Musim Semi Kuliner Nabati
Kini, banyak restoran yang menyajikan makanan lezat berbasis nabati. Sebagian bahkan mencukupi bahan bakunya dari dalam negeri saja. Kesadaran mengenai keberlanjutan lingkungan turut terpatri di benak para pebisnisnya.

Staf kedai Krish Veggies di kawasan Mayestik, Jakarta Selatan, menyiapkan pesanan makanan sate vegetarian, Selasa (29/9/2020).
Bak jamur di musim hujan, rumah makan yang menghadirkan masakan berbahan khusus nabati terus bermunculan. Mereka beradu kreativitas, menyuguhkan racikan terbaik bagi pelaku gaya hidup serba nabati. Musim kuliner serba nabati tengah bersemi.
Komariah (44) sigap mengambil ”potongan ayam” saat konsumen menyebutkan pesanannya, Kamis (1/10/2020). Karyawan Krish Veggies itu lalu menyalakan kompor dan menyiapkan pemanggang. Sedapnya aroma segera menguar di sekitar kedai yang luasnya sekitar 5 meter persegi di Jalan Lauser, Jakarta Selatan.
Komariah yang mengenakan masker sibuk membolak-balik ”daging ayam” dengan sedikit lumuran mentega nabati. Sepuluh menit kemudian, pesanan siap. Tampilannya menggiurkan. Pun saat dicecap, rasanya mengejutkan. Tekstur dan gurihnya ”potongan ayam” yang tersaji, nyaris tak berbeda dengan daging ayam asli.
Selain ayam, Krish Veggies juga menawarkan hidangan kambing vegan. Ayam goreng atau bakar, sate, dan kambing balado diolah dari kedelai. Tersedia juga nasi lengko, langgi, atau sekadar tambahan sayuran.
Baca juga: Si Dingin Pelipur Gundah
”Sekarang sudah tersedia 16 menu. Saya mulai memenuhi pesanan tahun 2016. Masih on off waktu itu,” kata pemilik Krish Veggies, Krishna Nanwani (25). Animo konsumen yang terus meningkat, memantapkannya membuka Krish Veggies tahun 2019.
Krishna optimistis, gaya hidup menyantap produk nabati makin diminati. Ia pun mengamati, kian banyak orang menjadi vegan di masa pandemi. ”Enggak hanya vegan, yang makan daging juga suka makanan saya,” katanya.
Tak hanya di tepi jalan, di restoran mentereng hingga sekelas warung, kini kita mudah menemui masakan vegan atau berbasis nabati. Di tengah sesaknya toko-toko di Petak Sembilan, Jakarta, misalnya, terselip Vegetarian, warung sederhana yang menyajikan rendang, sate, dan daging merah. Semua makanan itu berbahan nabati, juga sebagian diracik khusus sehingga bercita rasa daging.
Ada pula yang menghadirkan menu vegan melalui toko daring. Salah satunya Jahat (Jajan Sehat) Vegan yang baru buka 23 Juni 2020, dengan produknya woku peranakan. Harga per 300 gram, Rp 75.000. Bahan bakunya kedelai, dimasak dengan bumbu woku. ”(Rasanya) kayak dada ayam. Tapi ini dari kedelai,” ujar Bastiaan Rambie, pemilik Jahat Vegan yang berpartner dengan aktor Nino Fernandez.
Lihat juga: Teknologi Pencetak 3D Daging ”Steak” Vegan

