Di Atas Putaran Roda Kenangan
Tak hanya anak muda, remaja dan anak-anak juga tergugah meluncur di atas sepatu roda. Sebagian dari mereka ingin mengulang nostalgia.
Cahaya berubah meremang. Suara Adam Levine dengan lagu ”Girls Like You” di sebuah ruang warna-warni yang tertimpa lampu sorot layaknya lantai disko. Muda-mudi bersepatu roda hilir mudik di dalamnya. Seperti meluncur lewat lorong waktu.
Deretan pintu dan dinding putih polos di sepanjang koridor di sebelah Pintu Biru Gelora Bung Karno seolah mengantar pada sebuah dimensi baru. Itulah MoJa Museum. Belakangan tenar dan diserbu para remaja hingga orangtua seiring dengan kembali diminatinya sepatu roda. Sebagian datang menikmati sensasi bersepatu roda, sebagian sekadar bernostalgia.
Meski resmi beroperasi di tengah pandemi, daya tariknya tak luntur. Pengunjung yang tengah gandrung sepatu roda rela mengantre untuk memperoleh slot masuk, terutama di akhir pekan. Harga tiket masuk Rp 110.000 di hari biasa hingga Rp 125.000 di akhir pekan sekaligus untuk sewa sepatu roda dan loker tak jadi masalah.
Di sini, tak sekadar bersepatu roda di lintasan sambil sesekali bergoyang menikmati pilihan lagu yang diputar. Berbagai titik diatur menarik dan ”instagramable” dengan instalasi seni yang dibebaskan sebagai lokasi foto. ”Karena itu, kami sebutnya museum. Bisa sekalian menikmati karya seni juga,” ujar Co-Founder MoJa Museum Jennifer Sharon saat dijumpai, Jumat (16/10/2020).
Pencahayaannya temaram dengan musik dari Tiktok Playlist yang menggoda untuk ajojing. Bangunan dua lantai seluas 1.000 meter persegi itu didesain seperti tempat olahraga di ruang terbuka dengan tangga bertingkat yang kerap ditemukan di pinggir lapangan basket sebagai tempat duduk penonton. ”Walau indoor, rasanya tetap outdoor,” kata Jennifer.
Nuansa yang terbangun membuat angan menjelajah kembali ke era keemasan sepatu roda pada dekade 80-an hingga 90-an. Di Indonesia, kala itu, sepatu roda jadi simbol anak muda yang penuh kebebasan. Pembauran dengan budaya pop melahirkan tempat bermain sepatu roda yang dipadukan dengan lantai dansa.
Saat bertanya kepada orangtua yang masih mencicip masa muda pada era itu, nama Lipstick Disco Skate disebut pertama. Ada di Bandung menempati Gedung Palaguna dan juga di Jakarta di kawasan Blok M yang menjadi lokasi mejeng anak gaul ibu kota. Selain Bandung dan Jakarta, gemerlap disko sepatu roda juga merambah kota besar lain seperti Surabaya.
Tak hanya anak muda, remaja dan anak-anak juga tergugah meluncur di atas sepatu roda. Masih di kawasan Blok M, Happy Day yang berada di Aldiron Plaza terbuka bagi anak-anak dan remaja. Jika saat ini musik dari Tiktok merajai, ketika itu deretan lagu Top 40 Radio Prambors yang bikin kelojotan. Namun, lokasi-lokasi itu kini tinggal cerita. Aldiron Plaza telah bersalin menjadi Blok M Square.
Selain hura-hura, sepatu roda sebagai pilihan cabang olahraga prestasi juga mulai dilirik anak muda. Pengaruh dari film fenomenal zamannya yang didasari novel milik Hilman, Olga dan Sepatu Roda, diyakini merasuk ke anak muda saat itu.
Aktris Desy Ratnasari yang memerankan tokoh Olga pada 1991 mengakui saat itu sepatu roda memang menjadi tren. Namun, saat ia didapuk oleh produser dan sutradara untuk memerankan Olga, pemenang kompetisi Gadis Sampul ini sama sekali tak bisa mengendarai sepatu roda.
”Belajar dengan pelatih di Sukabumi selama satu minggu. Tiap hari latihannya. Jatuh, luka, sampai biru-biru sudah biasa. Tetapi, setelah film selesai, saya enggak main lagi,” ungkap Desy yang masih bisa bermain sepatu roda.
