Pandemi Covid-19 membuat kedai kopi tidak selalu menjadi tempat tujuan utama untuk menyesap nikmatnya si hitam. Di rumah atau via daring pun bisa senikmat ”nongkrong” di kafe.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
Anjuran untuk berada di rumah selama pandemi Covid-19 membuat sebagian besar orang mengubah kebiasaan ngopi. Kedai kopi tidak selalu menjadi tempat tujuan utama untuk menyesap nikmatnya si hitam. Di rumah atau via daring pun bisa senikmat nongkrong di kafe.
Kamis (1/10/2020), saat jarum jam menunjukkan pukul 11.00, Fadli (19) buru-buru memarkirkan sepeda motornya di sebuah warung kopi di Jalan Anggrek Garuda, Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat. Ia bergegas duduk dan memesan kopi hitam, meskipun si empunya warung sedang sibuk memasak mi instan.
”Pusing nih, belum ngopi dari pagi,” celetuknya kepada pemilik warung.
Pria yang berprofesi sebagai pengemudi ojek daring ini mengaku sudah mengenal kopi sejak tahun 2012. Artinya, umurnya saat itu baru menginjak 12 tahun. Dari hari ke hari, ia semakin fanatik dengan kopi. Ia wajib menenggak minimal satu gelas kopi per hari.
Pandemi Covid-19 sedikit banyak mengubah kebiasaan ngopi-nya. Dulu, hampir setiap hari ia dan teman-teman selalu ngopi di salah satu kedai kopi di kawasan Grogol atau Tanjung Duren, Jakarta Barat. Kini, ngopi tak bisa seleluasa dulu.
”Masih ada saja sih yang ngajakin (ngopi). Kedainya juga masih buka. Sekarang paling seminggu sekali,” katanya.
Untuk mengobati kerinduan dengan kopi buatan barista, sementara ia hanya bisa menikmati kopi hitam buatan warung kopi di pinggir jalan.
Rutinitas ngopi Hardina (29), warga Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga berubah karena pandemi Covid-19. Dua bulan pertama masa pandemi, ia sama sekali tidak pernah ngopi di kedai kopi. Menyeduh kopi di rumah jadi pilihannya saat itu.
Absennya ngopi di kedai membuat dua kebiasaan yang melekat padanya ikut menguap. Tidak hanya kenikmatan dan aroma kopi di ruangan kedai, Hardina juga kehilangan sensasi nongkrong-nya. Sebelum pandemi, hampir setiap kali ngopi, Hardina jarang sendiri, kecuali jika ia ingin mengerjakan tugas kantor.
Untuk mengobati kerinduannya, Hardina mengadakan ngopi virtual bersama teman-teman. Saat itu, mereka melakukan panggilan video melalui Whatsapp. Setiap orang menaruh segelas kopi di hadapan masing-masing.
”Pernah waktu itu (nongkrong virtual). Karena lagi ada yang pengen dibahas, jadi enaknya sambil ngopi. Lumayan buat mengobati kerinduan nongkrong,” ujarnya.
Maraknya kegiatan bersepeda beberapa bulan lalu, kembali membuat Hardina ngopi di kedai kopi. ”Karena pas sepedaan, sering kali titik kumpulnya ya di kedai-kedai kopi itu. Akhirnya, kebiasaan ngopi jadi muncul lagi perlahan, ujarnya.
Meski begitu, intensitas menikmati kopi tidak sesering sebelum pandemi. Jika dulu, hampir setiap hari ia tak absen ke kedai kopi, kini ia hanya ke kedai kopi maksimal dua kali dalam sepekan.
Rogoh kocek demi espresso
Pandemi Covid-19 juga memaksa Tiara Dinda (27), karyawan swasta di DI Yogyakarta, membeli mesin espresso. Hal itu ia lalukan agar ia tetap bisa menikmati secangkir latte atau cappucino tanpa harus keluar rumah.
”Agustus kemarin akhirnya aku beli mesin espresso sendiri via daring. Saya beli dengan bundling penggiling kopinya, kira-kira habis Rp 5 juta,” katanya.
Selama pandemi, Tiara membeli biji kopi dari teman-temannya yang memiliki usaha penyangrai (roastery) kopi. Kopi house blend dari campuran kopi gayo dan kopi asal Jawa Barat jadi pilihannya. Ia juga membeli susu dari distributor di dekat rumahnya sebagai paduan espresso.
Kecintaan Tiara pada kopi tak diragukan lagi. Sebelum pandemi, ia kerap melakukan coffee shop hopping atau berpindah dari satu kedai ke kedai kopi lainnya. Tak jarang, ia melakukannya di beberapa kota yang berbeda.
Sementara di awal pandemi, Tiara membeli kopi lewat jasa pesan antar. Lalu pada April-Juni, ia mulai menyeduh sendiri di rumah dengan metode seduh manual (manual brew). Saat itu, ia mulai membeli biji kopi di pelaku usaha penyangrai.
”Mulai Juni sudah banyak kedai kopi yang buka lagi di Jogja. Lalu aku beranikan diri buat datang atau pesan (minuman kopi) lewat jasa pesan antar,” ujarnya.
Akan tetapi, pandemi Covid-19 membuat penjelajahan para penggemar kopi seperti Tiara tidak bisa bebas. Kekhawatiran menggantung saat bertandang ke kedai kopi. Sejumlah kafe juga tutup. Lantaran itulah, Tiara memutuskan membeli peralatan pembuat espresso. Varian latte atau cappucino dari espresso racikan sendiri mengobati rasa rindu akan ngopi di kafe.
Menurut Jundullah Abdul Muizz (27), pemilik usaha penyangrai kopi Jaya Roaster di Yogyakarta, peminat biji kopi sempat menurun pada awal pandemi, tetapi kini sudah pulih. Malahan, permintaan biji sekarang melebihi dari hari normal.
”Karena pada awal April-Mei lalu, banyak kedai kopi di Jogja pada tutup, akhirnya penjualan (biji kopi) ikut terdampak,” kata Jundi, panggilan akrabnya.
Di hari normal, omzet penjualan Jundi bisa mencapai Rp 20 juta sebulan. Sementara pada awal pandemi, omzetnya anjlok hingga menyisakan Rp 3 juta saja per bulan. Kini, omzetnya sudah mencapai Rp 30 juta dalam sebulan.
Selama ini, pelanggan Jundi dari kalangan perseorangan dan kedai kopi. Untuk perseorangan, ia biasa menjual secara ritel dalam ukuran 50 gram, 100 gram, atau 200 gram. Adapun permintaan dari kedai kopi biasanya maksimal 20 kilogram.
”Yang meningkat dari pembeli perseorangan. Sekarang banyak muncul pelanggan-pelanggan baru. Anehnya di Jogja banyak kedai kopi baru,” katanya.