Koki Belia Antirebahan
Pilihan menjadi produktif itu, antara lain, terlihat karena para remaja yang berkreasi kuliner ini menggunakan keuntungan usaha mereka untuk membeli peralatan usaha, ditabung, atau diserahkan kepada orangtua.
Ketimbang tidur-tiduran atau terpaku menatap gawai, sejumlah remaja produktif mengisi masa pandemi. Mereka menjadi juru masak dan menjual makanan olahan mereka. Para juru masak muda ini pun tak lantas menuruti hasrat konsumtif.
Pilihan menjadi produktif itu, antara lain, terlihat karena para remaja yang berkreasi kuliner ini menggunakan keuntungan usaha mereka untuk membeli peralatan usaha, ditabung, atau diserahkan kepada orangtua.
Gadis Anatolia (17) menata sekitar 50 kukis di meja. Ia memasukkan cookies and cream, original, dan birthday cake ke dalam kotak karton cantik yang dilapisi kertas minyak. Warga Pondok Indah, Jakarta, itu sudah membuat kue sejak pukul 06.30.
Gadis selesai memanggang kukis yang dipesan tujuh konsumen itu sekitar pukul 12.00. Ia tinggal menunggu ojek daring untuk mengantar order tersebut. ”Nama kukisnya Ged’s Baked Goods. Aku promosiin lewat medsos,” ujarnya, Sabtu (31/10/2020).
Ia memproduksi kukis sejak akhir Agustus 2020. Birthday cake seharga Rp 16.000 per potong paling banyak dipesan. Kue lain, yakni cheese cake seharga Rp 30.000 per potong. ”Lalu, classic dan cookies and cream, masing-masing Rp 15.000 per potong,” katanya.
Aroma kukis yang menguar spontan menggugah selera. Birthday cake terasa empuk dengan krim di dalamnya. Sementara original tak kalah lembut dengan cokelat yang lumer. ”Aku pilih makanan karena bisa bikin sendiri. Kalau baju, misalnya, agak ribet beli di sana-sini,” katanya.
Jika pesanan sedang banyak, Gadis bisa menjual 70 potong sekali menerima order. Biasanya, pesanan dikerjakan pada akhir pekan.
”Aku jadi ngerti kalau orangtua bilang cari uang enggak gampang. Jadi, mikirnya lebih luas. Dulu, aku anggap sepele. Sekarang, kerasa capeknya,” katanya sambil tersenyum.
Gadis pun menggunakan hasil penjualan kuenya dengan bijak. Siswi SMA Labschool Kebayoran, Jakarta, itu tak lama lagi kuliah. ”Uangnya ditabung dulu. Mudah-mudahan bisa bantu bayar kuliah. Lumayan buat nambah-nambahin,” ujarnya semringah.
Ia pun belajar mengalahkan ketakutannya menjalankan usaha. Gadis mengaku khawatir jika modal sudah dikeluarkan tetapi tak mendapatkan untung. ”Bisnisku masih kecil. Takut bahan-bahan kue enggak kepake. Aku didorong mama. Katanya, enggak apa-apa. Namanya juga usaha,” ujarnya.
Keisha Safina (15) juga tak mau menyia-nyiakan waktu di masa pandemi. Siswi SMA Negeri 6 Depok, Jawa Barat, itu konsisten menawarkan makanan di media sosial sejak awal Juli 2020. Ia mengunggah foto brownies, kani roll mentai, asinan buah, ketan hitam saus santan, dan nasi mandi basmati.
”Menu favorit, nasi mandi basmati. Harganya untuk porsi personal Rp 60.000 dengan kambing bakar. Kalau dengan ayam bakar, harganya Rp 40.000,” katanya. Ia juga membuat nasi mandi basmati jumbo hingga tumpeng dengan paduan kambing dan ayam bakar.
”Sekitar 50 persen konsumen pesan nasi mandi basmati. Brownies dengan rasa campuran choco chips, Toblerone, Kitkat, dan almon juga banyak yang suka,” ucapnya. Harga kue tersebut Rp 40.000 per enam potong. Ia melabeli produknya dengan Kei Licious.
Saat menerima order perdana, ia membuat sekitar 10 porsi makanan. Komentar beberapa kerabat tentang sedapnya kreasi Keisha ikut menyokong peningkatan penjualan menjadi hampir 20 porsi saat ini.
