga beraktivitas sebagaimana di kampung, seperti anak-anak bermain berlarian, ibu-ibu mencuci atau duduk di teras rumah. Adapun para pelancong berlalu begitu saja di depan mereka tanpa permisi sebagai bentuk sopan-santun. Demi melihat ada yang ganjil.
”Mungkin mereka (pelancong) berpikir ini tempat piknik, bukan depan rumah warga. Mereka memfoto orang nyuci, tanpa permisi. Ini baik enggak, sih?” kata Demi yang makin jauh meniti gang, makin bertumpuk keresahannya.
Keresahan tersebut dia tuangkan dalam cerpen ”Pintu Tertutup di Kampung Warna” yang dia unggah di laman Facebook beberapa hari setelah kunjungan itu. Cerpen ini berkisah tentang tokoh ”Aku” yang risi dengan kedatangan banyak orang ke kampungnya. Baginya, para tamu itu tidak santun lantaran masuk gang tanpa permisi dan mengganggu keasyikan cucunya bermain. Namun, sikapnya dianggap mengganggu tamu dan akhirnya dia dikurung oleh warga.
Demi yang seorang guru ini mengutarakan, mungkin saat ini warga baik-baik saja, tetapi bisa jadi nilai-nilai guyub, sopan-santun, dan sejenisnya itu akan hilang oleh kepentingan pariwisata. Demi tidak sendirian. Di gang-gang lain di berbagai kota, sekelompok kecil orang mempunyai keresahan serupa lalu berhimpun untuk berbuat sesuatu.
Di Bandung, di belakang Terminal Ledeng, terdapat gang sempit menuju sebuah lapangan yang mampu menampung 250 orang. Inilah markas Teater Celah-celah Langit (CCL) yang dimotori Iman Soleh (55). Teater ini menggali cerita dari warga dan memberi mereka kesempatan untuk memainkannya.
Mereka, di antaranya adalah tukang bangunan, ibu rumah tangga, anak-anak, sopir, buruh, maupun mahasiswa, dilatih menulis, membaca naskah drama, akting, sampai memainkan alat musik. Pelan-pelan tumbuh kesadaran tentang diri dan lingkungan sekitarnya, tentang etos hidup, semangat tolong-menolong, dan pemberdayaan diri.
Keresahan yang melilit selama ini mereka tulis dalam bentuk lakon teater, puisi, cerpen, hingga lagu. Sebutlah lakon teater Para Pencari Air, Bedol Desa, atau Tanah Ode Kampung Kami. Yang terakhir ini berkisah tentang nasib warga yang sulit mendapatkan sawah lantaran peraturan yang timpang.
Suara serupa mereka teriakkan dalam lagu ”Petani” yang diciptakan Jaki (32), seorang kuli bangunan, sementara Asep Solohin alias Asbul (32) yang sehari-hari sebagai teknisi CCTV menjadi vokalis.
Iman mengatakan, kampung harus hidup oleh kesenian, kebudayaan, untuk menjaga jati dirinya. Dalam konteks warga Ledeng, jati diri sebagai orang Sunda yang mencintai kebersamaan dan kedamaian. ”Dengan begitu, solidaritas sosial lebih kuat,” kata Iman.
Semangat serupa diembuskan Edeng Syamsul Ma’arif (45) yang bersama rekan-rekannya mendirikan komunitas Lingkar Jenar pada 2017 di Cirebon. Komunitas ini banyak menggelar diskusi, bedah buku, hingga menulis di media massa. Perhatian utamanya pada sastra.
Gerakan ini masuk dalam perlawanan terhadap cara berpikir dan sikap yang instan dan dangkal dalam memahami realitas sosial. ”Dengan bahasa lain, perlawanan terhadap kemalasan dan gede rumangsa. Banyak yang tidak rendah hati. Terlalu banyak pintar bicara, tetapi enggak sinkron,” kata Edeng.
