Kepada masker batik, para perajin menggantungkan asa agar tetap bisa mempertahankan kehidupan di masa pandemi Covid-19 ini.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sempat terpukul akibat pandemi Covid-19, kini pelaku industri batik mulai bangkit. Meskipun permintaan batik untuk kain, busana, dan aksesori belum sepenuhnya pulih, mereka terselamatkan dengan tingginya permintaan konsumen terhadap masker batik.
Dampak pandemi salah satunya dirasakan Haryati Suroso, pemilik butik Batikque Batik asal Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sepinya aktivitas pariwisata di Yogyakarta sempat membuat usahanya kalang kabut. Banyak tempat wisata dan hotel yang tutup sehingga ruang untuk memasarkan kain batik cap karyanya amat terbatas.
Saat itu, Haryati hanya bisa mengandalkan penjualan produk yang dipamerkan di Galeri Upakarti Sleman. ”Biasanya, kami buka stan dan mengisi pelatihan batik di hotel dan tempat wisata. Nah, itu semua benar-benar tutup sama sekali saat pandemi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (2/10/2020).
Akibatnya, selama tiga bulan pertama pandemi, pendapatan Haryati nyaris nol. Padahal, pada hari normal, rata-rata omzetnya mencapai Rp 20 juta sebulan.
Baru sekitar bulan Mei Haryati kembali mendapatkan permintaan. Akan tetapi, kali ini bukan permintaan kain batik yang ia terima, melainkan masker batik. Permintaan itu datang dari beberapa instansi pemerintahan di Kabupaten Sleman untuk keperluan tanggap darurat Covid-19.
”Kebetulan saat itu kami masih simpan kain-kain batik yang kurang maksimal pembuatannya, tidak sesuai konsep, atau salah warna. Itu kami buat jadi masker,” ujar perempuan yang mulai membatik sejak tahun 2012 ini.
Dari situ, permintaan masker batik milik Haryati kemudian meluas. Tidak hanya dari instansi pemerintah, masker batiknya ternyata juga diminati konsumen umumnya. Mereka lalu melakukan pra-pesan secara daring.
Kini, dari penjulan masker saja, Haryati mengantongi Rp 5 juta dalam sebulan. Jika tadinya ia membuat masker dari kain batik yang tidak terpakai, kini ia membuat pola khusus untuk masker.
”Kalau untuk kain batik, sekarang mulai bangkit. Tapi, omzetnya masih setengah dari omzet normal,” katanya.
Kini, dari penjulan masker saja, Haryati mengantongi Rp 5 juta dalam sebulan. Jika tadinya ia membuat masker dari kain batik yang tidak terpakai, kini ia membuat pola khusus untuk masker.
Dampak pandemi juga dialami perancang busana sekaligus pendiri butik Elemwe, Lily Mariasari. Saat awal pandemi, omzetnya menurun hingga 70 persen. Dalam keadaan yang sulit, ia tetap membina perajin-perajin batik di Jakarta agar bisa terus berproduksi.
Salah satunya adalah perajin batik di rumah susun Tambora, Jakarta Barat, yang ia bina sejak Oktober 2019. Hingga kini, setidaknya ada 12 perajin rusun Tambora yang masih aktif membuat batik motif seni budaya Betawi.
”Beruntungnya, di masa pandemi ini, mereka masih tetap bisa berkreasi. Bahkan kemarin ikut dalam ajang Karya Kreatif Indonesia dari Bank Indonesia,” katanya.
Di saat permintaan masyarakat terhadap kain, busana, atau aksesori batik menurun, Lily berinisiatif memasarkan masker batik motif seni budaya Jakarta di butiknya. Hal ini ternyata disambut antusias oleh para konsumennya.
Tambah produksi
Permintaan masker yang tinggi semakin menggiatkan produksi ibu-ibu rumah susun Tambora yang merupakan salah satu penyuplai kain batik motif seni budaya Jakarta ke butik Elemwe. Kain tersebut kemudian diolah menjadi masker oleh butik Elemwe.
”Awalnya, mereka hanya mampu memproduksi kain batik tulis itu sebanyak 12 item per pekan. Sekarang, mereka bisa memproduksi 20 batik sepekan,” katanya.
Kini, butik Elemwe bisa membuat sekitar 5.000 masker batik dalam sehari. Selain dari ibu-ibu di rumah susun Tambora, bahan baku masker tersebut juga diambil dari para perajin lain di Jakarta.
”Sejumlah 70 persen permintaan di tempat saya saat ini didominasi masker. Sisanya kain, baju, dan aksesori,” tambah Lily.
Pandemi juga memukul produsen batik asal Surakarta, Jawa Tengah, Agustina Giarawati. Ia mengaku hanya mengirimkan 1.000 kain batik dalam sebulan saat awal pandemi. Padahal, sebelumnya ia kerap mengirimkan 1.000 kain batik setiap pekan. ”Awal pandemi, penurunan permintaan sekitar 80 persen,” katanya.
Beberapa bulan setelahnya, Agustina turut memproduksi masker batik. Awalnya, masker itu hanya untuk kegiatan donasi. Lama-kelamaan banyak permintaan masuk dari pembeli.
Untuk membuat masker batik, ia hanya memanfaatkan kain batik cap sisa produksi yang tidak terpakai. ”Sehari, penjualan saya bisa mencapai sekitar Rp 500.000. Saya melayani pengiriman barang ke Bali dan sekitar Surakarta,” ujarnya.
Kini, permintaan batik di tempat Agustina sudah berangsur normal. Ia sudah mengirim ribuan kain batik paris ke Bali. Selama ini, Bali memang menjadi pasar utama dari Agustina lantaran kain batik paris miliknya cocok untuk kegiatan keagamaan dan tradisi di sana.
”September, kan, puncaknya hari keagamaan di Bali. Jadi permintaan banyak. Saya bisa ngirim 1.000 lembar kain per minggu,” katanya.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, pandemi Covid-19 sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh para perajin dan pengusaha batik untuk berinovasi. Misalnya, menjadikan motif batik sebagai motif interior, karena banyak orang kini bekerja dari rumah (Kompas, 2 Oktober 2020).