Torehan Optimisme di Lembaran Batik
Kala pandemi ini, lukisan perjuangan para pembatik tak memudar. Semangat para pembatik ini disulut kreativitas menyiasati krisis.
Pada setiap lembarnya, kain batik melukiskan perjuangan tangan-tangan pembatik. Kala pandemi ini, lukisan perjuangan itu tak memudar. Semangat para pembatik ini disulut kreativitas menyiasati krisis. Mereka pun terus menorehkan canting.
Mata Okim (27) menjelajahi lembaran kain di sanggar kerja Batik Iman Dalem, Desa Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020). Sebagai petugas pengendalian kualitas, ia harus memastikan tidak ada ceceran malam atau kesalahan warna.
Di dalam ruangan, terdengar lagu tarling (gitar suling) dangdut khas pantura yang seakan mengiringi geraknya. Dalam suasana itu, Okim bersama belasan pembatik lain menyambung hidup di tengah pandemi Covid-19. ”Banyak pembatik tidak kerja. Ada yang masuk tiga hari, libur tiga hari. Saya pernah diliburkan sebulan lebih,” ujar bapak satu anak ini.
Pandemi membuat ribuan warga yang menggantungkan hidup pada batik di sentra batik Trusmi tertatih. Area parkir di puluhan galeri batik yang biasanya penuh kini lengang.
Okim sempat jadi kuli bangunan selama sepekan. Upahnya Rp 80.000 per hari, lebih tinggi dari membatik, tetapi butuh tenaga besar dan pekerjaan tidak bisa dibawa pulang.
Dia kembali membatik setelah pemilik usaha, Iman (64), berkreasi membuat motif baru. Okim mengerjakan motif bambu dihiasi mega mendung dan motif naga dilengkapi matahari. Selain itu, ada enam motif baru lainnya, yakni elang bondol, tupai, burung perit, jangkring, enceng gondok, dan ranggon.
”Mungkin, jika tidak ada pandemi, saya ragu bisa menghasilkan delapan motif baru. Biasanya paling banyak saya membuat lima motif baru dalam setahun,” ujar Iman.
Motif baru itu menghidupkan asa para pembatik. Mereka berharap para pelanggan di Jakarta, Tangerang, hingga Surabaya tertarik.
Pembatik Ferry Sugeng Santoso (40) pun tetap aktif melatih pembatik di Kriyan, Kota Cirebon. Semasa ”dikurung” saat pandemi, dia bisa menghasilkan 50 motif baru, di antaranya ikan sengkaring banyu biru dan daun jati. ”Masa pandemi justru waktu yang tepat untuk berkarya. Selama canting terus bergerak, pasti ada jalan,” katanya.
Dalam pelatihan sebagai bagian program Korea Arts and Culture Education Service (KACES), dia mendampingi 12 warga setempat untuk menjadi pembatik warna alam. Berkat pelatihan itu, para peserta yang sebelumnya tidak pernah membatik kini sudah bisa menjual batik karya mereka dan membantu perekonomian keluarga.
Pasar daring
Rumah Batik Lumintu di Sumbergirang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, juga tampak sibuk, Rabu siang itu. Sejumlah pembatik menekuni kain di hadapan mereka, meniup canting, dan menorehkan malam. Pemilik Rumah Batik Lumintu, Ekawatiningsih, menunjukkan lembaran kain biru indigo lebar yang dipenuhi pola masker yang masih berwarna putih.
Tak jauh dari Eka, panggilan akrabnya, pembatik menyelesaikan motif isian masker tersebut. ”Banyak pesanan batal. Hajatan juga tidak ada. Jadi, saya coba-coba bikin masker. Uji cobanya cukup lama karena masker ukurannya kecil,sehingga membatiknya cukup rumit. Tetapi ini cukup membantu pembatik walaupun tidak setiap hari bisa bekerja,” tutur Eka lewat telepon.
Ada delapan pembatik yang bekerja di Rumah Batik Lumintu. Saat awal pandemi, sebagian besar pembatik terpaksa diliburkan. Menjelang Lebaran, terpikir oleh Eka untuk membuat sajadah. Momennya tepat dan permintaan pun cukup banyak.
Selepas Lebaran, permintaan sajadah berkurang. Masker batik tulis kini jadi tumpuan. ”Prinsip saya mengalir saja, supaya (produksi batik) bisa berjalan,” imbuh Eka.
Masker tersebut bukan berasal dari sisa kain, melainkan dibatik satu per satu dengan motif khas Lasem, seperti seruni dan lokcan. Masker dibuat tiga lapis untuk memenuhi standar kesehatan, yaitu lapisan batik tulis di luar, satu lapis trikot, dan dua lapis kain katun toyobo di dalam, lalu masih bisa diselipkan tisu.
Masker karya Rumah Batik Lumintu dipasarkan melalui Pasar Rakyat Lasem, sebuah inisiatif pasar daring yang dirilis pada Juni 2020 untuk membantu wirausaha menghadapi pandemi. Ada tiga jenis produk yang ditawarkan, yakni kriya, rasa, dan wastra.