Lihat juga Kampung Piket di Desa Sukatenang, Kecamatan Sukawangi, Kabupaten Bekasi. Di sini lahir lumbung kebudayaan kampung dari aktivisme yang dirintis Komarudin Ibnu Mikam (49) melalui Sekolah Alam Prasasti sejak 2017. Desa Piket awalnya sebuah desa sunyi, tetapi kini terdesak pula oleh pelebaran kota sebagai kawasan industrial.
”Suatu misal, ketika turun hujan sewaktu proses belajar dan warga belajar memutuskan ingin bermain hujan-hujanan, maka kami bermain hujan-hujanan,” kata Komarudin, Kamis (19/11/2020).
Setelah hujan-hujanan, mereka berdiskusi tentang apa saja. Diskusikan tentang hujan bisa sampai pada persoalan kritis mengenai perkembangan kampung kota. Diskusi mengembang ke mana saja, layaknya sastra lisan yang menguar polos dari warga kampung.
Kecil dan lincah
Komunitas-komunitas ini biasanya mungil, artinya hanya digerakkan oleh beberapa orang. Edeng bahkan hanya punya dua rekan yang resmi sebagai anggota Lingkar Jenar. Namun, mereka liat dan lincah. Tatkala terbentur dengan satu cara, mereka dengan cepat beralih ke cara lain yang tak kalah strategis. Lingkar Jenar pernah menggandeng kampus untuk menggelar diskusi, tetapi di satu titik mentok lantaran muncul pihak yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka.
Edeng lalu membujuk seorang pemilik kedai kopi untuk memberinya ruang mengumpulkan anak muda guna berdiskusi. Dia meyakinkan bahwa pemilik kedai mempunyai tanggung jawab terhadap penguatan nalar konsumen. Setiap orang yang ikut diskusi Lingkar Jenar tetap membayar sesuai dengan harga makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Dalam sekali diskusi, bisa terkumpul sampai 50 orang. Hasil diskusi itu ditulis dan dimuat di media massa yang dengan demikian turut mempromosikan kedai kopi tersebut. ”Risikonya, ya, mungkin kami duduk lebih lama dibanding pelanggan lain. Itu saja,” kata Edeng.
Acara itu digelar setiap Rabu malam membahas tulisan peserta yang dimuat di media. Dalam setiap sesi, salah satu menjadi pembahas, satu orang lagi melaporkan diskusi untuk ditulis di media daring. Di luar itu juga ada bedah buku atau novel. Dengan demikian, muncul dialektika gagasan.
Diskusi di kedai kopi rupanya tidak selalu mulus. Komunitas ini ”diusir” lantaran dianggap mengganggu pelanggan lain. Edeng dan rekan-rekan kemudian pindah ke kedai kopi lain hingga dua tahun kemudian ”diminta” pindah juga. Diskusi akhirnya pindah ke rumah Edeng sampai sekarang.
”Saya sedang merancang untuk membuat kedai kopi sendiri,” kata Edeng tak patah arang agar diskusi terus berjalan.
Keuletan seperti Edeng itu dimiliki Iman dalam bentuk lain. Tatkala pandemi mengurung warga untuk tetap di rumah saja, dia tak ingin aktivitas berkesenian mati sama sekali. Senin (16/11/2020), Iman tenggelam dalam latihan lakon Ozone karya Arifin C Noer. Lakon ini dipentaskan pada Rabu (18/11/2020) malam hanya dengan menghadirkan tiga pemain dan penonton tak kurang dari 20 orang di lapangan yang biasanya menampung 250 orang.
Iman juga melobi ketua RT dan ketua RW setempat yang akhirnya memberikan izin kepada beberapa warga yang ingin menonton pertunjukan Bring-Brung, kesenian tradisi Sunda yang dimainkan dengan iringan tabuhan rebana berisi doa dalam bahasa Arab dan puisi dalam bahasa Sunda. Para penampilnya sebanyak 17 orang berusia mulai 5 tahun hingga 85 tahun. ”Biasanya ditampilkan dari malam sampai subuh, tapi kali ini 1,5 jam saja,” kata Iman.
Di kantong-kantong kampung itu, mereka liat menjaga nilai, memberdayakan diri, dan menolak tertinggal. Di gang-gang, mereka menjaga kewarasan.