Memerah Daya Tak Kenal Payah
Pandemi memukul keras. Kerugian yang timbul mencapai miliaran rupiah, bahkan sudah sampai ”menggerogoti” kapital. Namun, pertanyaan yang muncul, kan, tetap: ”how do you survive without doing anything”?
Pandemi Covid-19 memukul bisnis pertunjukan musik tanpa ampun. Dari hulu hingga hilir semua serentak terkena dampak. Namun, diam dan menyerah, jelas bukan pilihan.
Biduanita ternama negeri ini, Raisa Andriana, terisak sedih di akhir jumpa pers daring yang berlangsung singkat pada Selasa (8/9/2020). Raisa hari itu menyampaikan kabar pahit. Konser impiannya di Stadion Gelora Bung Karno yang telah dipersiapkan sejak 1,5 tahun lalu harus ditunda lantaran pandemi Covid-19.
Sedianya, konser ”Raisa Live In Concert Stadion Gelora Bung Karno” di Jakarta digelar pada 27 Juni 2020. Karena situasi belum juga kondusif, konser kembali ditunda pada 28 November 2020.
Apa lacur, menjelang November, pandemi belum juga teratasi. Raisa dan promotor konsernya sepakat kembali menunda konser tersebut hingga batas waktu tak tentu. Kesehatan dan keamanan penonton jauh lebih penting.
”Saya mengucapkan terima kasih banyak buat semua, ’YourRaisa’ yang sudah mendukung. Bagi semua yang sudah mengharapkan konser ini terjadi, yang udah ngedoain, udah beli tiket, juga tiket pesawat segala macam, meluangkan waktu. Mohon maaf sebesar-besarnya karena kita belum bisa bertemu di GBK November nanti,” tutur Raisa. Suaranya tercekat, bergetar menahan tangis.
CEO PT Juni Suara Kreasi (Juni Records), yang berperan sebagai promotor konser, Adryanto Pranoto hari itu pun kehilangan senyum. Menunda konser yang dicita-citakan sejak lama dan dipersiapkan dengan penuh daya upaya memang bukan hal menyenangkan. Untuk konser itu, persiapan sudah dilakukan sejak 1,5 tahun lalu.
”Selama hampir 4 bulan, kita berusaha memikirkan bagaimana kita bisa lebih aman menonton pertunjukan. Apalagi, ini skala stadion. Sampai akhirnya kita berkeputusan, konser ini belum cukup wise (bijak) untuk dilaksanakan,” ujar Boim, sapaan Adryanto.
Setelah konser Raisa di Jakarta akhir November 2018, sebulan kemudian praproduksi dimulai. ”Kalau diibaratkan, GBK itu tergolong mewah. Sejak Indonesia merdeka, setahu saya baru Slank, Kantata Takwa, dan Iwan Fals yang konser di sana,” katanya.
Ia memaknai usaha memanggungkan Raisa di GBK sebagai gerakan kolaborasi anak muda demi menggelar konser skala stadion. ”Dengan semangat yang sama, kami mau menunjukkan, (penyanyi) perempuan juga pantas tampil di GBK. Bukan bisnis semata,” ujarnya.
Jika akhirnya terpaksa ditunda, ia tetap bangga bisa memotori gerakan itu. ”Kerugian pasti ada. Saya belum menotalnya. Beberapa vendor masih diajak bicara,” ujar Boim.
Boim berupaya meminta keringanan. Ia beruntung karena mengenal vendor-vendor itu dengan sangat baik sehingga terbantu. ”Soal panjar berlaku force majeure. Beberapa yang sudah jadi bahan baku yang digunakan memang jadi beban,” kata Boim. Dia juga terus berupaya menemukan kesepakatan dengan para sponsor.
”Kalau refund, sampai sekarang hampir 50 persen dari sekitar 21.000 tiket yang sudah dipesan,” ucap Boim. Harapannya, proses itu selesai pada November 2020. Yang pasti, semangat untuk menggelar konser di GBK masih menyala.
Kondisi serupa terjadi pada konser Rex Orange County-The Pony Tour yang dipromotori Ismaya Live. Sedianya, Rex Orange County tampil pada 9 Mei 2020 di Istora Senayan, Jakarta. Karena pandemi, konser dibatalkan. Pun konsernya di sejumlah negara Asia. ”Kami mengikuti keinginan artis,” ujar Brand Supervisor Ismaya Live Argi Wibawa.
Pandemi jelas telah memukul keras. Kerugian yang timbul, menurut Argi sangat signifikan. Angkanya mencapai miliaran rupiah. Krisis akibat pandemi bahkan sudah sampai ”menggerogoti” kapital.
Namun, sejauh ini manajemen Ismaya Live bisa bertahan. Mereka masih mampu menggelar We The Fest 2020 daring pada Agustus 2020. Penampilnya cukup banyak, dari dalam ataupun luar negeri, seperti Lewis Capaldi dan Masego.
Sayang, meski terbilang ”sukses”, tak ada keuntungan secara nominal. Pendapatan dari para sponsor digunakan untuk membayar artis, vendor, dan membiayai proses produksi.
”Dari penonton kami tak menarik uang, tetapi mengajak berdonasi, lalu disalurkan untuk yang membutuhkan dan terdampak pandemi. Jadi, festival ini digelar lebih ke soal social manner-nya. Kalau keuntungan secara income jujur enggak ada,” ujarnya.
Maju mundur
Saat ini, Ismaya Live terus serius membangun ekosistem digital agar publik bisa menikmati pertunjukan dan acara daring, termasuk festival dan konser.
