Bekapan Kehangatan Rajutan
Kehangatan produk buatan tangan yang mengingatkan memori pada nenek seperti crochet atau rajutan lantas kembali dilirik.
Era pandemi melahirkan gaya hidup yang cenderung melambat. Konsumen mulai meninggalkan segala sesuatu yang serba instan dan cepat. Kehangatan produk buatan tangan yang mengingatkan memori pada nenek seperti crochet atau rajutan lantas kembali dilirik.
Tas-tas dari crochet dengan sentuhan personal menjanjikan sebuah nilai yang menghargai proses. Karya tas crochet ini, antara lain, dihadirkan oleh label Egon yang dilahirkan oleh duo sahabat Trisnaharti dan Hanifia.
Berawal dari kecintaan pula, Inrara Sakib menghadirkan label Terimakasih Kembali yang menyuguhkan keindonesiaan dalam rupa beragam aksesori mode, termasuk tas buatan tangan. Berbeda dengan tas rajutan dengan model standar yang umumnya beredar di pasaran, Egon melahirkan tas unik yang bentuknya beragam, mulai dari vas bunga hingga lampu gantung chandelier.
Wujud unik tas rajut ini terbukti digandrungi anak-anak muda dengan rentang usia 20-an hingga 30-an tahun. Selain di Jakarta dan Bali, tas rajut Egon pun bisa ditemui di Korea Selatan. Tas rajut dari Terimakasih Kembali pun menemukan pasarnya, yaitu penggemar kerajinan tangan, pencinta produk tradisional yang kontemporer, dan benda artisan.
Tas totebag yang dijuluki ”Dancing Fringe Raffia”, misalnya, dibuat dari rajutan rafia khusus mode yang pernah dipamerkan di ajang New York Now di Amerika Serikat. Terinspirasi dari tas rumbai di Bali, tas yang dibuat khusus untuk pasar ekspor ini menghadirkan warna ombre yang merupakan percampuran banyak elemen warna.
Tas yang berwarna hijau memberikan gradasi semua warna hijau serupa tanaman padi di sawah. Tas dari rafia ini juga pernah dibawa ke pergelaran busana Nusantara Fashion Festival yang digelar virtual.
”Harus dirajut hati-hati karena fragile. Cara memasang rumbainya yang agak tricky. Harus bisa jadi fashion statement dan benar-benar terlihat familiar, tapi modern. Kenapa enggak di-crochet dan dikasih rumbai dipilih warna yang alam? Hasilnya intriguing: itu dari apa bahannya?” kata Inrara ketika dihubungi lewat Zoom, Jumat (6/11/2020).
Selain ”Dancing Fringe Raffia”, Terimakasih Kembali menghadirkan tas crochet seperti mesh bag berupa tas jaring dan tas pouch. Dibuat dari rajutan berbagai benang aneka warna, tas pouch ini tampil indah serupa lukisan. Koleksi pouch bag ini juga bisa diletakkan di dalam tas kawung transparan yang dibuat dengan teknik makrame.
Produk Terimakasih Kembali bisa dijumpai di tokonya di Senayan Trade Center, Jakarta, beberapa toko digital, dan ekspor business to business. ”Baik perhiasan maupun fashion accessories adalah pelengkap. Itu mentransformasi kepribadian kita, apalagi jika yang kita pakai bisa berbicara. Itu komunikasi kita sebelum kita bicara. Menonjolkan kepribadian dan memberikan kepercayaan diri,” tutur Inrara.
Warna menyala
Menyasar pasar milenial, Egon lantas hadir dengan warna-warni ceria yang cenderung menyala dengan sentuhan neon. Setiap tasnya semakin terasa personal karena menghadirkan kisah-kisah unik. Sebagai penggemar film, Trisnaharti dan Hanifia juga menuangkan impresinya terhadap film yang ditontonnya ke dalam tas rajutan.
Koleksi tas bertajuk ”De Jour”, misalnya, merupakan manifestasi fisik dari dua judul film karya Catherine Deneuve, yaitu Belle De Jour & Peau d’âne. Tas satin berdetail crochet dengan warna lembut ini memiliki aksen pegangan berwarna kontras neon. Lain lagi dengan tas rajut Dejs 03 yang lahir dari ide keranjang piknik ditambah dengan tekstur boble dan warna cerah.