Menu serba nabati di Tiasa Plant-Based Canteen di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (30/9/2020).
Menurut Bastiaan, keberanian mereka membuka Jahat Vegan muncul karena melihat peluang di pasar kuliner berbahan nabati kian besar. Ini dapat dilihat dari keinginan masyarakat yang berupaya hidup lebih sehat dengan pilihan gaya hidup vegan atau vegetarian. Pengalaman Nino menjadi vegan selama 2,5 tahun menambah keyakinan untuk terjun di bisnis kuliner vegan. ”Kami mengikuti pasar. Peluangnya ada meski tipis,” katanya.
Inovasi
Rumah makan vegan Loka Padang yang baru berumur dua tahun juga terus berinovasi memenuhi kebutuhan pasar vegan. Dari semula menyajikan menu-menu vegan khas Padang, Loka Padang yang didirikan salah satunya oleh Irene Umar, melebarkan sayap ke menu Nusantara, juga internasional.
”Loka sekarang enggak berani buka cabang. Tapi kita kembangin ke menu. Jadi ikutin kebutuhan masyarakat. Saat WFO/WFH, semua orang kangen jalan-jalan, kita launch lokatering. Katering loka Nusantara dan internasional,” ujar Irene.
Untuk menu Nusantara, misalnya, ada sate madura, rendang kentang, gulai champignon, dan martabak kubang mini. Untuk menu internasional, ada vegan zuppa toscasna, vegan burger, tortilla kebab, mushroom stroganoff, dan banyak lagi. Utamanya jamur dan kedelai. ”Semua pakai bahan lokal,” kata Irene.
Baca juga: Vegetarian Rasa Indonesia

Staf kedai Krish Veggies di kawasan Mayestik, Jakarta Selatan, menyiapkan pesanan makanan vegetarian, Selasa (29/9/2020). Kini kian banyak gerai makanan yang menawarkan menu vegetarian dan vegan.
Selama pandemi dan PSBB, pesanan relatif stabil karena Loka sudah memiliki pelanggan tetap. Di sisi lain, Irene melihat tren gaya hidup berbasis nabati makin meningkat. ”Pelan tapi pasti, orang mulai sadar pentingnya makan sehat,” katanya.
Tingginya animo masyarakat membuat kedai makanan berbasis nabati Tiasa Plant-Based Canteen yang berbasis di Jalan Kihiur, Bandung, Jawa Barat, bahkan berani membuka cabang baru di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, pada Juli 2020. Di bulan pertama pembukaan kantin, pemilik Tiasa Plant-Based Canteen, Ghea Anisa (29), mencatat kenaikan omzet hingga 40 persen.
Ghea menyebut, hal utama yang membuat Tiasa ”selamat” dari kebangkrutan selama pandemi adalah pilihan menyajikan menu nabati dengan harga terjangkau. Disajikan ala kantin, seporsi sayur dihargai Rp 7.000, setiap lauk Rp 20.000. Untuk satu piring makan kenyang, harganya Rp 35.000-Rp 45.000.
Baca juga: Diet Vegan Rentan Kekurangan Nutrisi untuk Otak
Relatif ”sehat di kantong” karena diolah dari bahan baku yang terjamin keamanan pangannya. Seluruh menu berbasis tanaman, tanpa produk hewani. Bahan bakunya organik, hanya menggunakan gula kelapa, garam himalaya, dan tanpa tambahan MSG.
Agar tak bosan, menu diganti tiap pekan. Variannya mulai rendang, dendeng batokok, ayam goreng lengkuas, hingga daging bulgogi khas Korea. Seluruh bahan baku menyerupai daging ini dibuat dari olahan jamur atau kedelai.