Maju mundur penyelenggaraan festival dirasakan juga oleh promotor Prambanan Jazz Festival (PJF) 2020. Festival besutan Rajawali Indonesia ini sedianya digelar pada 3-5 Juli 2020. Karena pandemi, mundur menjadi 30 Oktober-1 November 2020.
Sayang, menjelang Oktober, situasi tak kunjung kondusif. PJF yang semula akan digelar luring pun berubah konsep. Tak ada penampil dari luar negeri, hanya musisi dalam negeri yang akan tampil langsung dari Candi Prambanan. Tanpa penonton.
Penampilan mereka akan disiarkan melalui aplikasi iKonser, Channel UseeTV iKonser apps, dan UseeTV GO. Penonton dibebaskan untuk me-refund atau menyimpan tiket mereka untuk tahun depan. Beberapa nama yang akan memeriahkan PJF 2020 adalah Tulus, Ardhito Pramono, Sinten Remen, dan Isyana Sarasvati.
Menurut Founder dan CEO PJF Anas Syahrul Alimi, meski ada perubahan konsep, semua berjalan relatif baik. Kerugian secara finansial relatif tidak ada. Untuk honor musisi nasional dan enam musisi internasional yang sebagian sudah dibayarkan 50 persen, sejauh ini masih bisa dinegosiasikan.
”Mereka menawarkan full refund atau mau postponed tahun depan. Termasuk untuk Dream Theatre. Musisi nasional juga relatif bisa dikomunikasikan,” kata Anas.
Anas memilih tak meminta panjar yang sudah diberikan, tetapi menggantinya untuk acara yang lain kelak. ”Karena saya tahu, uang itu mungkin sudah terpakai. Akhirnya, ya, gitu. Saling memahami. Saling support,” kata Anas.
Begitupun dengan uang panjar yang sudah dibayar kepada para vendor. ”Enggak ada yang hangus. Semua saling memahami karena kondisi memang seperti ini,” katanya.
Uang refund tiket pun relatif aman karena sejak awal manajemen tidak mengutak-atik dana tiket. Dengan begitu, saat harus refund, tak ada kerugian.
”Secara umum, kerugian finansial enggak ada. Hanya, kalau ditanya kerugian secara pendapatan pasti, angkanya cukup signifikan dari total event yang direncanakan oleh Rajawali,” ujarnya.
Anas beruntung karena situasi tidak menguntungkan itu bisa terkompensasi dengan tumbuhnya pelanggan aplikasi iKonser yang justru dibangunnya sebelum pandemi. Perencanaan untuk tahun 2021 tetap dilakukan meski kondisi belum pasti.
”Semua kembali ke kita sebagai pelaku bisnis. Memang harus bener-bener kreatif. Kalau tidak, ya, pasti menyerah. Bendera putih,” katanya.
Hal serupa diungkapkan Presiden Direktur PT Java Festival Production Dewi Gontha. Menurut dia, tahun 2021 akan menjadi penentu bagi promotor dan penyelenggara Java Jazz Festival (JJF) itu untuk kembali bangkit dari deraan pandemi. Dengan optimisme itu, satu venue telah ditetapkan sebagai lokasi JJF 2021.
Menurut rencana, JJF 2021 bakal digelar setelah hari raya Idul Fitri atau kisaran November. Ini memang di luar kebiasaan. JJF yang telah digelar hampir dua dekade itu setiap tahunnya rutin diadakan pada Maret.
”Pertimbangannya, jika benar pemerintah akan mendistribusikan vaksin mulai akhir tahun, ada waktu bagi calon audiens dan seluruh penampil untuk lebih dulu mendapat vaksinasi,” kata Dewi.
Terkait para penampil dan vendor, terutama penampil asal luar negeri, Dewi juga sudah mulai melakukan pembicaraan walau belum sampai tahap memberi panjar. Utamanya membahas berbagai kemungkinan skenario yang bisa dan akan diterapkan kelak.
”Intinya pertanyaan yang muncul, kan, tetap, how do you survive without doing anything? Kalau ingin survive, ya, harus ada yang dilakukan. Entah itu jalannya offline, online, atau hybrid. Bagaimana pun caranya, semua akan kami jajaki,” ujarnya.
Dampak berat
Tak bisa disangkal, pandemi memang telah memukul seluruh sektor dan pihak yang terlibat di industri hiburan dan musik. Tak hanya promotor, tetapi juga vendor, sponsor, hingga para musisi, pekerja seni, dan kru.
Seperti vaksin yang masih ditunggu, belum ada resep ampuh untuk ditempuh. Bahkan, sejumlah pilihan beradaptasi, seperti konser daring dan streaming, atau konser drive in, semua tak otomatis menjadi jawaban. Ada banyak kendala dan pertimbangan.
Pengamat musik, Wendi Putranto, menuturkan, persoalan jaringan dan kondisi ekonomi para penggemar musik menjadi kendala utama. Sebagian juga menganggap konser virtual kurang interaktif sehingga mengurangi minat.
Begitu pun untuk konser drive-in. Berdasar kalkulasi di atas kertas, kemungkinan besar merugi. Jumlah penonton yang terbatas dengan harga tiket cukup mahal, ditambah protokol kesehatan yang harus diterapkan, membuat konser drive-in tak terlalu menguntungkan.
Inggris mengucurkan dana 1,96 miliar dollar AS untuk perusahaan penyelenggara live music atau bisnis pertunjukan musik. Hal ini muncul setelah ada seruan dari 1.500 aksi, termasuk dari musisi Ed Sheeran dan The Rolling Stones agar pemerintah menyelamatkan industri musik di Inggris dari kehancuran. Di negara itu, diperkirakan ada 700.000 orang yang terlibat di sektor seni dan budaya.
Di Indonesia, kondisinya tentu berbeda.