”Unyu-unyu”
Sejak muncul pada akhir 1870-an di dunia, sepatu roda terus bertransformasi dalam berbagai bentuk. Perubahan paling mendasar ada pada susunan rodanya. Hingga kemudian dikenal istilah quad skate untuk sepatu roda dengan roda dua di depan dan di belakang serta inline skate dengan susunan roda sejalur lurus.
Di Indonesia, quad skate lebih dulu masuk dan merajai pasar. Ada yang terpisah dengan sepatu maupun yang sudah built-in dengan sneakers atau bot seperti yang digunakan Desy saat memerankan Olga. Namun, pamor sepatu roda jenis ini meredup di Indonesia pada medio 1990-an. Gempuran inline skate membuat sepatu roda jenis quad skate terasa kuno dan ketinggalan zaman.
Namun, entah siapa yang memulai kembali. Memasuki 2012, quad skate berseliweran lagi meski belum seramai sekarang. Hingga sekitar dua tahun belakangan, sepatu roda jenis ini seolah bereinkarnasi dengan model dan warna yang super gemas. Kombinasinya pun makin variatif. Tak cukup sneakers dan bot, sepatu jinjit pun dikemas dengan quad skate.
Ini pula yang membuat Astrid Enricka menyelami hobi sepatu roda dengan pilihan quad skate sekitar setahun terakhir. Alasannya, lebih unyu-unyu. Sepatu untuk quad skate bisa ber-hak tinggi sehingga terlihat seperti sepatu bot dengan empat roda di bawahnya.
”Ada gemes-gemes-nya gitu. Modelnya bot, vintage, lucu-lucu. Kalau orang lihat, inginnya komentar: Oh my God, so cute!” katanya, sambil tertawa.
”Heels itu bukan cuma bikin cantik, tetapi ternyata membantu keseimbangan lebih baik. Enggak lebih gampang, lho, dibandingkan inline skate. Coba saja pakai quad skate, apalagi kalau baru, bisa berdiri anteng. Jaman Olga juga nge-tren yang quad skate,” tuturnya.
Ceritanya pun mengalir tentang model-model sepatu roda yang sudah sangat berubah dibandingkan masa Olga dan Sepatu Roda. Mulai warnanya, pemakainya yang pemula atau yang sudah jago, sampai harganya, sangat beragam.
Serupa dengan Nasta Sutardjo. Warna-warna candylicious pada quad skate yang beredar saat ini membuatnya makin bersemangat meluncur. ”Beda banget. Zaman dulu warnanya itu-itu aja. Sekarang warna-warna gonjreng yang gemes. Modelnya juga macam-macam. Bisa custom atau bangun sendiri dari sepatu Vans, misalnya,” jelas Nasta yang pernah rutin menghabiskan waktu di Happy Day ketika SMP.
Tidak berhenti di jenis sepatu. Kostum pun menyesuaikan dengan warna-warni retro. ”Ikut kebawa ya kalau baju. Jadi, gayanya ikutan vintage,” kata Nasta.
Ekstrem
Evolusi lain dari sepatu roda bukan hanya dari sisi jenis sepatu. Gaya permainannya juga berubah jauh dari era 80-an dengan masa kini. Jika dulu hanya sekadar meluncur di lintasan lurus atau di jalanan, saat ini ramp dan rintangan yang biasa digunakan pemain skateboard juga dijajaki yang bermain sepatu roda. Bahkan, para perempuan pun menjadi ahli berloncatan menghadapi berbagai macam rintangan itu.
”Wah, gila sih kalau sekarang. Lebih nekat, ha-ha-ha. Ekstrem semua dan berani. Kalau dulu itu stabil aja dan buat fun. Ini ngulik skill. Kadang belajarnya cuma dari lihat Youtube,” tutur Nasta.
Namun, tak semua orang memang tertarik untuk menjajal trik ekstrem dalam bersepatu roda. Astrid lebih menyukai urban skating atau bersepatu roda di jalanan ketimbang di skate park. Dia membandingkan bersepatu roda di skate park dengan banyak rintangan untuk keterampilan itu punya risiko lebih besar cedera.
Bagi Astrid, proses belajar urban skating membuat dia lebih percaya diri. Dengan bersepatu roda, dia juga menemukan dunia ”baru” di luar lingkarannya selama ini. ”Aku merasa sangat meditatif,” ujarnya.
