Biji-biji kopi khas Nusantara kini semakin familier di kalangan penikmat kopi. Bahkan, di beberapa roastery atau tempat penyangrai, permintaan atas kopi lokal mendominasi.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
Biji-biji kopi khas Nusantara kini semakin familier di kalangan penikmat kopi. Bahkan, di beberapa roastery atau tempat penyangrai, permintaan atas kopi lokal mendominasi.
Tiara Dinda (27), pencinta kopi asal Yogyakarta, mengaku sangat familier dengan biji kopi Nusantara ketimbang biji kopi impor. Bahkan, selama ini ia hanya mampu mengingat satu kopi impor yang pernah ia coba, yakni kopi Kenya.
Ia percaya setiap kopi memiliki karakteristiknya masing-masing sehingga enggan menilai rasa kopi mana yang paling nikmat. ”Tapi karena aku jarang minum kopi campuran kopi impor, sekali nyoba langsung ketahuan rasanya beda dan unik,” katanya saat dihubungi, Kamis (1/10/2020).
Tiara gemar menyesap kopi racikan kedai kopi yang berbeda-beda. Menurut dia, kebanyakan kedai kopi saat ini menggunakan biji kopi Nusantara. Campuran yang sering ditemui Tiara, misalnya perpaduan kopi Gayo dan Toraja. ”Kalau buat manual brew (seduh manual), aku lebih tertarik sama biji kopi dari Jawa Barat,” ucapnya.
Setiap kali berada di kedai kopi, Tiara selalu memesan kopi latte atau piccolo. Alasannya, ia ingin merasakan perbedaan antara house blend di satu kedai kopi dan kedai kopi lainnya. ”Setiap kedai kopi pasti punya house blend yang berbeda-beda sesuai dengan karakternya,” katanya.
Meski cukup lama absen mendatangi kedai-kedai kopi selama pandemi, Tiara tetap menikmati kopi dengan cara yang berbeda. Cangkir kopinya diisi dengan kopi seduh manual racikan sendiri. ”Kalau manual brew, saya beli biji kopi Jawa Barat kemasan 200 gram dari penyangrai. Itu sebulan baru habis,” katanya.
Setelah menguasai metode seduh manual, Tiara membeli mesin espresso agar latte dan piccolo bisa dibuatnya sendiri. Ia biasanya menggunakan kopi house blend untuk membuat espresso. Campuran yang ia gunakan adalah kopi gayo dan kopi Jawa Barat.
”Agustus kemarin akhirnya aku beli mesin espresso sendiri via daring. Saya beli dengan bundling penggiling kopinya, kira-kira Rp 5 juta,” ucapnya.
Hardina (29), warga Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga sangat menyukai rasa dan aroma kopi Nusantara. Ia kerap memesan kopi robusta dari Bengkulu atau kopi gayo. ”Robusta Bengkulu itu rasanya aku suka. Kopi gayo juga aku suka rasa asamnya,” kata Hardina.
Ia memilih cara yang sederhana, yakni menyeduh robusta begitu saja. Kopi tubruk begitu lazimnya orang kebanyakan menyebut.
Apabila rindu americano, Hardina memesan dari kafe. ”Di rumah aku enggak punya alat-alatnya. Jadi pengen simpel aja,” ungkapnya.
Tidak fanatik
Ryan Dwiki Anggriawan (29), karyawan swasta asal Jakarta Barat, mengaku tidak terlalu fanatik dalam memilih kopi. Meski kerap memesan espresso latte setiap bertandang ke kedai kopi, ia mengaku bisa menikmati semua jenis kopi. Akan tetapi, cita rasa kopi lokal menjadi kegemarannya.
Kendati demikian, selama pandemi Covid-19, Ryan nyaris tidak pernah ngopi di kedai kopi. Seringnya, ia menyeduh kopi kemasan yang selalu tersedia di indekosnya. Sesekali, ia membeli kopi siap minum lewat layanan pesan antar.
Menu yang ia pilih pun tidak terpaku pada satu macam kopi. Seringnya, ia memilih kopi yang sedang promo saat itu.
Robusta banyak dicari
Menurut Jundullah Abdul Muizz (27), pemilik usaha penyangrai ”Jaya Roaster” di Yogyakarta, permintaan biji kopi asli Nusantara di tempatnya selama ini juga tidak mampu ditandingi kopi impor. Dari total permintaan biji kopi yang ia terima, lebih dari 95 persennya adalah campuran dari biji kopi Nusantara.
Beberapa kopi impor yang dijual Jundi, misalnya kopi Amerika Latin, Etiopia, atau Kenya. ”Kopi dari luar negeri di tempat saya cuma sedikit. Untuk memperkaya stok saja. Permintaannya juga paling sekitar 5 persen,” ujar Jundi, nama panggilannya.
Hampir 80 persen biji kopi yang dijual Jundi berjenis robusta mengingat permintaan kopi jenis ini cenderung tinggi. Biasanya, robusta dijadikan bahan dasar kopi susu atau kopi susu gula aren.
Hampir 80 persen biji kopi yang dijual Jundi berjenis robusta mengingat permintaan kopi jenis ini cenderung tinggi. Biasanya, robusta dijadikan bahan dasar kopi susu atau kopi susu gula aren.
Sementara itu, meski peminat biji kopi di tempat Jundi menurun pada awal pandemi, kini sudah kembali pulih. Malahan, permintaan biji sekarang melebihi dari hari normal. ”Karena pada awal April-Mei lalu, banyak kedai kopi di Jogja pada tutup. Akhirnya penjualan ikut terdampak,” katanya.
Sebelum pandemi, omzet Jundi mencapai Rp 20 juta per bulan. Sementara pada awal pandemi, omzetnya anjlok hingga tersisa Rp 3 juta sebulan. Kini, omzetnya sudah pulih, bahkan menyentuh Rp 30 juta dalam sebulan.