Biarkan Topi Bicara
Ia ingin setiap konsumen punya topi satu-satunya di dunia. Pembeli diminta tak sungkan menyampaikan keinginan dan Dedo bertugas mewujudkannya.
Dedo Reppy (29) tak sekadar membuat topi artistik, tetapi juga menyisipkan unsur nasionalisme. Kreasi dari Bali berjenama Hithat itu dipajang di beberapa toko hingga Amerika Serikat dan Eropa. Ia belajar secara otodidak dengan ulet untuk menghasilkan produk premium.
Dedo mengenakan apron lantas meraih bahan untuk dibentuk menjadi topi. Ia memilih bundaran hitam dengan lengkungan di tengah lalu memutar-mutar sambil menekannya di bantalan kayu. Sisi topi yang tak diinginkan dipotong melingkar hingga lebih rapi.
Giliran bagian dalam, topi dipermak dengan lapisan kain yang dibubuhi label Hithat. Dedo menambahkan lembaran kulit berwarna krem dan menjahitnya dengan telaten. Setelah melilitkan tali di bawah tudung, topi yang elegan pun siap menambah kegagahan pemakainya.
Tak ketinggalan ia selipkan elemen gunungan di sela tali. Kepingan logam itu kecil saja, hanya sepanjang 5 sentimeter, tetapi impaknya sungguh besar. Topi yang dihiasi keotentikan Nusantara ini tergolong paling diminati. ”Berarti Indonesia keren banget. Saya pilih gunungan sebagai representasi Tanah Air,” ucapnya saat dihubungi di Bali, Rabu (9/9/2020).
Jika dipersonifikasikan, topi itu berbicara tentang Nusantara ketika penggunanya melancong ke mancanegara. Sejumlah pembeli memesan topi lantaran tertarik dengan gunungan. ”Sering konsumen asing memastikan bisa dapat topi yang ada segitiganya karena etnik banget. Ternyata, maksud mereka gunungan,” ujarnya.
Hithat tak hanya merambah pasar nasional, tetapi juga luar negeri. Dedo bangga lantaran umumnya produsen Eropa merajai pasar topi global. ”Bule-bule pun pakai topi saya. Indonesia punya topi dengan kaliber setara produk Barat,” ucapnya sambil tersenyum.
Dedo lantas menyebut beberapa tokoh kondang internasional yang memesan topinya, seperti Kenny Wayne Shepherd, Israel Houghton, D-Nice, dan DJ Joe Smith. Di Tanah Air, foto-foto Adityo Wibowo alias Bowie Drumer, Rebecca Reijman, dan Tohpati sedang mengenakan topi itu dipasang di Instagram Hithat.
Lima benua
Harga setiap topi mulai Rp 2 juta. Dedo menggunakan beaver felt dan fur felt yang diimpor dari Eropa. Topi untuk konsumen Eropa sebagian besar bergaya formal. ”Bahannya enggak kaku. Agak lembek, malah bisa lunak banget. Topi itu kerap dipakai dalam film-film mafia,” katanya.
Jenis lain adalah bowler yang dikenakan Dr Watson, tandem detektif fiksi Inggris, Sherlock Holmes. Sementara konsumen Amerika biasanya suka topi yang dibuat distressed. ”Materialnya keras dan kokoh dengan gaya bohemian. Modelnya seperti yang biasa dipakai Johnny Depp,” katanya.
Rata-rata, setiap topi diselesaikan selama sekitar seminggu. Ongkos kirim ke Jakarta, misalnya, Rp 174.000, ke Amerika Serikat Rp 1,5 juta, dan ke Perancis Rp 1,6 juta. Pesanan sudah datang dari lima benua. ”Ada yang pesan dari Nigeria. Ongkos kirimnya sampai Rp 4,9 juta. Lebih mahal dari topinya, sekitar 4 juta,” katanya sembari tergelak.
Dedo yang menetap di Kuta, Bali, bekerja dengan satu asisten saja. Ia hanya mempekerjakan satu pegawai lain untuk mengelola media sosial. ”Saya membuat topi di rumah. Kalau mau melihat display (pajangan), bisa ke kafe. Di Kuta juga,” katanya.
