Musik Tak Pernah Mati
Para musisi lentur menyusupi celah-celah sempit untuk keluar dari kebuntuan berekspresi saat konser bungkam lantaran pandemi. Buat sebagian pemusik, soal profit malah urusan belakangan.
Kreativitas bermusik tak pernah benar-benar terkubur pagebluk. Musisi masih liat menggeliat dengan bermacam polah. Mereka lentur menyusupi celah-celah sempit untuk keluar dari kebuntuan berekspresi saat konser bungkam lantaran pandemi. Buat sebagian pemusik, soal profit malah urusan belakangan.
Harlan Boer memutar lagu dengan tape butut di kamarnya yang berantakan. Spontan, lagu ”Rumah-rumah Jadi Kenyang” gubahan musisi indie folk itu terdengar sember. Maklum saja, penyetel kaset tersebut umurnya sudah nyaris empat dekade, tetapi ia tak peduli.
”Jangankan stereo, speaker (pelantang) saja cuma satu, tapi gue suka. Gue juga konsumen. Masih dengar musik dari kaset,” ujarnya, di Jakarta, Selasa (13/10/2020). Di kamar itu, teronggok pula gitar dengan satu senar yang putus. Di antara selimut kusut, kibor mainan tahun 1980-an, dan cakram kompak Rhoma Irama yang berserakan, mesin drum portabel menyembul di rak.
Baca juga: Luwes Meniti Masa Pagebluk
”Sejak pandemi, kamar gue sekaligus studio. Gue belum pernah ke studio beneran lagi. Mau keluar benerin gitar saja malas,” katanya sambil nyengir. Keterbatasan tak pelak bikin Harlan berakrobat. Ia pakai juga gitar, mesin drum, dan kibornya untuk merekam lagu-lagu hanya dengan ponsel. Hasilnya, album Bersambung dirilis pada 7 Oktober lalu.
”Isinya 12 lagu. Seputar keseharian saat pandemi dan cuplikan nostalgia,” ujar Harlan seraya menatap lekat-lekat kaset yang tengah diputarnya itu. Musisi yang meniti karier bermusiknya sejak 1997 itu tentu mengunggah juga karya-karyanya ke internet. Bukan kali ini saja ia melempar album dengan format kaset.
Saat situasi normal saja kaset sudah tak jelas juntrungannya, ia nekat merekam dan merilis album berpita magnetik. ”Kreativitas, termasuk musik, tak pernah mati. Ya, biarin kalau gue dibilang gila atau dodol gara-gara waktu pandemi malah bikin kaset,” kata Harlan seraya tergelak.
Baca juga: Pantang Mundur Musisi
Tak tanggung-tanggung, semasa pandemi, ia merilis hingga empat album. Harlan membuat sedikit kaset saja, seperti ”Bersambung” sebanyak 50 kopi. Album seharga Rp 65.000 itu sudah ludes dibeli distributor untuk disalurkan ke toko-toko. Harlan justru kian produktif. Biasanya, ia menghasilkan rata-rata satu album saja per tahun.
Bagi Harlan, sensasi mendengarkan isi sama penting dengan fisiknya. Tak ada pula permintaan dari penggemar untuk memproduksi kaset. ”Cuma enggak mau berhenti saja. Mau terjual berapa enggak masalah. Paling untungnya hanya impas buat bikin master rekaman,” katanya.
Kompetisi musik
Saat pandemi, sebagian musisi telah melampaui keterkungkungan berimprovisasi. Semangat mereka sudah lebih dari sekadar kreativitas saat pandemi. Wahyu Nugroho, vokalis dan gitaris Bangkutaman, umpamanya, memotori situs Pop Hari Ini.
Musisi yang kerap disapa Acum itu tak membiarkan artis-artis mandek bersemi. Dalam situs tersebut, ia menyajikan wadah untuk mereka yang hendak menjajal belantika musik. Mulai Rabu (7/10/2020), Pop Hari Ini resmi menggelar program Irama Kotak Suara. Selektif sudah pasti. Program tersebut merangkum karya musisi-musisi pilihan. ”Setahu saya, ini kompetisi musik pertama di masa pandemi. Setiap bulan, dipilih 10 hasil kurasi dan ditentukan tiga pemenang,” katanya.
