Mereka Tak Mau Dikalahkan Kanker
Pandemi Covid-19 memang menyulitkan semua orang. Namun, bagi pasien kanker, kesulitan itu sungguh berlipat ganda. Ketahanan tubuh yang dilemahkan kanker dan didera pengobatan keras kini diintai pula oleh virus.
Pandemi Covid-19 menjadi pukulan ganda bagi pasien kanker. Sel-sel ganas itu menggerogoti, sementara virus korona pun mengintai daya tahan tubuh yang rawan. Perawatan dan pengobatan yang harus dijalani makin rumit. Akan tetapi, semangat mereka tak lantas pupus.
Pandemi Covid-19 memang menyulitkan semua orang. Namun, bagi pasien kanker, kesulitan itu sungguh berlipat ganda. Ketahanan tubuh yang dilemahkan kanker dan didera pengobatan keras kini diintai pula oleh virus. Akan tetapi, semangat dan harapan adalah sesuatu yang lebih besar dari tantangan pandemi. Ini sebagian kisah para pasien kanker yang berusaha merangkul ketakutan, menyalakan semangat, dan terus berjuang melawan kanker.
Jenny Tahitoe (58) menemukan keriaan dengan berkebun bersama adiknya. Ia menanam bunga, sayur, buah, dan tanaman bumbu. Pada salah satu polybag tempat menanam kemangi, dia menemukan jamur-jamur putih tumbuh. Ia memotret jamur itu dengan ponsel.
Foto jamur yang diberi judul ”Payung-payung Alam” itu mengantarnya jadi juara kedua lomba foto untuk pasien dan penyintas kanker yang diadakan Yayasan Kanker Indonesia, Agustus lalu.
”Mungkin ini alasan saya tetap hidup selama ini. Saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan, kenapa saya sakit. Pertanyaan saya malah, Tuhan, kenapa saya masih hidup,” ungkap Jenny.
Sudah sembilan operasi dan 98 kali radiasi dilalui Jenny sepanjang 37 tahun ia didera kanker. Namun, hidup bagi Jenny tetap asyik-asyik saja. ”Jadi, koleksi kanker saya sekarang ada tiga,” ujarnya diiringi tawa berderai.
Perbincangan dengan Jenny melalui telepon, Senin (14/9/2020), diselingi batuk-batuk kecil. Akhir bulan lalu dia demam dan batuk, tetapi sudah membaik. ”Sejak Desember 2019 saya mulai kemo oral. Obatnya harus diambil ke RSCM. Saya tahu di RSCM tidak mungkin menjaga jarak. Hati saya tidak nyaman. Lalu saya putuskan stop kemo oral daripada kena Covid. Saya masih mau hidup,” tuturnya.
Jenny pertama kali didiagnosis kanker payudara tahun 1983 dan menjalani pengangkatan payudara kanan. Tahun 2008, giliran payudara kiri menjalani operasi breast conserving treatment (BCT). Tahun 2017, rahimnya diangkat karena kanker endometrium. Belakangan terdeteksi kankernya menyebar ke paru-paru.
Ketika hamil, dokter menyuruh Jenny menggugurkan kandungan karena kehamilan memicu sel-sel kanker aktif kembali. ”Saya menolak saran dokter. Lihatlah, saya tetap hidup dan anak semata wayang saya jadi penyemangat hidup saya.”
Kata Jenny, ia tidak mau berpikir dirinya sakit. Selama berada di rumah karena pandemi, sehari-hari Jenny sibuk mengerjakan pekerjaan rumah yang menurut dia tidak ada habisnya. ”Apanya yang bosan? Enggak sempat bosan,” ujarnya, lagi-lagi sambil tertawa.
Menemukan semangat
Ketika pertama kali merasakan gejala kanker serviks pada Oktober 2019, Menuk Trimurtiningsih (42) sedang sibuk memimpin proyek pembangunan apartemen mewah 36 lantai. Pukulan akibat pandemi dirasakannya ketika harus menjalani radiasi brachytherapy, Maret lalu. Selama empat bulan, Menuk tak mendapat penanganan karena bahan radiatif tak tersedia.
Sempat terpikir untuk berobat ke Malaysia, tetapi niat itu pun terkendala pandemi. ”Efek wabah pertama dan yang paling berat buat saya. Awal diagnosis, stadium masih 1b. Terhambat berobat, jadinya peluang saya menurun. Ketika bahan radiatif kembali tersedia, kanker sudah tumbuh lagi. Harus mengulang lagi, akhirnya digempur secepatnya dengan dosis setinggi-tingginya,” kata Menuk.
Usai brachytherapy, ia dinyatakan sembuh. Namun, rasa nyeri kembali dirasakan setelah dua bulan sembuh. Hasil pencitraan negatif film menunjukkan marker menyala di banyak tempat. Kanker menyebar ke rongga panggul, kelenjar getah bening perut belakang, dan liver kanan. ”Sejak dua minggu lalu, berjuang untuk kemoterapi sampai sekarang,” ujarnya.
Menjalani kemoterapi di masa pandemi bukan perkara mudah. Menuk harus terlebih dahulu menjalani tes usap (swab) Covid-19. Tes usap yang sudah negatif pun terpaksa diulang lagi karena demam. ”Masih nunggu hasil swab terakhir, semoga bisa kemo.”