Kehadirannya diharapkan bisa membawa kegembiraan piknik di rutinitas hidup sehari-hari. ”Egon ingin mengembalikan keceraian ketika berpakaian di pagi hari. Menjadi sesuatu yang lebih melengkapi gaya berpakaian, menjadi statement,” kata Hanifia.
Rajutan juga hadir dalam rupa topi, ikat rambut, hingga scarf. Mayoritas produk rajut Egon dibuat dari poliester dan nilon yang terbukti tahan lama dengan warna manis. Agar harga tas buatan tangan ini bisa dijangkau oleh pasar anak muda, Egon berstrategi dengan menumpangtindihkan beragam teknik. Tas egon lantas dijual pada rentang harga Rp 300.000 hingga Rp 900.000.
Tak melulu rajutan, Egon juga menghadirkan tas yang lebih ringan yang dijuluki Après dari bahan suede metalik dengan tetap diberi sentuhan rajutan serta detail hand-beads. Suede metalik ini merupakan bahan sisa pabrik.
”Sisa garmen jadi kita berusaha fokus di bahan itu,” tambah Hanifia. Selain warnanya yang muda dan bentuknya yang unik, generasi milenial menyukai tas rajutan ini karena mereka menghargai proses pembuatannya.
Egon beberapa kali juga membuat pelatihan merajut, termasuk pelatihan virtual di masa pandemi. ”Gara-gara work from home, orang mulai tertarik belajar merajut. Kita kebiasaan serba cepat. Ketika ada sesuatu yang ada prosesnya seperti rajut dengan warna yang disuka, jadi salah satu alasan kenapa orang tertarik rajut. Gerakan repetisinya juga membuat lebih calming,” tutur Hanifia.
Jatuh hati
Sekitar tahun 2017, Hanifia pertama bertemu Trisnaharti sebagai rekan sekantor yang sama-sama menyukai tas eceng gondok. Berawal dari sama-sama berburu lalu berjualan tas eceng gondok yang lantas disingkat egon itu, maka muncul label Egon pada 2018.
Dari tas eceng gondok, mereka lantas lebih tertarik mengembangkan tas crochet. Karena dibuat eksklusif dengan tangan dan bukan produk massal, Hanifia yang berlatar belakang desainer mode memilih masih mendesain sendiri produk tasnya.
Egon lantas bekerja sama dengan sekumpulan ibu-ibu perajin rajutan yang berdomisili di Yogyakarta. Beberapa teknik seperti hand-beads masih dikerjakan sendiri oleh Hanifia.
”Ini kerajinan turun-temurun dari nenek saya. Saya menganggap merajut ini sebagai cara untuk therapeutic moment. Merajut memberi efek yang sama seperti kayak melukis atau pergi ke gunung. Sampel dan barang yang kecil masih dari saya yang mengerjakan,” kata Hanifia.
Hal serupa dijalani oleh Inrara yang belajar teknik dasar merajut dari ibu dan neneknya. Setelah berhenti bekerja di bidang keuangan di sejumlah perusahaan selama lebih dari 25 tahun, Inrara memutuskan menekuni hasrat pribadi di industri kreatif. Ia belajar merangkai bunga ikebana dari kecil dan kemudian kembali mempelajari desain bunga ini di Belanda dan London.
Berawal dari membuat gelang dari sarung bugis, lantas kalung dari tenun kalimantan, produk Terimakasih Kembali terus berkembang dengan benang merah keindonesiaan. ”Walau menggali heritage, tapi desain harus kontemporer. Dalam membangun brand ingin membuat sesuatu yang personal, tapi bermakna. Enggak ke mass market,” tambahnya.
Lewat sentuhan rajutan warisan nenek, kehangatan kembali dihadirkan. Pandemi yang membuat hidup seolah kembali lambat menjadi seirama dengan tas rajutan yang dibuat dengan kenangan ini. Seperti kata Hanifa: apa pun yang dibuat dengan cinta akan terlihat keindahannya.