Halloween yang dikenal sebagai budaya barat disambut dengan tangan terbuka di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Kendati ada yang menentang perayaan ini, toh, publik tetap suka karena bisa berpesta.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akhir Oktober adalah saatnya Halloween. Perayaan masyarakat Barat yang awalnya identik dengan suasana horor, pesta kostum, dan makanan manis, perlahan diadaptasi di sejumlah negara di Timur, termasuk Indonesia.
Terlepas dari pro dan kontra perayaan Halloween, seperti halnya pada Valentine, momen ini tetap dirasa menarik. Menurut Nicholas Rogers dalam buku Halloween: fromPagan to Party Night (2002), Halloween terbentuk dari istilah All Hallow Eve, yakni malam sebelum All Saint’s Day.
Dalam kalender orang Kristen, All Saint’s Day merupakan peringatan terhadap santa dan santo, serta orang-orang yang baru meninggal, setiap 1 November. Halloween dikaitkan dengan tradisi bangsa Kelt (Celtic) kuno yang rutin menggelar festival Samhain atau Samuin (dibaca sow-an atau sow-in).
Festival ini diadakan di pengujung musim panas untuk menyambut musim dingin. Musim dingin diasosiasikan sebagai masa kegelapan karena menyebabkan tanaman sulit tumbuh.
Orang-orang akan membuat api unggun yang sangat besar dan memohon berkat dari para dewa. Mereka juga memberi persembahan saat festival, salah satunya binatang. Dalam artikel History disebutkan bahwa orang Celtic mengenakan kostum selama festival berlangsung. Umumnya kostum terbuat dari kulit dan kepala hewan.
Saat itu Halloween dipercaya sebagai malam yang bernuansa magis. Pintu dunia orang hidup dan akhirat menyaru. Malam itu, yakni saat Halloween, roh dipercaya melakukan perjalanan dari dunia ke akhirat. Ada pula yang mengatakan bahwa roh kembali ke bumi malam itu. Halloween diasosiasikan dengan paganisme.
Seiring berjalannya waktu, perayaan ini ditentang oleh orang Kristen karena dianggap mengglorifikasi kuasa gelap dan satanisme. Beberapa bahkan menjabarkan Halloween sebagai ”salah satu black sabbath di mana para penyihir bertemu untuk memuja iblis”.
Evolusi Halloween
Halloween kini berevolusi menjadi perayaan tahunan bertema seram di zaman modern. Di Amerika Serikat, misalnya, Halloween dirayakan dengan kegiatan trick or treat. Biasanya anak-anak akan berdandan atau memakai kostum, kemudian berkeliling ke rumah tetangga-tetangga sambil berkata ”trick or treat”.
Tetangga lalu memberi kue, permen, atau penganan lain ke keranjang yang dibawa anak-anak tersebut. Orang-orang dewasa biasanya menyiapkan banyak permen di rumah atau membuat sendiri penganan untuk dibagikan kepada anak-anak.
Orang-orang yang lebih dewasa umumnya merayakan Halloween dengan pesta kostum. Dandanan mereka tidak melulu harus seram bak hantu. Beberapa orang berdandan sebagai tokoh film, pekerja profesi tertentu, makanan, benda, emoji, bahkan ada pula yang berdandan seksi.
Di Indonesia, Halloween dijadikan komoditas. Sejumlah tempat hiburan, misalnya klub malam, menggelar acara bertema Halloween. Ada pula sejumlah toko dan jenama (brand) tertentu yang memberi promo khusus Halloween setiap Oktober.
Pengamat media dan budaya pop, Idi Subandy, Ibrahim saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (30/10/2020), mengatakan, Halloween merupakan gejala globalisasi budaya dari barat ke berbagai negara. Kendati banyak negara tidak punya relevansi dengan Halloween, mereka tak segan merayakannya dengan berbagai cara.
”Ini gejala globalisasi budaya, yakni ketika orang meniru sesuatu yang mereka anggap menarik atau digandrungi di tempat lain. Menjiplak budaya itu hal yang biasa di zaman sekarang,” kata Idi.
Ini gejala globalisasi budaya, yakni ketika orang meniru sesuatu yang mereka anggap menarik atau digandrungi di tempat lain. Menjiplak budaya itu hal yang biasa di zaman sekarang. (Idi Subandy)
Halloween ia nilai berkaitan dengan momen meningkatkan konsumsi massa. Sebab, publik perlu momentum untuk bersenang-senang atau belanja.
Kendati sejumlah tokoh agama melarang Halloween, peminatnya tetap banyak. Itu karena Halloween berevolusi menjadi budaya populer nan gaul. Orang-orang yang mengikutinya cenderung merasa menjadi bagian dari komunitas global. Halloween dirayakan begitu saja tanpa pikiran macam-macam karena ini tren.
”Suatu budaya akan tetap langgeng jika ada orang-orang yang mendukungnya dan jika media menaruh perhatian terhadapnya. Itu terjadi pada Halloween,” kata Idi.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Halloween tidak lagi dirayakan secara meriah di beberapa negara. Rumah-rumah hantu yang biasanya jadi hiburan dilarang buka demi menekan potensi penularan Covid-19. Beberapa pihak juga mengimbau agar tradisi trick or treat tidak dilakukan.
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan keluarga tidak merayakan Halloween seperti sebelumnya. Keluarganya akan merayakan Halloween secara kecil-kecilan di rumah mereka. Ia berencana membuat anak-anaknya berburu penganan-penganan yang disembunyikan di sekitar rumah, mirip berburu telur Paskah.
”Saya pikir banyak keluarga yang akan berkreasi agar bisa memberi kesenangan kepada anak-anak mereka di masa libur ini semampunya,” kata Trudeau.
Spesialis penyakit menular di Emory University Hospital di Atlanta, Colleen S Kraft, mengatakan, ada banyak cara kreatif untuk merayakan Halloween dan menjadikannya bermakna. Orang-orang bisa merayakan Halloween dengan mengukir labu, mengadakan parade kostum virtual, dan menonton film-film horor di rumah.
Wakil Kepala Petugas Kesehatan Masyarakat Kanada Howad Njoo berpendapat, sejumlah tradisi Halloween bisa dilakukan, tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat. ”Saya mendukung Halloween, tetapi dengan praktik kesehatan yang baik. Sangat mungkin untuk memberi dan menerima permen dengan cara yang aman,” ujarnya.
Zaman berubah, begitu pula pemahaman publik mengenai Halloween. Momen yang semula kental dengan unsur magis kini dirayakan sambil pesta dan makan permen. Mungkin tidak salah jika berpikir bahwa Halloween tidak lagi seram. (AP/AFP/Reuters)