Pramusaji mempersiapkan menu vegetarian di Tiasa Plant-Based Canteen di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (30/9/2020). Kantin ini khusus menyajikan masakan berbasis nabati.
Ketertarikan Ghea pada makanan berbasis nabati dimulai saat ayahnya terkena stroke pada Juni 2019. ”Itu karena suka makanan lezat. Ketika Ayah stroke, duniaku gelap. Sedih, kok bisa karena makanan manusia jadi invalid,” ujarnya. Ghea lalu berjanji akan membuka usaha makanan sehat dan mulai menjalankan Tiasa sejak Agustus 2019.
Tren global
Layanan antar dengan ojek daring yang meningkat juga menjadi indikasi hidangan nabati yang kian diminati. Menu-menu nabati yang dipesan via Gofood pada September 2020 meningkat 20 persen dibandingkan Maret 2020. Pada periode yang sama, jumlah mitra Gofood yang menjual menu nabati juga naik 20 persen. Transaksi menu vegan meningkat 2,1 kali lipat. Menu vegan paling diminati salah satunya yakni rendang nabati.
”Secara umum, tren konsumsi makanan vegan memang meningkat di Indonesia, baik karena kesadaran untuk lebih berkontribusi pada kelestarian lingkungan maupun kesehatan,” kata Vice President Corporate Affairs Food Ecosystem Gojek Rosel Lavina.
Tren vegan yang terus meluas tersebut, menurut pegiat gastronomi, Kevindra Soemantri, menantang para juru masak untuk mengeksplorasi kekayaan pangan nabati dalam negeri. ”Mereka menganggap kreasinya jadi terbatas karena tak bisa memasak daging. Di balik itu ternyata ditemukan dunia yang sangat luas,” kata Kevindra.
Baca juga: Diabetes dan Diet Vegetarian
Dia mengungkapkan, banyak sayuran, biji-bijian, umbi, hingga rempah yang bisa diolah. Koki-koki kreatif pasti mampu menyajikan hidangan yang bahkan lebih enak dari olahan daging. ”Seniman-seniman rasa itu mengerahkan daya cipta, misalnya untuk membuat pasta tanpa telur, karena harus mampu mengakomodasi selera vegan yang makin beragam,” ujarnya.
Kini, banyak restoran yang menyajikan makanan lezat berbasis nabati. Sebagian bahkan mencukupi bahan baku dari dalam negeri saja. Kesadaran mengenai keberlanjutan lingkungan turut terpatri di benak para pebisnisnya. ”Kalau pakai produk impor tentu menambah jejak karbon karena dikirim dengan transportasi yang jaraknya jauh,” ujar Kevindra.

Keluarga Susianto Tseng menyantap menu makan vegan bersama dengan istri dan anaknya.
Menurut Dr Susianto Tseng, President of World Vegan Organisation and Vegan Society of Indonesia, tahun 1998, restoran atau rumah makan vegan/vegetarian di Indonesia hanya sekitar 50 buah. Tahun 2017, jumlahnya sudah lebih dari 2.000 restoran. Saat ini, diperkirakan jumlahnya makin banyak.
”Yang menarik, banyak sekali rumah makan yang tadinya vegetarian berubah menjadi vegan. Mereka sudah tidak lagi menyediakan telur dan susu karena permintaan pasar seperti itu,” ujar Tseng.
Gaya hidup vegan kini makin mengarus utama dengan kaum milenial sebagai lokomotifnya.
Tak hanya di Indonesia, di Amerika Serikat, gaya hidup vegan pun meledak. The Economist dalam segmen laporan ”World in 2019”, menurunkan artikel ”The Year of The Vegan” yang menyebut di Amerika Serikat, gaya hidup vegan kini makin mengarus utama dengan kaum milenial sebagai lokomotifnya.
Seperempat dari responden usia 25-34 tahun warga Amerika saat ini menyatakan diri sebagai vegan atau vegetarian. Bisnis pangan berbasis nabati (plant-based) pun meroket hingga jaringan makanan siap saji berbasis hewani, seperti McDonald’s dan KFC, mengeluarkan menu burger vegan, bekerja sama dengan produsen ”daging” nabati, Beyond Meat yang berbasis di California.

Menu makanan vegan di kediaman Susianto Tseng.
Di masa pandemi, saat pasar saham lesu, saham Beyond Meat malah meroket. Di Eropa, tren pangan serba nabati juga menguat hingga Komisi Eropa mendukungnya dengan menyiapkan regulasi khusus.
Meski begitu, para pemerhati gaya hidup sehat mewanti-wanti jika pilihan pangan nabati dilandasi dorongan gaya hidup sehat, produk-produk daging nabati pabrikan yang notabene makanan terproses, sebenarnya juga tak lebih sehat dari daging sungguhan. Bahan pangan nabati yang segar dan minim proses tetaplah lebih sehat.
Tren pangan nabati yang menyerupai hewani tersebut lantas memunculkan sebutan ”vegan junk food”. Oleh karena itu, tergantung motivasi tiap individu. Menjadi vegan, apakah karena isu kesejahteraan hewan, pemanasan global, atau gaya hidup sehat.