Wignyo pun menghadirkan tantangan baru bagi para ibu di kelompok sulam yang kemudian dibinanya tersebut untuk menyulam menggunakan benang sutra di atas batik tulis pringmas.
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
Kreativitas dan inovasi membuat kiprahnya di kancah mode tak berhenti. Lebih dari 20 tahun menggeluti tenun sutra, pemilik Tenun Gaya Wignyo Rahadi (60) menghadirkan lagi karya barunya yang segar bagi para pecinta wastra nusantara bersama perajin binaan dengan tetap berpedoman pada kredonya yakni ‘penghargaan terhadap kain’.
“Sejak awal, saya tidak ingin hanya sekadar datang, melihat kain, kemudian langsung membentuknya jadi sesuatu yang siap pakai. Harus ada nilai tambah, harus diolah lagi baru menjadikannya sesuatu. Buat saya, itu menghargai kain itu sendiri dan memberikan kehidupan baru,” ungkap Wignyo saat dijumpai di butik Tenun Gaya, di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Rabu (2/9/2020).
Atas dasar itu, terlahirlah gagasan sulam sutra pada kain batik sesaat setelah dirinya berlabuh di Banyumas, Jawa Tengah karena ajakan kerja sama dari Bank Indonesia. Keterlibatannya selama bertahun-tahun dengan bank sentral Indonesia untuk mengembangkan potensi seni kriya lokal ini telah menciptakan ragam tenun dari berbagai pelosok negeri dengan sentuhan baru.
Sesaat sebelum berbincang, Wignyo mempersilakan untuk melihat-lihat produk di butiknya. Sementara ia masih disibukkan dengan agenda fitting sejumlah model yang akan berlenggak-lenggok pada peragaan busana daring pada 4 September dan 7 September 2020 yang mengusung kain batik khas Jakarta.
Sekitar 30 menit berlalu, Wignyo kembali menyapa dan mengisahkan pengolahan batik pringmas dengan pilihan kombinasi sulam sutra. Batik pringmas sendiri merupakan batik banyumasan yang berasal dari Desa Papringan, Banyumas dan kini menjadi binaan dari Bank Indonesia Purwokerto.
Batik yang dipilih Wignyo untuk dipadukan dengan sulam sutra juga yang memanfaatkan teknik tulis saja. Sebab, motif yang dimunculkan di atas kain itu merupakan modifikasi dan pengembangan dari motif yang sudah ada disatukan dengan idenya.
“Jadi, motif khasnya tidak hilang tapi dibentuk lagi sesuai dengan ide yang muncul,” ujar pria yang keliling Indonesia untuk menghidupkan berbagai tenun lokal di penjuru negeri ini.
Batik banyumasan sendiri lekat dengan motif yang dekat dengan sumber kehidupan dan lingkungan sekitarnya. Salah satunya, motif Serayu yang terinspirasi dari Sungai Serayu yang mengalir di wilayah tersebut. Warna yang muncul pun umumnya dominan hitam, coklat, biru, dan merah yang juga bermakna tentang lingkungan.
Pria yang pernah mendapat penghargaan Upakarti Kategori Jasa Pengabdian pada 2014 ini tetap berpegang pada motif dan warna dasar itu. Bergerak sejak Februari 2020 hingga sekarang, setidaknya sudah ada sekitar sembilan motif modifikasi yang dihasilkan. Antara lain, motif Merak Asri, Cerita Kembang dan Kupu, Phoenix, Murai, Ikan Koi, Sulur Bakung, dan Serayuan.
Inovasi sulamnya sendiri terbetik ketika bertemu dengan kelompok sulam yang dikenal membuat sulam khas Banyumas bernama sulam ngapak. Jenis sulaman ini berbentuk sulam pita di atas sebuah kain. Untuk menghasilkan sulam ini, benang yang digunakan umumnya berasal dari benang viscose atau polyester.
Tantangan
Wignyo pun menghadirkan tantangan baru bagi para ibu di kelompok sulam yang kemudian dibinanya tersebut untuk menyulam menggunakan benang sutra di atas batik tulis pringmas.
Pengadaan benang sutranya berasal dari dirinya yang memang sudah malang melintang di industri sutra. Bahan dasar untuk sutra ini diimpornya dari Tiongkok, kemudian diolahnya di pabriknya di Sukabumi, Jawa Barat yang sudah didirikan selama 20 tahun ini. Begitu pula dengan pewarnaannya. Keseluruhan proses benang ini memakan waktu sekitar empat hari.
Di awal, diakuinya sempat ada kendala karena para ibu di kelompok sulam tersebut belum terbiasa menyulam benang yang teksturnya sangat halus sehingga kadang mudah meleset. Namun tidak dalam waktu lama, para ibu sudah terampil.
“Sebelumnya memang sempat terlintas (tentang sulam), tapi saat tiba di sana dan melihat kelompok sulam yang ada jadi semakin mantap. Biasanya kan sulaman di atas kain tenun atau batik itu menabrak motif. Ini enggak seperti itu, sulaman ini justru untuk mempertegas dimensi dari motif batik itu,” tutur Wignyo.
Pemilihan sutra juga bukan tanpa alasan. Umumnya digunakan bordir yang jatuhnya kaku dan agak keras. Dengan sutra, sulaman yang dihasilkan sangat lembut bahkan terlihat menyatu dan mengikuti lekukan garis pada tiap motifnya. Warna yang dihasilkan dari sulam sutra juga terlihat lembut dan tidak menyakitkan mata, berbeda jika memanfaatkan teknik bordir dengan benang viscose atau polyester.
Nantinya batik sulam sutra besutannya bersama perajin binaan ini akan disulap menjadi berbagai macam pakaian yang dipentaskan dalam peragaan busana pada Karya Kreatif Indonesia Bank Indonesia, 1 November 2020. Kendati demikian, upayanya menggelorakan batik sulam sutra ini dipastikan terus berlanjut meski ajang tersebut selesai.
Harapannya dalam setahun, Wignyo bersama dengan perajin binaan ini dapat membuat sekitar 12 kain batik sulam sutra dengan motif berbeda untuk kemudian diubah dalam aneka pakaian siap pakai. “Setidaknya satu bulan bisa ada satu (kain) yang jadi. Karena tujuannya juga mengembangkan ekonomi mereka, ekonomi lokal,” kata Wignyo.
Target satu bulan, satu kain ini tidak muluk mengingat proses pembuatan sulam sutra ini tak singkat. Untuk proses batiknya memakan waktu sekitar dua minggu, sedangkan sulam sutranya bisa mencapai tiga minggu hingga empat minggu. “Lama untuk sulamnya karena memang tidak mudah. Bisa dua minggu, tapi itu minimal sekali,” imbuhnya.
Menghargai selembar kain memang bukan mudah. Namun, sudah sepatutnya melestarikan wastra yang merupakan kekayaan nusantara dengan mengangkat nilainya.