Gelimang Cuan dari Tulisan
Mereka bergerak menulis dan menerbitkan buku lalu menjualnya secara mandiri atau lewat jejaring indie. Hasilnya bisa sampai beli sapi.
Tak ada yang sia-sia bagi yang mau berusaha. Kehadiran komunitas dan kelompok menulis di media sosial rupanya membuka jalan bagi banyak orang yang telaten menulis. Keuletan para pengelola komunitas ini dalam berinovasi membantu menggapai mimpi jutaan rupiah dari para pemelihara hobi ketak-ketik di media sosial.
“Sreek…sreek…!”
Begitu bunyi lakban saat ditarik seorang pria yang berdiri menghadap meja di teras rumah Indari Mastuti (40), pendiri penerbitan BUKUIN Aja! serta agensi naskah dan distribusi buku Indscript Creative, Bandung. Tumpukan belasan buku di depan pria itu terbungkus rapi kardus putih.
Tak jauh dari pria tadi, seorang pria lain duduk anteng mengecek alamat pengiriman. Di sampingnya, tumpukan paket berisi buku siap dikirim. Teras rumah Indari dia sulap menjadi tempat pengemasan buku yang dijual secara daring.
Sementara itu di dalam rumah, beberapa pegawai penuh konsentrasi menghadap layar monitor komputer. Ada yang mengamati pembukuan, ada yang memeriksa data pengiriman, dan ada juga yang melihat pergerakan di grup Facebook. Grup ini dibentuk dan dikelola oleh Indari.
Beberapa pengelola grup, biasanya merangkap sebagai penerbit. Mereka menawarkan beberapa kemudahan dalam penerbitan seperti gratis biaya desain sampul atau tata letak jika ada naskah anggota grup yang disukai dan mendapat respons positif ribuan anggota lainnya. Ada juga yang merangkap sebagai agensi naskah.
Indari mendirikan dan mengelola grup Facebook Ibu-ibu Doyan Nulis pada April 2011 lalu dan kini anggotanya tak kurang dari 22.100 akun. Indari rajin membagi ilmu menulis kepada anggotanya. Anggota dia bebaskan menulis apa saja, mulai fiksi, tips, sampai tentang keluarga. Naskah-naskah yang menurut dia bagus, dia salurkan ke banyak penerbit mayor. Banyak naskah yang tak tertampung di penerbit mayor, dia terbitkan secara independen (indie). Sejak 2015, semua dia terbitkan sendiri dan didistribusikan secara indie. Sejauh ini, tak kurang dari 5.000 judul buku telah terbit.
“Saya punya 5.000 jaringan reseller. Sebanyak 99 persen buku laku secara online,” kata Indari yang tinggal di Bandung ini. Ia tidak ingin para penulis hanya pandai menulis, maka dia memprovokasi mereka untuk berbisnis. Apa saja yang penting tidak melanggar hukum. Lantas, dia mengajak anggota grup Ibu-ibu Doyan Nulis untuk bergabung di grup Ibu-ibu Doyan Bisnis yang dia bentuk sebulan sebelum Ibu-ibu Doyan Nulis. Anggotanya kini mencapai 110.000 akun.
“Kemampuan menulis itu menjadi modal penting membuat narasi barang yang mereka jual. Hasilnya, mereka yang bisa menulis lebih berhasil dalam berjualan dibanding yang tidak bisa menulis,” ujar ibu tiga anak yang sudah menulis tak kurang dari 65 judul buku ini.
Meskipun dikepung pandemi, bisnis buku indie yang dijalani Indari seolah tak surut. Penjualan bukunya berkisar 250 sampai 1.000 eksemplar per hari. Padahal, sebelum pandemi hanya 150 eksemplar per hari.
“Percaya atau tidak, Kang, dari menjual buku saja, penghasilan saya bisa sampai segini,” kata Indari sembari menunjukkan tangkapan layar pendapatannya selama enam bulan terakhir. Angkanya mencengangkan. Siapa pun yang melihat angka itu, pasti ingin segera naik haji.
Melonjak saat pandemi
Lain lagi cerita Isa Alamsyah, penggagas grup Facebook Komunitas Bisa Menulis yang kini anggotanya mencapai 1,2 juta orang. Berawal dari laman yang dibuat pada 2013 untuk menjawab banyaknya pertanyaan serupa di fanpage milik penulis Asma Nadia, Isa yang merupakan suami Asma mengembangkannya jadi sebuah aplikasi bernama KBM App yang dapat diunduh di telepon pintar.
Dibesut saat pandemi, aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 120 ribu pengguna. “Rencananya sebenarnya sudah sejak sebelum pandemi. Tapi baru jalan saat pandemi. Besar dan cepatnya juga karena pandemi. Semacam blessing in disguise. Karena semula niatnya adalah mengamankan yang di Facebook ke aplikasi agar tidak mudah kena bajak,” tutur Isa.
Namun, keberlangsungan aktivitas di media sosial tetap tidak berhenti. Bahkan pada Selasa (8/9/2020) malam melalui Zoom meeting dan disiarkan juga di Facebook, komunitas ini memperkenalkan konsep baru bernama KBM Club. Sekitar 100 orang bergabung dalam pertemuan virtual tersebut. Mayoritas perempuan. Tak sedikit merupakan ibu dan membawa serta anaknya saat pertemuan itu. Mereka penasaran.