”Sebelum pandemi, tur wisata di Lasem sangat hidup. Sekarang benar-benar stop, tidak ada aktivitas. Para pendiri Kesengsem Lasem lalu berdiskusi dan merilis Pasar Rakyat Lasem. Biar ada angin segar bagi usaha di Lasem yang lesu,” kata Ketua Yayasan Lasem Heritage Gilang Surya Saputra.
Barang-barang yang dipasarkan di Pasar Rakyat Lasem dikurasi oleh desainer Didiet Maulana dan salah satu pendiri Kesengsem Lasem, Pop Baskoro. Sebagian besar produk dibeli oleh yayasan, lalu dijual. Sebagian kecil dititipkan oleh pengusahanya. Produk-produk tersebut, di antaranya masker batik tulis, tas tote, bandana, tas belanja, kain tapeh, topi bucket, sajadah, serta kain dan sarung batik beragam motif khas Lasem.
Dari pasar daring itu, lanjut Gilang, pemilik usaha batik bisa belajar memenuhi permintaan dan selera pasar yang menginginkan produk berkualitas. ”Peminatnya banyak, terutama mereka yang pernah ke Lasem dan rindu Lasem. Mereka mengakses Pasar Rakyat Lasem, lalu menghubungi kami,” tuturnya.
Di Tangerang Selatan, jenama Oemah Etnik menyiasati pagebluk dengan inovasi di ranah desain. Pemiliknya, Rizki Triana, mengalihkan perhatian ke busana santai berikut aksesorinya.
Pakaian tersebut bisa digunakan sehari-hari di rumah, tetapi tetap pantas digunakan untuk bekerja, saat rapat virtual atau telekonferensi. Sebelum pandemi, Oemah Etnik tidak membuat aksesori. Kini konsumen menanyakan baju yang hendak dibeli dilengkapi masker atau tidak.
Mereka juga memproduksi bandana yang bisa dipakai untuk masker, tas kecil, dan tas belanja. Bahan dipilih dari kain tradisional, bekerja sama dengan perajin dari sejumlah daerah, seperti Jepara dan Cirebon. ”Pasar berubah sangat cepat. Kami tetap kreatif supaya pasarnya tetap ada. Kuncinya itu,” kata Rizki.
Berkat kreativitasnya, Oemah Batik bisa mengirimkan produk ke luar negeri. Pemesan di Singapura, Filipina, Vietnam, Australia, dan Amerika Serikat umumnya konsumen loyal.
Prospektif
Meskipun terpukul pandemi, optimisme bahwa industri batik Indonesia tetap prospektif selalu ada. Rasa optimistis itu, antara lain, ditopang sejarah panjang batik yang mampu bertahan di tengah berbagai pukulan.
Peneliti batik, William Kwan Hwie Liong, yang juga penulis buku Oey Soe Tjoen Duta Batik Peranakan (2014), mencontohkan perjalanan batik peranakan legendaris dari Pekalongan, Oey Soe Tjoen, yang bisa bertahan sejak 1925. Ketika dipegang generasi pertama, pasar batik adalah orang-orang kaya Tionghoa dari Temanggung dan Kudus. Generasi kedua menyasar masyarakat yang lebih luas dan wisatawan asing.
Di tangan generasi ketiga kini, batik Oey Soe Tjoen berinovasi di ranah bisnis dengan menampilkan batik sebagai karya seni. Pasarnya papan atas dan eksklusif. Pembeli rela mengantre dan menanti pesanan bertahun-tahun demi selembar batik yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta.
Karakter warna dan motif batik tulis halus dikerjakan pembatik di Kedungwuni, Pekalongan, dan dipertahankan tetap tradisional menggunakan canting nol. Toko hanya di Kedungwuni, tanpa ekspansi ke kota lain.
Inovasi dan kreativitas menjadi kunci agar batik tetap punya masa depan cerah. Desainer Musa Widyatmodjo mengeluhkan stagnasi dalam industri batik yang terjadi sejak sebelum pandemi. Secara kasatmata, menurut dia, warna dan motif tak banyak berubah.
Musa lantas membuat program milenialisasi batik. Dia menggelar webinar kisah wastra dengan melibatkan pelaku industri batik dan pencinta batik dari generasi milenial.
”Semua serba milenial. Kalau tidak melakukan terobosan baru, dari tahun ke tahun batiknya begitu-begitu saja. Motif umumnya jadul, hanya diulang lalu dimodifikasi. Nyaris tidak ada yang baru, fresh, kekinian. Dulu orang berani bikin motif tidak lazim pada zamannya. Kenapa sekarang enggak?” ujar Musa.
Inovasi dalam lembaran kain batik menjadi tanggung jawab perajin batik, penggambar motif, hingga desainer tekstil. Seiring perubahan batik dari sekadar sandang menjadi pakaian modis, perancang motif batik memegang peranan kunci.
Senada dengan Musa, William mendorong agar pembatik tidak takut berinovasi. ”(Pembatik) harus mampu menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Industrinya sangat berbeda, antara pelestarian kultur, revitalisasi industri, dan pengembangan kreativitas. Pelestarian harus disertai pemahaman pasar yang berubah,” ujarnya.
Inovasi ini perlu dilakukan tanpa kehilangan makna di balik identitasnya. Makna inilah yang membedakan batik Nusantara dengan kain dari negara lain. Cerita itulah yang digunakan untuk membangun citra di kancah dunia.