Berbagi, Sembuhkan Diri
Para penderita dan penyintas kanker mennyalakan semangat dalam diri dengan berbagi kepada sesama yang tengah berjuang dalam deraan kanker.
”What doesn’t kill you makes you stronger”, benar adanya bagi para penyintas kanker ini. Sakit raga tak mengalahkan semangat hidup yang menggebu. Semangat itu pula yang terus mereka nyalakan dalam diri dengan berbagi kepada sesama yang tengah berjuang dalam deraan kanker.
Rusyda Yunina Marini (49) tenggelam di antara baris-baris kata di layar laptop di hadapannya. Kertas dan buku terserak di sekelilingnya. ”Belum kelar-kelar, nih,” ujarnya sambil tertawa, Selasa (15/9/2020).
Rusyda tengah menyelesaikan skripsi S-1 Jurusan Musik Institut Kesenian Jakarta. Akibat pandemi, skripsi harus ”mengalah” dengan kesibukan mengajar sekolah jarak jauh secara daring. Selain sebagai pustakawan, dia mengajar seni budaya kelas 4-6 sekolah dasar. Rusyda juga mengampu kelas ekstrakurikuler drumband.
Tawa ceria menyelingi percakapan tentang hari-harinya setelah dinyatakan bebas dari kanker payudara. Rusyda menyebutnya kehidupan kedua.
Seniman Laksmi Notokusumo memperkenalkan Rusyda pada dunia seni sebagai bagian dari penyembuhan. Semula introver, Rusyda menjadi pribadi terbuka. Dia aktif menari dan bermain teater bersama para penyintas kanker.
”Latar belakang saya teknologi tekstil, cita-cita jadi desainer. Tidak terbayang jadi guru. Ternyata saya jadi bisa menerapkan apa yang saya dapatkan dalam penyembuhan lewat seni kepada orang lain, kepada murid-murid saya,” tutur Rusyda.
Rusyda pun aktif di komunitas Lovepink, ikut memberikan sosialiasi deteksi dini kanker payudara serta berbagi pengalaman terkait kanker dan penyembuhannya.
Kepekaan indera
Selama 10 tahun terakhir, seniman tari dan teater Laksmi Notokusumo (72) memang aktif membantu sesama penyintas dan pasien kanker lewat pendekatan seni (healing through art). Di tengah kesibukannya berkesenian pada 2007, ia dihadapkan pada kanker. Selain radiasi dan kemoterapi, Laksmi juga menjalani operasi pengangkatan payudara dan kelenjar tiroid di leher.
Laksmi membuktikan betapa seni membantu proses penyembuhan dirinya. Hal ini juga mendorongnya untuk membantu sesama pasien dan penyintas. Ia membawa pendekatan seni itu dalam kegiatan di beragam organisasi penyintas, antara lain di Yayasan Kanker Indonesia dan Lovepink. Ia pun secara pribadi mengerahkan energi, waktu, dan sumber daya untuk mendampingi pasien dan penyintas.
Hal mendasar dari seni yang diterapkan Laksmi adalah olah napas dan olah tubuh untuk mengembalikan kepekaan seluruh indera yang didera efek obat kanker. Pada gilirannya, ini juga membantu mengembalikan kepercayaan diri si pasien.
”Setelah kepekaan indera dan tubuh kembali, mereka menemukan jalannya masing-masing untuk mengaplikasikan. Ada yang belajar teater, musik. Ada juga yang lantas suka bikin perhiasan, memasak, atau menyulam. Intinya, seni yang melatih kepekaan itu membuat kita dapat menemukan hal-hal yang kita sukai atau ketertarikan baru,” ujar Laksmi.
Selain latihan kelompok dan berkomunikasi intens lewat gawai, hingga sebelum pandemi, Laksmi rutin tiap pekan menemui pasien-pasien yang ia dampingi di rumah sakit. Metode seni membantu Laksmi mengenalkan diri, menyentuh hati pasien, sehingga mereka nyaman membuka diri.
Apa yang memotivasi Laksmi tak lelah mengerahkan energi untuk sesama penyintas dan pasien kanker? ”Ketika kita melakukan sesuatu untuk orang lain, sebenarnya itu juga membantu diri kita sendiri. Saya belajar menerima kehidupan seperti apa adanya pada mereka,” ujarnya.
Cari motivasi
Sri Marsono (41) juga kuat karena semangat menggebu. Nyaris tak pernah rasa sakit serta sensasi tak mengenakkan setiap usai operasi atau terapi radiasi dia pikirkan. Tahun lalu pria yang akrab disapa Mas Semar ini dideteksi terkena kanker payudara.
Setelah disarankan dokter, tanpa pikir panjang dia menjalani operasi pengangkatan tumor ganas di payudara kanannya dan berhasil. ”Saya pokoknya ingin cepat sehat. Saya punya keluarga yang masih harus saya tanggung. Anak saya empat. Saya satu-satunya tulang punggung keluarga. Semakin cepat proses pengobatan saya jalani, saya yakin akan semakin cepat sehat,” tuturnya.
Sehari-hari Semar bekerja sebagai pekerja konstruksi di ketinggian, spesialis mengelas baja. Sejak belia hingga kini, Semar juga akrab dengan aktivitas panjat tebing.