Menurut Isa, konsep barunya ini akan lebih memudahkan para anggota kelompok yang aktif untuk memperoleh manfaat. “Siapa saja bisa mendapatkan pelatihan intensif dan juga penghasilan. Nanti dibuat tingkatannya. Dari yang belum pernah dapat uang sama sekali, yang baru 1 juta hingga tertinggi ditargetkan bisa sampai Rp 1 miliar. Untuk bisa ke situ dan terus naik tingkat, kuncinya ya aktif menulis, di Facebook dan aplikasi,” ujar Isa.
Selama ini, anggotanya berhasil menuai sukses dari rangkai tulisan di media sosial yang kemudian dibukukan atau menjadi penulis lepas lewat sarana dari KBM. Ada yang kemudian menjadi novelis, penulis naskah, bahkan menjadi penerbit. Bahkan ada juga yang mampu meraup Rp 15 juta hingga Rp 25 juta per bulan. Tidak tanggung-tanggung ada yang akhirnya membeli hewan kurban dari bonus menulis ini.
Siapa saja bisa mendapatkan pelatihan intensif dan juga penghasilan. Nanti dibuat tingkatannya. Dari yang belum pernah dapat uang sama sekali, yang baru 1 juta hingga tertinggi ditargetkan bisa sampai Rp 1 miliar. Untuk bisa ke situ dan terus naik tingkat, kuncinya ya aktif menulis, di Facebook dan aplikasi.
“Sayangnya, kadang mereka ini pakai nama samaran. Atau akunnya bukan nama asli. Atau sudah besar, tidak mau lagi dikaitkan dengan KBM hahaha,” kata Isa yang enggan mempermasalahkan itu karena targetnya adalah memberi wadah bagi orang untuk mengasah kemampuan dan kegemaran yang dapat berbuah pundi-pundi.
Yang menggembirakan setelah lahirnya aplikasi adalah naiknya tren pembaca. Untuk merangsang orang terus membaca, dibuat juga reward bernama koin perak. Tidak hanya membaca, tetapi juga berhak menilai.
Dinamika ini dinilainya cukup baik, karena para penulis juga akan terus mengembangkan diri dengan banyaknya pembaca. Pasarnya pun terbentuk. Sebab, bagian bab-bab terakhir akan dikunci dan untuk bisa membacanya harus membayar.
Tema yang paling laku sejauh ini adalah horor dan perselingkuhan. Bahkan tulisan Layangan Putus yang pernah viral beberapa waktu lalu tengah menunggu dijadikan film. “Wah ramai kalau soal selingkuh. Ibu-ibu langsung banyak enggak terima kalau cerita suami selingkuh. Nanti yang enggak terima juga bikin tulisan lagi, kenapa suami selingkuh. Aku biarin aja. Selama saling balasnya dengan tulisan. Makin ramai, makin banyak tulisan, dan makin aktif nulis,” ujar pria yang berpengalaman sebagai jurnalis dan telah menerbitkan buku berjudul 101 Dosa Penulis Pemula.
Adapula Isrina Sumia (34), pendiri grup Facebook Isrina Stories dan Penerbit CV Mitra Sentosa. Melihat banyak naskah bagus, tetapi gagal di penerbit mayor. Sebab, penerbit mayor sangat ketat juga dalam hal tata bahasa, diksi, dan penulisan harus rapi. Mereka tidak hanya melihat gagasan naskah tersebut. Banyak penerbitan indie lebih longgar teknis penulisannya, yang diutamakan adalah gagasan.
Royalti lebih tinggi
Penerbit indie mengandalkan sistem pemesanan (pre order) atau print on demand. Ini untuk menekan risiko kerugian karena rata-rata bermodal kecil. “Bayar lebih dulu, dicetak, baru dikasih buku,” kata Isrina.
Dia menambahkan, penulis yang bagus tidak hanya menguasai teknis menulis secara memadai, dia juga harus pandai mengumpulkan penggemar lewat grup-grup tentang menulis di media sosial, seperti Facebook, misalnya. Jumlah anggota grup-grup ini bejibun, mulai ribuan orang sampai 1,2 juta akun. Lalu penulis meracik sedemikian rupa cerita yang dia tulis dan unggah di grup tersebut sehingga para penggemarnya ketagihan karena penasaran. Ketika naskah tersebut dirampungkan dalam bentuk buku, pasti diserbu. Ini jurus yang dipegang Isrina pegang dan diterapkan dalam menulis. Oleh karena itu, bukunya Menikah dengan Setan laku hampir 10.000 eksemplar.
Kesuksesan buku Menikah dengan Setan mendorong Isrina untuk lebih mandiri dalam menjual buku. Sejak 2019 dia mendirikan penerbit sendiri, CV Mitra Sentosa yang menerbitkan karyanya, Alif: Karena Asa Tak Pernah Putus. Buku ini juga laris manis meskipun belum bisa mengalahkan buku pertama tadi.
Mitra Sentosa juga menerbitkan buku-buku anggota grup Isrina Stories di Facebook. Jumlah anggota grup yang dibentuk September tahun lalu ini kini mencapai 11.200-an akun.
Keunggulan lain dari penerbitan indie ialah royalti yang jauh lebih tinggi dibanding penerbit mayor. Penulis buku bisa mendapat royalti hingga 30 persen atau tiga sampai enam kali lipat lebih besar dibanding penerbit mayor. Pasarnya pun sudah terbentuk karena rata-rata pembeli adalah anggota grup yang selama ini menjadi pembaca setiap potongan cerita yang diunggah penulis.
Masih ragu tak bisa hidup dari menulis? Yuk, angkat penamu, gerakkan jarimu. Tulis...