Sulitnya melepaskan anak dari gawai berpotensi membuat mata anak minus. Apalagi, aktivitas virtual bagi anak di saat pandemi juga meningkat. Tak heran, anak SD atau bahkan TK sudah banyak yang harus memakai kacamata.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
Bingkai-bingkai kacamata ukuran mini dengan aneka warna dipajang di Optik Samudra yang berlokasi di ITC Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (14/10/2020). Bingkai jenis ini sengaja dipajang di etalase utama untuk memikat anak-anak.
Menurut Mira (40), karyawan Optik Samudra, permintaan kacamata untuk anak benar-benar mengalami puncak selama setahun terakhir. Dalam sehari, setidaknya terjual satu kacamata anak, termasuk pada masa pandemi Covid-19.
”Dari dulu, sih, memang sudah ada, tetapi enggak sebanyak sekarang. Beberapa tahun yang lalu, kacamata anak terjual hanya sebulan sekali,” kata perempuan yang sudah 17 tahun berjualan kacamata ini.
Anak-anak yang datang ke optik ini sebagian besar duduk di bangku SD, tetapi ada pula siswa TK dan SMP. Beberapa kali Mira menjumpai anak SD dengan minus 2 hingga minus 3 pada pemeriksaan pertama.
Permintaan kacamata untuk anak benar-benar mengalami puncak selama setahun terakhir. Dalam sehari, setidaknya terjual satu kacamata anak, termasuk pada masa pandemi Covid-19.
Kasus paling ekstrem yang pernah dijumpai Mira adalah anak berusia lima tahun yang sudah minus 3 dan silinder 3. Karena tidak percaya, orangtuanya saat itu memeriksakan kembali si anak ke dokter spesialis mata.
Ada pula anak kelas IV SD yang matanya sudah minus 6. Padahal, ia pertama kali memakai kacamata saat duduk di bangku TK. Saat itu, ia masih minus 2. Artinya, setiap tahun minus matanya selalu bertambah satu poin.
Mira meyakini, tingginya penggunaan kacamata pada anak dipicu oleh pemakaian gawai yang tinggi. Beberapa orangtua yang mengantar anak mereka menyebutkan, gawai sudah menjadi candu bagi anak. ”Pas saya tanya, kok, minusnya sudah gede, ibunya cerita kalau si anak main HP mulu. Kata mereka, kalau main gim enggak mau udahan,” ujar Mira.
Kian mudanya usia pemakai kacamata ini turut memengaruhi tipe dan model kacamata yang dijual di optik-optik. Dulu, model kacamata anak tidak banyak berbeda dengan model kacamata untuk orang dewasa. Hanya ukuran bingkainya yang diperkecil.
Kini, model kacamata anak yang dijual di Optik Samudra mayoritas adalah kacamata berwarna, seperti putih, biru, hijau, dan merah. Kacamata anak berbahan plastik yang lebih elastis juga banyak dicari.
”Kalau elastis, kan, enggak mudah patah. Anak-anak biasanya aktif geraknya, jadi lebih aman. Sekarang kacamata yang bahannya lebih keras sudah jarang diminati,” katanya.
Menurut Agung Santoso (35), karyawan Optik Olympus di ITC Permata Hijau, permintaan kacamata anak di optiknya juga meningkat pesat dalam tiga tahun terakhir. Tidak semuanya pengguna baru. Ada pula pengguna lama yang ingin mengganti bingkai kacamata atau menyesuaikan ukuran lensa.
”Semakin ke sini, mereka penginnya ganti bingkai kacamata yang elastis. Soalnya kalau bahannya fiber, sering patah kalau dipakai main,” katanya.
Secara pribadi, Agung merasa prihatin dengan banyaknya anak yang sudah harus memakai kacamata di usia yang sangat belia. Salah satu yang pernah ia jumpai adalah anak usia lima tahun yang sudah minus lebih dari 5. ”Saat itu saya suruh ke dokter spesialis mata biar keluarga lebih yakin,” katanya.
Kontraksi karena gawai
Menurut dokter spesialis mata dari Rumah Sakit Jakarta Eye Center (JEC), Elvioza, pada dasarnya mata akan melakukan relaksasi jika melihat obyek-obyek yang jauh. Sebaliknya, jika sering melihat obyek yang dekat, mata akan mengalami kontraksi.
”Biasanya, melihat gawai dari jarak dekat sehingga mata mengalami kontraksi. Semakin sering melihat obyek dekat, pola mata akan lebih cembung sehingga ukuran minusnya cepat bertambah,” katanya saat dihubungi.
Secara umum, lanjut Elvioza, kecenderungan anak-anak memakai kacamata kini memang semakin besar. Dulu, jarang dijumpai anak SD yang sudah memakai kacamata. Kini, anak SD berkacamata lebih mudah dijumpai.
Di sisi lain, anak-anak yang tinggal di perkotaan lebih berisiko mengalami mata minus ketimbang anak-anak di perdesaan. ”Mungkin karena anak-anak di perdesaan lebih sering melihat obyek yang jauh ketimbang obyek yang dekat. Berbeda dengan di perkotaan,” tambahnya.
Menurut Elvioza, salah satu terapi yang paling mudah untuk mengantisipasi terjadinya rabun jauh adalah berolahraga. Sebab, dengan berolahraga, mata lebih sering fokus pada obyek yang lebih jauh. Otomatis mata akan melakukan relaksasi.
”Olahraga apa pun bisa dilakukan, seperti sepak bola, basket, dan badminton. Bisa juga dengan memperbanyak kegiatan luar ruang,” ujarnya.