Menuk tak hendak menyerah dengan kondisi sulit ini. Sebagai anak tunggal, kekuatan Menuk datang dari keinginannya menjaga sang ibunda. Ia juga menemukan semangat pada anak-anaknya. Setelah memutuskan berhenti kerja kantoran, Menuk masih menggarap proyek arsitektur yang bisa dilakukan dari rumahnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Ia juga kini menemukan kesenangan dari belajar fotografi atau membaca buku dan menuliskan perjuangan melawan kanker. Usai rangkaian kemoterapi kelak, Menuk bertekad menghafalkan Al Quran.
”Menghafal setelah treatment itu lebih berat. Kalau sedang menjalani treatment jadi lola, loading lama. Yah, saya ’manggung’ dulu, ya,” ujarnya. ”Manggung” adalah istilah Menuk untuk menyebut proses pengobatan yang sedang ia jalani.
Banyak di antara pasien kanker tetap beraktivitas seperti biasa di sela-sela menjalani perawatan. Dari sejumlah foto pribadi yang dikirimkan, Mirza Himawan (48), misalnya, terlihat sibuk mengisi hari dengan bisnis camilan ringan. Saat dihubungi per telepon, Kamis (17/9/2020), Mirza bercerita, dirinya dideteksi kanker nasofaring pada Februari 2018.
Namun, kanker tak menyurutkan aktivitasnya. Ia bersemangat memproduksi beragam makanan ringan, seperti kerupuk rambak, keripik singkong, dan kacang peyek bermerek nama salah seorang anaknya, ”Safa Snack”. Semua dijual ke pengepul yang menyalurkannya ke sejumlah toko dan warung di Malang, Jawa Timur.
”Awalnya saya sempat sangat terpukul dan terkejut. Kondisi saya juga sempat turun. Karena harus bolak-balik berobat, saya sampai harus keluar dari pekerjaan saya di bank. Sejak itu saya fokus berobat karena ingin cepat kembali sehat demi anak-anak dan istri,” ucap Mirza yang pernah berprofesi sebagai penata musik alias disk jockey.
Deteksi dini
Aktivitas membantu menjauhkan pasien dan penyintas kanker dari pikiran negatif, kegelisahan, dan stres, serta mendatangkan energi positif yang sangat penting bagi mereka. Tentu dengan catatan, mereka harus tetap memberi perhatian ekstra pada kondisi tubuh.
Sama seperti pasien kanker lainnya, Salsabila FP, yang didiagnosis kanker payudara metastase, juga menerapkan protokol ketat. Jika tidak mendesak, ia memutuskan tidak pergi ke rumah sakit. Pola hidup sehat dijalani dengan memperbanyak porsi buah dan sayur serta asupan vitamin. Ia rutin berjemur untuk memperoleh vitamin D karena pasien kanker biasanya akan terhubung dengan keluhan tulang. Untuk menenangkan batin, Salsa bermeditasi dan berzikir.
Protokol ketat juga diterapkan Salsa ketika bertemu keluarga besarnya. Salah satu aturan wajibnya: tidak memeluk dan mencium. Apalagi, Salsa tinggal serumah dengan mama dan papa mertua yang sudah lanjut usia. Mama mertuanya pun saat ini sedang dalam kondisi sakit. Ibundanya juga sedang dirawat di rumah sakit. Namun, Salsa tak bisa berkunjung.
Pandemi juga menghalanginya mengunjungi rekan-rekan sesama pasien kanker. ”Mengunjungi mereka sebenarnya tak tergantikan. Bisa meluk, ngobrol, kontak fisik, pegang tangan. Sedihnya, ketika teman drop banget, kita enggak bisa datang, lalu mereka meninggal. Melayat pun enggak berani,” tuturnya saat dihubungi, Senin (14/9/2020).
Selain Salsa dan ibunya, tiga kakak ibunya juga menderita kanker. Oleh karena itu, Salsa tak lelah mengingatkan tentang pentingnya deteksi dini. Semakin dini kanker terdeteksi, lebih ringan beban pengobatan, serta semakin besar pula peluang sembuh.
”Ibu saya sosok yang kuat. Ibu saya bilang, mau sebanyak apa pun orang men-support kamu, kalau kamu sendiri tidak ada kemauan bangkit, bakal susah. Kalau kita menerima pemberian Tuhan, ikhlas, saya merasakan pertolongan Tuhan cepat,” lanjut Salsa.
Prof Dr Aru W Sudoyo, konsultan hematologi onkologi medik, berpendapat, setiap pasien kanker menggeluti problem dan situasi yang berbeda meskipun mereka mengidap kanker yang sama pada stadium yang sama. Faktor fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi berkelindan membentuk kondisi setiap pasien. Faktor-faktor tersebut juga memengaruhi cara pasien bereaksi terhadap penyakitnya.
Selama masa pandemi ini, Aru masih merawat pasien kanker di rumah sakit. Dari para pasiennya, ia justru merasa belajar banyak. ”Saya amat berterima kasih kepada para pasien dan penyintas kanker. Mereka telah memperkaya saya, mengajari saya untuk tidak hanya mengobati penyakit, tetapi juga mendampingi mereka sebagai manusia seutuhnya,” ungkap Aru.
Aru juga menjabat Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Melalui YKI, ia, antara lain, meneguhkan komitmennya untuk seluas mungkin mengedukasi masyarakat agar kanker bisa dikenali dan ditangani sedini mungkin.
Dari mereka yang tengah berjuang mengalahkan kanker dengan semangat menyala ini, kita bisa berkaca....