Astrid benar-benar mulai dari nol belajar sepatu roda sekitar setahun lalu, karena saat kecil ia merasa sepatu roda ”bukan gue banget”. Saat ini, dia bergabung dengan komunitas Jakarta Inline Skate dan Sunset Roller Date. Dari komunitas ini, Astrid mulai berani bersepatu roda di jalanan. Dari semula di sekitar Gelora Bung Karno, ke jalanan di sekitarnya, hingga meluncur dari Senayan hingga Monas.
Bahkan, pertengahan Oktober lalu Astrid bersepatu roda di Kudus, Jawa Tengah. Dia menunjukkan video rekaman saat bersepatu roda di jalan raya kota Kudus yang mulus dan rata.
Komunitas yang terus ada ini memang kunci meningkatnya popularitas sepatu roda di masa kini. Hampir di tiap kota selalu ada komunitas sepatu roda. Bukti sepatu roda kian diminati juga dapat dilihat dari tingkat penjualan sepatu roda yang melonjak meski pandemi.
Thomas Nawilis dan sahabatnya yang membuka toko sepatu roda 8 Roll Skates mengungkapkan konsumennya membeludak. Mulai membuka toko daringnya sejak November 2019, peningkatan penjualannya saat ini mencapai lebih dari 150 persen.
”Justru kami cukup kaget. Baru buka terus pandemi. Bulan pertama sepi. Ada kampanye cegah Covid-19 dengan olahraga, permintaan langsung tinggi. Penjualan melonjak banget,” ujar Thomas yang menyebut 50 persen dari pembelinya adalah mereka yang ingin bernostalgia pada kejayaan sepatu roda di masa lalu.
”Sepatu roda kalau sudah didiemin 4-5 tahun itu rawan getas. Bahan plastik, apalagi disimpan di gudang yang lembab, rawan pecah. Beli baru untuk mulai main lagi,” tambahnya. Harga sepatu roda ini cukup beragam tergantung kualitas dan merek. Sepatu roda bisa dibeli dari harga di bawah Rp 1 juta hingga Rp 35 juta.
Lorong waktu
Bagi Nasta, Astrid, dan Thomas, keterlibatan mereka dalam sepatu roda lekat dengan nostalgia kenangan masa remaja selain berolahraga. Thomas, misalnya, terpengaruh film di era remajanya, yakni The Mighty Ducks (1992) yang membuatnya benar-benar bersemangat bermain sepatu roda. ”Saya memang hobi banget dari dulu. Saya coba beberapa olahraga, yang paling kena di saya dan paling betah dan enjoy ya sepatu roda,” kata Thomas.
Namun, bagi anak-anak Gen Z yang lahir pada periode 1995-2010, mereka bermain karena tren dan mendengar cerita orangtua. Kheyla Larisa (16) yang dijumpai saat meluncur di MoJa Museum mengaku tergoda mencoba sepatu roda karena ramai di media sosial. Sambil berpegangan pada alat bantu yang disediakan MoJa Museum, Kheyla masih tertatih-tatih.
”Kata mama, dulu dia juga main sepatu roda. Aku baru sekali ini nyoba karena rame banget di Instagram. Kok, kayaknya seru. Dengar cerita mama juga kayaknya menarik. Eh, ternyata susah, ya, ha-ha-ha. Hebat juga berarti mamaku dulu,” ungkap Kheyla yang datang bersama dua temannya.
Di belahan negara lain, sepatu roda juga sedang menjadi tren. Semangat yang ditularkan juga serupa dengan para pendahulunya di dekade sebelumnya. Selain nostalgia dan kesehatan, sepatu roda sejalan dengan gaya hidup ramah lingkungan.
Mirip seperti pada periode 1940-an dan 1950-an, sepatu roda digunakan sebagai bagian dari kampanye udara bersih dari asap kendaraan di Amerika dan Eropa. Bahkan, menginspirasi para desainer melakukan pergelaran sekaligus berkampanye dengan sepatu roda.
Sepatu roda juga menjadi simbol kesetaraan dan pergerakan bagi warga kulit hitam di Amerika, seperti yang ditunjukkan melalui film dokumenter United Skates besutan HBO. Lewat skating rink dan berdansa sepatu roda, sekat antara kulit hitam dan kulit putih pun lebur.
Pasang sepatumu, gulirkan rodamu…. Luncuuuuur!