Dia sempat khawatir tak mampu menggerakkan tubuh bagian kanan dengan sempurna. Berkat tekad kuat dan latihan, dia berhasil pulih. Tekad inilah yang kerap dibagikannya kepada sesama pasien dan penyintas kanker.
Sebelum pandemi, dia rajin ikut pertemuan komunitas pasien dan penyintas kanker. ”Yang sering saya sampaikan, jangan menunda pengobatan. Cari motivasi supaya semangat, seperti saya termotivasi oleh keluarga agar bisa sembuh,” kata Semar.
Dia pun kerap menggalang donasi untuk anggota yang membutuhkan. Bulan lalu, dia mengoordinasikan penggalangan dana untuk membantu penyintas yang terdeteksi kankernya menjalar ke tulang. Dukungan moral dan material diharapkan bisa menambah semangat hidup rekannya itu.
Sejak divonis kanker tiroid tahun 2015, Mukarti Prasasti (58) juga tidak merasakannya sebagai beban. Perasaan itu pula yang dibagikannya kepada pasien dan penyintas kanker lainnya.
Bagi Sasti, sapaannya, yang terberat justru setelah operasi. ”Kalau tidak cuek, berat banget. Suara saya berubah total. Perjuangan mengembalikan suara itu berat. Tapi saya bikin ketawa-ketawa saja. Jadi seksi, kan, suara saya?” katanya disambung tawa.
Dia juga merasa dijauhi orang karena takut atau dikasihani karena mengalami kanker. Sasti justru bersyukur karena diberi kesempatan sakit dan memilih tidak terpuruk. Dengan cara itu, dia bisa melewati masa-masa berat dan kini dinyatakan bersih dari kanker.
Sasti menjadi anggota komunitas Pita Tosca bagi para pasien dan penyintas kanker tiroid. Komunitas ini mempertemukannya dengan teman seperjuangan untuk saling menguatkan. Dia aktif ikut dalam berbagai seminar, terutama yang memberi dukungan dan edukasi bagi pasien kanker tiroid di daerah-daerah.
Bikin bahagia
Upaya saling mendukung juga dilakukan Oka Maya Saputri (47) bersama rekan-rekannya di komunitas Sahabat Kanker Bali (SKB). Sebelum pandemi, mereka menggelar arisan bulanan dan kunjungan untuk berbagi cerita dan semangat. Selain suntikan semangat, dia mendapat tambahan informasi dari kegiatan itu. Dia pun tak segan berbagi pengalaman. Sering kali pasien baru cemas lantaran tak tahu harus bagaimana, seperti pernah dialami Maya.
”Saat masih menjalani kemoterapi, saya sempat drop secara psikis. Namun, saya lihat pasien lain yang lebih tua dan kondisinya lebih berat justru terlihat semangat. Masa saya tidak bisa seperti dia. Dari situ saya semangat lagi,” tambahnya.
Lantaran hobi fotografi, Maya sering membawa kamera untuk mendokumentasikan kegiatan komunitas. Hobi ini membantunya mengurangi stres dan menghibur teman-temannya.
”Komunitas ini membuat kami semua berbahagia,” ujar ibu dua putri ini.
Pernah mengidap kanker kolon (usus besar), pelukis dan desainer grafis Umbu LP Tanggela (64) berusaha mengalahkan penyakit itu. Kanker membuatnya menjalani operasi pemotongan usus besar dan anus. Hingga kini, dia menggunakan alat bantu kantong kolostomi.
”Saya tidak berusaha mengingat-ingat sakitnya. Detail bagaimana dan kapan terjadi tidak saya ingat. Tapi saya sangat terbuka tentang penyakit saya. Dengan teman sesama pelukis malah jadi bahan bercandaan,” kata Umbu.
Keterbukaan itu diwujudkan dengan aktif terlibat dalam komunitas penyintas dan pasien kanker. Sebelum pandemi, dia mengikuti berbagai pertemuan rutin komunitas. Seiring pandemi, Umbu lagi beraktivitas dalam komunitas, tetapi tetap bersemangat membagikan energi positif.
Ketika ada anggota yang putus asa, Umbu biasa menyapa lewat pesan pribadi dan membagikan cara untuk menyambung semangat. Dia juga sering berbagi detail informasi terkait kanker kolon, terutama pascaoperasi.
”Buat saya, kanker sudah clear meskipun buat dokter belum. Saya punya pemikiran berbeda. Buat saya, biasa-biasa saja. Semua orang akan mati, tapi jalannya beda,” tutur Umbu, yang aktif melukis di rumahnya di Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat.
Psikolog Henny Wirawan menyatakan salut kepada pasien dan penyintas kanker yang bersedia berbagi dengan sesama. Perlu kekuatan ekstra untuk berbagi tentang hal yang tidak mudah.
”Artinya, mereka menemukan makna dalam hidup dengan berbagi. Berada bersama orang lain, menjadi bagian dari komunitas, membuat mereka merasa berarti dan berkontribusi. Berbagi cerita, tawa, bahkan air mata, itu menyehatkan. Dibarengi gaya hidup sehat, itu bisa menambah imunitas,” ujarnya.
Di luar komunitas, para psikolog bisa menjadi tempat bagi pasien dan penyintas kanker serta keluarganya untuk mendapat penguatan. Pendampingan bisa diberikan kepada mereka yang merasa sulit bersikap positif, baik menjelang maupun setelah penanganan kanker.