Kreativitas Sineas Memanfaatkan Ruang Gerak yang Terbatas
Tontonan film lokal hadir menyapa penggemar meski dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19. Saat mayoritas platform tontonan berpindah secara daring, semangat para sineas diuji untuk tetap menghasilkan film berkualitas.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Devie Fitriana (23) masih sulit berlalu dari ingatan tentang film berjudul Story of Kale yang ditontonnya pada Kamis (29/10/2020). Cerita tentang kekasih yang mencari jati diri itu sangat dekat baginya, terutama pada masa-masa ketika masih di bangku sekolah.
Beberapa detail film itu masih dia ingat, terutama sebagian adegan yang berkaitan dengan ala pacaran terlalu menuntut dan saling melukai. Dia juga ingat betul detail dari tokoh Kale, pemeran utama yang dibawakan oleh Ardhito Pramono. Gerak-gerik tokoh Kale kerap Devie kaitkan dengan film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI), yang memiliki alur kisah berkelanjutan.
Devie merasakan kesan mendalam meski tidak menonton film itu di bioskop. Dia menonton lewat situs bioskoponline.com, yakni situs layanan tontonan yang mayoritas didominasi film lokal. Film Story of Kale yang ditontonnya itu adalah salah satu konten eksklusif besutan platform tersebut.
”Aku teringat banget detail filmnya, terutama soal cerminan hubungan berpacaran yang terlalu menuntut. Ceritanya jadi terasa dekat banget, ditambah lagi lagu tema di filmnya bagus-bagus,” ujar perempuan asal Depok, Jawa Barat, saat dihubungi, Sabtu (31/10/2020).
Cerita Devie mungkin mewakili sedikit cerita tentang kisah kekaguman terhadap film Story of Kale. Ketika film tersebut dirilis secara daring pada 23 Oktober kemarin, sambutan penggemar sangat meriah hingga menghasilkan ratusan ribu penonton. Sutradara film Story of Kale, Angga Sasongko, menyebut jumlah penonton telah melebihi 100.000 penonton per 27 Oktober 2020.
Sambutan warganet di media sosial pun meriah. Selain menyimak Story of Kale, warganet juga menyoroti platform bioskoponline.com yang membawa sejumlah film favorit. Ayu Rahmatika (26), seorang pengguna platform, menjadi terbiasa dengan nonton film dari laptop secara berbayar.
”Aku baru pertama ini sih menonton film dari laptop dengan cara bayar per satu film. Agak berbeda dengan layanan video on demand seperti Netflix, tetapi masih lumayan terjangkau,” tutur Ayu.
Menurut Ayu, platform konten film lokal bisa bersaing dengan layanan daring internasional di tengah pandemi. Meski begitu, dia berharap ada nilai lebih yang terus ditawarkan oleh sineas lokal.
President Digital Business Visinema Group Ajeng Parameswari menuturkan, film Story of Kale menjadi upaya lini perfilman untuk tetap berdaya di tengah pandemi. Capaian lebih dari 100.000 penonton dalam waktu kurang dari sepekan turut memantik semangat para sineas di tengah keterbatasan.
Tim produksi Visinema mengembangkan cerita tentang tokoh Kale, yang masih terhubung dalam cerita besar film berjudul NKCTHI. Ajeng mengatakan, film Story of Kale menjadi jawaban terhadap tokoh Kale yang dipertanyakan banyak penggemar sekaligus sebagai komitmen untuk terus berkreasi selama pandemi.
Penulis naskah Story of Kale, Irfan Ramli, mengakui banyak keterbatasan yang memengaruhi proses pengembangan cerita dan produksi film. Ini menjadi pengalaman pertama dirinya menjalani proses pengembangan cerita secara daring yang sangat menguras energi.
”Kalau dibilang terbatas, ya, memang situasinya seperti ini. Tetapi bagaimana kita sebagai sineas, kita harus cari bentuk rerus-menerus, bagaimana cara untuk merespons keterbatasan ini,” ungkap Irfan dalam konferensi pers secara daring, 21 Oktober 2020.
Keterbatasan pandemi mengajarkan para sineas tentang cara beradaptasi. Sineas dan pendiri Wahana Kreator Nusantara, Salman Aristo, berupaya menggeser pola pikir bahwa sebenarnya tidak semua aktivitas perfilman berhenti karena pandemi.
Hanya operasional bioskop yang kini terhenti. Namun, proses pengembangan naskah dan persiapan produksi masih bisa berjalan. Begitu pula proses penyuntingan gambar dan suara yang juga masih bisa berlanjut. Selama pemutaran bioskop masih dianggap berisiko, proses praproduksi dan pascaproduksi semestinya bisa bekerja lebih matang.
”Ibaratkan sirkulasi perfilman sebagai suatu sistem perpipaan. Bioskop yang belum buka ini saya ibaratkan sebagai saluran yang tersumbat. Ketika tersumbat, masih ada saluran yang lain, kan? Di tengah situasi pandemi, semestinya sineas bijak mempertimbangkan opsi ini,” ujar Salman dalam diskusi webinar Dewan Kesenian Jakarta bertajuk ”Film Indonesia di Rimba Maya”, 20 Oktober 2020.
Salman menyarankan, opsi pemutaran film secara daring menjadi salah satu kanal untuk distribusi film selama pandemi. Seiring pandemi, dunia seakan makin bergeser ke bisnis film streaming secara daring. ”Pergeseran ini memang akan terjadi, kok. Ayo, kita sikapi dengan strategi dan semangat untuk memuaskan penonton film,” ujarnya.