Keisha yang tinggal di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, ini memilih makanan untuk dijual karena ia memang senang memasak. Tak seperti pabrikan, ia puas jika bisa menjual produk yang dibuat sendiri. ”Saya coba bikin brownies, ternyata enak. Kalau nasi mandi basmati, mama yang ajari,” ujarnya.
Proses kompleks
Ia tak menyangkal jika beberapa makanan dibuat dengan proses cukup kompleks. Kambing dan ayam bakar untuk nasi mandi basmati harus dimasak dulu. ”Masak nasinya dua jam saja, tapi sama lauk, idealnya dua hingga tiga hari. Ayam umpamanya, diungkep pada hari pertama. Hari kedua, dibumbui,” katanya.
Keisha jeli membidik ceruk pasar yang tak banyak dilirik pesaing-pesaing sebayanya dengan persisten memilih menu tersebut. ”Tantangan paling besar, seimbangin waktu jualan sama sekolah. Suatu hari buka PO (purchase order atau pesanan), ternyata tugas bejibun,” katanya seraya tergelak.
Pernah pula Keisha amat letih karena tak disangka-sangka, konsumen mengorder 10 brownies sekaligus, tetapi ia tetap bersyukur. ”Dulu, peralatan belum bisa dipakai bikin banyak makanan. Sekarang, komplet. Berkat punya pemasukan sendiri. Enggak usah minta orangtua,” ujarnya.
Keisha, antara lain, membeli oven, pengocok telur, dan loyang dengan merogoh koceknya. Ia membuka pesanan dua hingga tiga kali per bulan. ”Saya sedang mengupayakan makanan bisa dijual lewat toko-toko online (daring). Semoga terwujud sebelum akhir tahun 2020,” ucapnya.
Rizma Audina Oktariyanti (23) juga menjual makanan untuk mengisi waktu luangnya. Sudah 2,5 bulan ini ia membuat sajian berjenama IMMA Serveit dengan menu favorit spageti brulee, bitterballen, dan buko. Harga setiap porsi spageti brulee Rp 30.000 dan bitterballen Rp 30.000 per boks isi enam potong.
”Buko itu pencuci mulut. Kebanyakan konsumen pesan buko mangga dan pandan. Harganya Rp 20.000 per porsi. Ada juga piza dan brownies,” katanya.
Warga Kelapa Dua, Tangerang, Banten, itu kini menyediakan 11 menu. Permintaan konsumen yang meningkat memotivasi Rizma untuk menambah variasi.
Order meningkat karena saya buat makanan kekinian. Selasa lalu, misalnya, saya bikin 12 spageti, 2 boks bitterballen, dan 2 brownies.
”Dulu, hanya ada piza dan bitterballen. Pesanan pertama yang saya bikin, total 4 piza dan 10 boks bitterballen untuk dua hari,” katanya. Mahasiswi Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, itu membuat makanan paling sedikit seminggu sekali.
”Order meningkat karena saya buat makanan kekinian. Selasa lalu, misalnya, saya bikin 12 spageti, 2 boks bitterballen, dan 2 brownies,” ucapnya. Ia didorong ibunya yang membuat bolu dan kue kering sejak 2018. Tamu-tamu juga kerap memuji kelezatan penganan itu.
Ia menjual produknya lewat medsos. Keluarga dan teman-teman Rizma membantunya. Mereka mengunggah ulasan IMMA Serveit. ”Manfaatnya, dapat uang lumayan, tapi saya mau bantuin orangtua sambil belajar. Penghasilan saya kasih untuk mama,” ujarnya.
Moderator Komunitas Jalansutra, Harry Nazarudin, mengamati cukup banyak anak muda yang memulai usaha kuliner di masa pandemi. ”Positif sekali. Koki-koki belia yang antirebahan, main gim, dan nonton video saja di gawai. Banyak dari mereka yang membantu ekonomi keluarganya,” ujarnya.
Para juru masak itu bisa belajar menghitung pengeluaran, keuntungan, dan menetapkan harga makanan. Mereka juga merasakan jatuh bangun mengatasi persaingan. ”Jadi tahu harga bahan yang lebih murah. Itu pembelajaran kewirausahaan. Tentu saja, dapat uang saku,” kata penulis lima buku kuliner itu.