Apa yang kita alami sekarang, tak punya pilihan lain kecuali bergantung pada supremasi teknologi informasi, telah dilukiskan oleh George Orwell sekitar 70 tahun lampau. Dalam novel distopianya yang terbit pertama kali tahun 1949 berjudul 1984, Orwell bercerita tentang rezim totaliter di wilayah antah berantah Oceania yang melengkapi diri dengan teknologi ”telescreen”—kurang lebih seperti layar laptop ataupun ponsel kita sekarang.
Melalui telescreen yang dipasang di rumah para petinggi partai berkuasa serta seluruh kelas menengah, sang penguasa, sebutannya Big Brother, dengan Kementerian Kebenaran dan Kementerian Cinta (Ministry of Truth dan Ministry of Love) memonitor setiap ucapan dan tingkah laku rakyatnya. Telescreen juga berfungsi sebagai televisi. Setiap saat dia melancarkan propaganda. Dengan itu penguasa totaliter menguasai pikiran rakyat.
Kalau pelukisan tersebut dianggap ramalan, terbukti Orwell dalam beberapa hal keliru. Sebagaimana novel tadi bahwa semua itu akan terjadi pada tahun 1984, ternyata keadaan tahun 1984 tidak demikian. Kami waktu itu masih menggunakan mesin tik. Saat itu belum ada teknologi yang memungkinkan penguasa mampu memonitor pergerakan pihak yang hendak mereka awasi secara terus-menerus. Berselingkuh lumayan aman, sampai sekarang banyak penyintasnya, tidak ditangkap oleh Kementerian Kebenaran seperti dialami oleh Winston Smith dan Julia dalam 1984.
Baca juga: Udar Rasa Bre Redana: Kota Baru
Apa yang dilukiskan Orwell baru terjadi sekitar 35 tahun kemudian, seperti dialami sebagian besar orang sekarang, sehari-hari di depan telescreen. Yang tidak diperhitungkan Orwell, kemunculan telescreen tidak serta-merta menjadikan sentralisme kekuasaan menguat. Yang terjadi sebaliknya: berakhirnya monopoli informasi.
Dengan demokratisasi informasi, semua pusat kekuasaan limbung. Jangan imajinasikan sebatas Istana di Jalan Merdeka Utara, tetapi kekuasaan di ranah apa saja: media massa, perdagangan, kesenian, keuangan, dan seterusnya. Otoritas pada ranah paling angker, agama, tak kalah mengalami guncangan ketika tokoh-tokoh kharismatik tradisional terdesak oleh para selebritas yang baru kemarin sore belajar agama.
Otoritas pada ranah paling angker, agama, tak kalah mengalami guncangan ketika tokoh-tokoh kharismatik tradisional terdesak oleh para selebritas yang baru kemarin sore belajar agama.
Jebol tanggul definisi informasi, termasuk yang berabad-abad dikukuhi kesakralannya oleh industri pers dengan pasal-pasal turunannya, seperti pengertian news; apa itu fakta; obyektivitas; cover both sides, dan hal-hal teknis lainnya. Perlu dipertanyakan kembali, informasi sebatas yang memenuhi syarat 5W 1H (what, who, where, when, why, how) dalam jurnalisme. Jangan-jangan itu hanya penyederhanaan ketika dikarenakan penemuan teknologi cetak Gutenberg pada abad ke-15 informasi lalu menjadi komoditas. Begitu informasi jadi komoditas, dia butuh bahan baku sesuai standar produksi.
Jadilah meta-informasi, seperti dongeng, mitologi, folklore, babad, bisikan langit, dan wangsit, tersingkir dalam proses pembentukan kesadaran manusia. Pikiran manusia menjadi teknis prosedural. Meminjam istilah novelis Milan Kundera, manusia menjadi ”the forgetting of being”.
Baca juga: Udar Rasa Bre Redana: Kebohongan Saya
Dikondisikan oleh pengertian sempit tentang apa yang disebut fakta, orang kalang kabut ketika sekarang dunia dikuasai oleh media digital yang mengaburkan batas antara nyata dan tidak nyata, asli dan palsu, citra dan tindakan, dan seterusnya. Dalam jagat virtual ini, semua orang dimungkinkan menjadi agen informasi. Otoritas lama dalam pemberitaan silakan menggerutu dan mencak-mencak ketika gosip, prasangka, subashita, kebohongan, apriori, dan lain-lain menjelma jadi berita—dan sebagian besar orang menyukainya.
Sayang memang Orwell keliru. Seandainya dengan telescreen penguasa totaliter mampu melakukan kendali sosial terhadap rakyat, orde baik oleh orang baik kemungkinan mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 hingga keadaan tidak separah sekarang. Yang terjadi malah arus balik, telescreen membawa rakyat pada demokratisasi akses terhadap informasi. Monopoli informasi oleh penguasa berakhir, sentralisme kekuasaan goyah.
Kita sama-sama lihat sekarang bagaimana penguasa kalang kabut dengan telescreen-nya. Alih-alih melakukan kendali sosial, kini rakyat justru yang mengawasi mereka, mencatat inkonsistensinya, mengomentari inkompetensinya, kebohongannya, beberapa memberikan masukan bijaksana cuma sayang tidak didengar, atau malah balik diserang oleh para buzzer dan influencer.
Entah bagaimana ceritanya kekuasaan semacam ini bisa bertahan.