Kreativitas sines tidak berhenti karena pandemi. Mereka menggunakan pengalaman isolasi mandiri sebagai ide film dan serial terbaru.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa pandemi yang serba terbatas tidak menghalangi para sineas untuk berkarya. Pengalaman dan pemikiran mereka selama pandemi dituangkan dalam film atau serial bertema isolasi mandiri.
Penyedia layanan video on demand GoPlay merilis serial komedi terbaru berjudul Work from Home pada awal November 2020. Serial ini bercerita tentang karyawan-karyawan sebuah rumah produksi yang harus bekerja dari rumah karena pandemi. Rapat praproduksi, diskusi naskah, hingga pemilihan pemeran (casting) pun terpaksa dilakukan secara daring.
Salah satu penulis skenario Work from Home, Ally Alexandra, pada Rabu (11/11/2020) mengatakan, karakter-karakter dibuat senyata mungkin. Karakter pada serial ini, antara lain, adalah Gunawan (diperankan Mike Lucock), lelaki paruh baya yang gagap teknologi; Amanda (Rachel Amanda), karyawan muda yang sering disalahkan atasan; dan Kania (Shareefa Daanish), ibu yang kewalahan mengurus pekerjaan dan anak di rumah.
Para pemeran dipilih melalui proses casting daring. Adapun para pemeran serial harus dapat berakting secara mandiri di depan kamera. Para pemeran tidak saling bertemu, seperti proses produksi film pada umumnya.
”Proses pengerjaannya cukup sulit. Saya rasa di Indonesia belum pernah ada yang membuatnya (karya seperti ini) untuk karya komersial. Kami berdiskusi panjang hingga akhirnya ketemu satu cara untuk membuat serial ini,” kata sutradara Work From Home, Reka Wijaya.
Salah satu aktris di serial ini, Rachel Amanda, mengatakan, proses pengambilan gambar sangat berbeda dibandingkan dengan film-film lain. Jika biasanya ia bisa bertatap muka dan beradu pandang dengan lawan main, kini ia harus berakting hanya dengan melihat lensa kamera di depan wajah.
Menurut Head of Creative Development GoPlay Chicha Dipsy, produksi serial ini terinspirasi dari pengalaman kolektif publik dan tim internal pada masa awal pandemi. Pandemi dinilai punya sisi lain yang menarik, relevan, dan menghibur.
”Kami berpikir, mengapa tidak bikin sesuatu yang sesuai dengan kondisi nyata saat ini? Namun, produksinya tetap mematuhi protokol kesehatan,” ucap Chicha.
Sementara itu, menurut Vice President Marketing GoPlay Sasha Sunu, GoPlay punya visi untuk meningkatkan kualitas perfilman dan industri televisi Indonesia. Menggarap serial ini dinilai sebagai salah satu kiat mendorong kreativitas kepada kreator.
Karya baru
Pengalaman isolasi mandiri juga dijadikan tema utama dalam film Quarantine Tales, hasil kerja sama Bioskop Online dan Base Entertainment. Film ini akan ditayangkan sebagai film original di Bioskop Online. Yang menarik, film ini terdiri dari lima cerita yang digarap oleh lima sutradara berbeda.
Pada kesempatan terpisah, produser Base Entertainment, Tanya Yuson, mengatakan, setiap cerita berdiri sendiri. Yang menyambungkan kelima cerita dalam satu film adalah pengalaman isolasi mandiri selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlangsung.
Kelima sutradara diberi kebebasan mengeksplorasi ide cerita sesuai dengan pengalaman dan pandangan masing-masing. Adapun sutradara yang terlibat adalah Ifa Isfansyah (yang membuat kisah berjudul Cook Book), Dian Sastrowardoyo (Nougat), Jason Iskandar (Prankster), Aco Tenri (Happy Girls Don’t Cry), dan Sidharta Tata (The Protocol).
”Kami ingin mengulas kehidupan baru ketika semua orang mengalami pengalaman yang sama, tidak hanya di Jakarta, tetapi di seluruh dunia. Pengalaman ini menarik jika dilihat dari berbagai perspektif para kreator film,” kata produser dan CEO Base Entertainment Shanty Harmayn. ”Inspirasi film ini datang pada awal masa PSBB. Saat film selesai, ini akan menjadi catatan akhir tahun 2020,” ujarnya.
Dalam kisah Cook Book, sutradara Ifa Isfansyah berkaca pada pengalaman isolasi mandiri di rumah bersama keluarga selama pandemi. Mereka yang semula jarang berkumpul di rumah karena kesibukan kini sering berkomunikasi soal makanan. ”Memasak jadi aktivitas yang dilakukan hampir setiap hari di keluarga saya. Mulai dari memikirkan menu sampai berpikir besok mau makan apa,” ucapnya.
Adapun Cook Book bercerita tentang seorang koki yang harus menyelesaikan buku resep yang ia tulis. Karakter koki diperankan Verdi Solaiman.
Kami ingin mengulas kehidupan baru ketika semua orang mengalami pengalaman yang sama, tidak hanya di Jakarta, tetapi di seluruh dunia. Pengalaman ini menarik jika dilihat dari berbagai perspektif para kreator film.
Dian Sastrowardoyo dalam cerita Nougat berkisah tentang tiga kakak-beradik yang tidak bisa saling bertatap muka. Mereka bertemu secara berkala lewat panggilan video selama bertahun-tahun. Kendati panggilan video tidak sepenuhnya membuat orang merasa terhubung, keluarga diyakini punya cara untuk membangun jalinan emosi satu sama lain.
Sidharta Tata pada kisah The Protocol membahas tentang perampok yang berhasil kabur, tetapi ditinggal mati rekannya saat dalam perjalanan. Sang perampok kemudian berusaha mengamankan diri, memakamkan temannya dengan layak, sambil tetap mematuhi protokol kesehatan. ”Genre kisah ini adalah black comedy,” katanya.
Jason Iskandar dengan Prankster membahas soal lelucon atau prank yang kerap dilakukan pegiat Youtube ataupun vlogger di dunia maya. Menurut dia, ada lelucon dipahami secara abu-abu dengan batas etika yang kabur. Itu karena, lelucon dilakukan untuk menghibur, tetapi di sisi lain bisa menyakiti orang yang dikerjai.
Sementara itu, Aco Tenri membuat Happy Girls Don’t Cry yang berkisah mengenai konten hadiah (give away) yang kerap dilakukan para pegiat media sosial. ”Ceritanya tentang keluarga miskin yang kehilangan semua saat pandemi, baik uang maupun pekerjaan. Suatu hari salah seorang anggota keluarga memenangkan give away. Mereka lalu berpikir jika lebih baik hadiahnya dijual atau tidak. Pertanyaannya menjadi, lebih penting makan hari ini atau rencana kita besok?” ujar Aco.