Tak sekadar mengantar debutan dan menyosialisasikan karyanya, hadiah bahkan tersedia untuk musisi unggulan. Mereka berkesempatan dibuatkan master lagunya di London, Inggris, dan dibuatkan klip video.
Baca juga: Masa Depan Industri Film di Tengah Pandemi Covid-19
Animo anak-anak muda ternyata luar biasa. Asal mereka mulai Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Purwokerto, Bekasi, Lamongan, hingga Banjarnegara. ”Lebih dari 100 musisi mengirimkan lagunya. Kami tak mengutamakan keuntungan. Biaya ditanggung Pop Hari Ini,” kata Acum.
Dalam kesempatan lain, senandung lirih-sendu Nadin Amizah menyusup di sela petikan gitar Ananda Badudu yang duduk dengan mata terpejam. Nadin bergaun putih dibalut cahaya temaram warna sepia-kopi. Mereka berhadap-hadapan, mengharmonikan ”Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti”, salah satu soundtrack film Filosofi Kopi 2: Ben & Jody.
Lirik dan nada repetitif, disokong cahaya temaram, memancing penonton larut dalam melankolia. Mereka segera masuk dalam kenangan entah utuh atau sepenggal tentang film itu. ”Merinding, gila,” komentar seorang penonton.
Itulah penggalan konser gelaran Visinema Music lewat platform digital Bioskop Online pada 18 September lalu. Ini mengawali konser setiap Jumat malam selama sebulan bertajuk ”Wave of Cinema”. Penonton cukup membeli tiket seharga Rp 50.000 per konser atau Rp 125.000 untuk empat konser.
Dongeng atau narasi beberapa film Visinema Pictures dikedepankan, seperti Filosofi Kopi, Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini, Generasi 90an: Melankolia, Cahaya dari Timur, dan Surat dari Praha. Lagu-lagu pengiring aneka film itulah yang dikemas dalam konser.
Beberapa adegan film dipadukan dengan lagu yang dipanggungkan. Juga, dilengkapi kemunculan beberapa pemain utama. Mereka bahkan menyanyi, seperti Chicco Jerikho dan Rio Dewanto yang bermain dalam Filosofi Kopi dan Filosofi Kopi 2: Ben & Jody. Di pengujung konser pertama, mereka menyanyikan lagu Sheila on 7, ”Sahabat Sejati”.
Dari sisi kualitas suara, layak dipertanyakan. Namun, itu menjadi tak berarti. Dengan ”ketidaksempurnaan”, penonton menemukan orisinalitas untuk berenang dalam suasana dan adegan film.
Baca juga : Derita Kru Film di Tengah Pandemi Covid-19
Konsep tersebut sebenarnya disiapkan untuk luring. Visinema Music kemudian menggelar konser itu dengan beragam adaptasi. ”Sebab, tak sekadar memindahkan konser ke online. Konser digarap agar penonton merasa dekat lewat cerita dan musik,” kata Ajeng Parameswari, President Digital Business Visinema Group.
Oleh karena itu, Visinema berkreasi menghadirkan konser senyata mungkin. Misalnya, mereka menyediakan empat sudut pengambilan gambar (angle) sehingga penonton leluasa melihat lebih dekat atau jauh dan dari depan atau samping. Lewat konser ini, setidaknya 30 musisi tetap bisa bekerja. Mereka, antara lain, Padi Reborn, Ardhito Pramono, Hindia, Efek Rumah Kaca, dan Fourtwnty.
Mitigasi bencana
Pengamat musik Wendi Putranto melihat apa yang dilakukan musisi sebagai mitigasi bencana karena spirit untuk tetap hidup sangat penting. ”Bermain musik enggak melulu mencari untung. Buat musisi, tetap bermusik jadi kebutuhan rohani,” tutur Co-Founder dan Program Director M Bloc Space ini.
Bermusik juga dilakukan untuk menjaga kewarasan. Konser virtual juga marak di masa pandemi. Namun, karena secara finansial tak terlalu menguntungkan, banyak yang akhirnya bergantung kepada sponsor. Padahal, banyak juga jenama yang menahan diri.
”Kalau mengaku kreatif, ini momen paling baik mempraktikkan kreativitas. Kalau bisa survive, berarti benar-benar kreatif,” ungkap Wendi.