Upaya menembus pasar internasional dilakukan melalui kemitraan dengan mengirimkan Hithat ke Iowa di Amerika Serikat dan Ibiza di Spanyol. Semua topi dibuat dengan tangan. Kebanyakan konsumen punya bayangan setelah melihat medsos Hithat. ”Bisa juga datang bawa desain. Malah, ada yang bilang cuma pengin topi. Kita diskusi. Nanti, bentuk yang saya usulkan, disampaikan ke pemesan,” tuturnya.
Pemesan berkomunikasi dengan Dedo untuk menyesuaikan rancangan yang diinginkan. Ia mengukur kepala, menanyakan lebar dan warna topi, hingga mengamati tipe wajah pembeli. ”Paling penting, pemiliknya percaya diri. Hithat juga enggak ada yang sama,” katanya.
Ia ingin setiap konsumen punya topi satu-satunya di dunia. Pembeli diminta tak sungkan menyampaikan keinginan dan Dedo bertugas mewujudkannya. ”Kalau mau dipakai acara tertentu, mereka yang memesan malah sudah menjelaskan baju sampai sepatunya. Nanti, topi disesuaikan dengan pakaian itu,” katanya.
Teringat mimpi
Pendatang dari Luwuk, Sulawesi Tengah, tersebut datang ke Bali pada akhir 2014. Sebelumnya, Dedo sudah membeli topi bila suka meski bukan kolektor. Ia pernah melihat topi koboi pada 2013. ”Saya bilang kepada istri, suatu waktu, pengin pakai topi seperti itu setiap hari. Waktu di Bali, mimpi itu teringat lagi,” ujarnya.
Keinginan Dedo pada 2015 itu merintis jalan menuju debutannya sebagai perajin topi. Ketika itu ia malah belum tahu harga, tempat penjualan, bahkan jenis topi itu. ”Ingin bikin topi yang benar-benar memuaskan saya. Tutorial membuat topi sudah dicari di Youtube, tapi belum ada,” ucapnya.
Dedo tak putus asa. Bermodalkan beberapa video profil perusahaan semata, ia belajar membuat topi meski tak dijelaskan secara penuh. Perusahaan-perusahaan besar di Amerika itu sudah membuat topi selama ratusan tahun. ”Belajar membuat bagian atas topi dari video profil perusahaan tertentu. Bagian dalam dari iklan lain. Saya ambil satu per satu ilmunya,” ujarnya.
Dedo juga menonton peluncuran fedora yang dihadiri pencinta topi kawakan seperti dari Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Inggris, dan Jerman pada tahun 2015. ”Mereka berkonsultasi soal topi. Saya dapat ilmu memperbaiki topi sedikit-sedikit,” katanya.
Kesalahan tak terhitung lagi, tetapi Dedo tetap mencoba hingga topi buah tangannya bisa ia kenakan. Tak dinyana, banyak teman menanyakan karya tersebut. ”Pengin tahu beli di mana. Topi sih cuma satu. Bosan, terus aksesorinya diganti. Jadi, teman-teman pikir saya punya banyak topi,” ujarnya seraya tertawa.
Potensi penghasilan dari membuat topi terlintas dalam benak Dedo. Ia mulai berjualan topi pada 2016 dengan merek Hithat.co. Baru sekitar sebulan, beberapa figur publik sudah tertarik. ”Promosi lewat medsos. Ada artis nasional sampai lokal di Bali mengangkat topi saya. Akhirnya, Hithat menembus pasar asing,” ucapnya.
Dedo belum puas. Desain topi sudah menggembirakan, tetapi tidak demikian dengan bahannya. Ia menyempurnakan topinya jadi Hithat Premium. ”Jadi standar internasional. Kalau di luar negeri, apalagi buatan tangan, topi menunjukkan status dan karakter,” ujarnya.
Saat memproduksi Hithat.co, Dedo membuat kurang dari 10 topi per bulan. Topi pertama dijual seharga Rp 130.000. Kualitas topi itu tentu belum setara dengan produk terkini. Ia enggan mengungkap jumlah topi yang dibuatnya saat ini. ”Enggak pernah hitung. Saya enggak butuh banyak-banyak, yang penting kualitas,” katanya.