Rasanya... Semanis Kesadaran
Kepedulian terhadap perubahan iklim, hak hewan, dan kesehatan membuka peluang pemasaran es krim nabati.
Tren menikmati es krim nabati meroket. Tak hanya di Indonesia, warga di belahan dunia lain pun kian menggandrunginya. Pelaku pola makan vegan ataupun bukan, sama-sama bisa mengapresiasi rasanya. Namun, bukan sekadar soal rasa, es krim nabati kini dinikmati juga karena pergeseran pola pikir.
Andry Susanto, pendiri restoran Oma Elly, menunjukkan sorbet pir. Es krim rasa buah tanpa susu hewani tersebut berwarna putih. ”Kalau bikin sorbet dengan teknik yang benar, rasanya luar biasa enak,” katanya seraya tersenyum, Rabu (2/9/2020).
Saat dicicipi, es krim itu begitu lembut hingga spontan lumer dalam mulut. Dinginnya es pun tak menyengat dengan tajam lazimnya hidangan serupa. Orang awam kemungkinan bakal tak menyangka jika es krim ini tak punya kandungan susu sapi sama sekali.
Intonasi Andry mengindikasikan optimisme soal keranjingan publik akan makanan itu. Ia berbicara antusias dengan mata berbinar-binar saat membahas es krim nabati. ”Es krim yang pertama saya rasa melon. Saya bisa bikin bukan enak lagi, tapi enak banget. Freakin’ amazing (luar biasa),” katanya.
Cita rasa es krim itu diakui Renny Sutiyoso (40). Ia telah mencoba es krim Oma Elly rasa cokelat dan kopi, akhir pekan lalu. ”Enak. Saya enggak suka yang terlalu manis. Pas di lidah. Es krim nabati itu kalau enak, ada kelebihan lain buat saya yang juga jadi pertimbangan untuk menyantapnya,” katanya.
Renny memang tak bisa banyak-banyak mengonsumsi susu hewani. Intoleransi laktosa menjadi pemicu. Wirausaha kuliner itu terbiasa makan es krim yang dibuat dari susu nonhewani. Ia juga penyayang hewan sehingga lebih nyaman mengonsumsi es krim nabati.
”Es krim nabati sejenak juga bisa membantu mengatasi stres di masa pandemi. Makan es krim itu bisa jadi happy hour (waktu yang menyenangkan),” katanya sambil tertawa.
Adi Prasetya (41), yang sejak bertahun-tahun lalu melakoni gaya hidup plant-based, menjajal es krim sebagai selingan. Awalnya tak secara khusus es krim vegan. Ia masih mengonsumsi susu sapi sebagai pelengkap minum kopi.
Namun, suatu ketika, Adi menemukan es krim Lu Ve Litee yang berbahan dasar susu kedelai. Es krim ini memang diperuntukkan bagi orang-orang yang menjalani diet atau selektif terhadap asupan, para vegan dan vegetarian, serta orang-orang dengan intoleransi laktosa.
Selain menggunakan susu kedelai, Lu Ve Litee menggunakan lemak dan pengemulsi nabati. ”Pas saya coba rasanya plain. Ringan. Enggak nyusu banget. Enggak nyokelat banget. Enggak terlalu manis. Jadi saya suka,” tutur Adi. Varian yang ia coba vanilla chocolate brownie yang berisi potongan brownies asli dan selai stroberi.
Sementara, Andrea Margaretha (37) bukan vegan atau vegetarian. Namun, ia penggemar es krim sejati. Didorong ketertarikannya terhadap pola makan plant based yang marak belakangan ini, Andrea pun tertarik menjajal es krim vegan dari susu kedelai dan susu kacang mede.
”Pas nyari, eh ketemu di Marketplace. Terus, coba beli. Ternyata, enak. Enggak kayak es krim susu sapi yang rasanya ’gemuk’ gitu, sih. Aku lebih suka es krim vegan. Lebih ringan dan enggak terlalu manis,” ujar Andrea yang belakangan juga sedang berusaha mengurangi asupan gula.
Setelah pemesanan pertama awal tahun ini, Andrea semakin penasaran. Ia lantas menjajal merek lain dengan aneka varian. Sejauh ini, ia sudah menjajal tiga merek dan relatif cocok.
”Anak-anakku lumayan suka. Aku juga senang karena bisa mengurangi asupan gula mereka. Es krim biasanya manis banget. Tapi, kadang masih balik lagi ke favorit mereka sebelumnya, terutama vanila,” tambahnya.
Semua kalangan
Es krim nabati kini merengkuh semua kalangan. Tak peduli vegan, vegetarian, atau omnivor, semua kepincut. Bukan hanya di Indonesia, tren itu bahkan berlaku global. Artikel ”Vegan Ice Cream Enters a Golden Age” yang ditayangkan The New York Times pada tahun 2017 menyebutkan, inilah masa keemasan es krim nabati.
Nicholas Morgenstern mengungkapkan, es krim nabati saat ini tak kalah populer dengan makanan sejenis yang reguler. Es krim vegan atau bukan, tak dihiraukan. ”Orang hanya tertarik rasanya yang sama, bahkan lebih enak dari es krim biasa,” ujar pendiri Morgenstern Finest Ice Cream di Amerika Serikat itu.
Kepedulian terhadap perubahan iklim, hak hewan, dan kesehatan membuka peluang pemasaran es krim nabati. Albertsons Companies, misalnya, menikmati manisnya penjualan yang melejit. Selama setahun hingga pertengahan 2017 saja, es krim produk nonpeternakan yang dibeli konsumen melonjak atau lebih 50 persen. Tren ini terus menguat hingga saat ini.
Tak perlu bahan yang muluk-muluk. Bahkan, santan yang biasa diolah menjadi es puter dan dijajakan dengan gerobak di Indonesia pun diolah oleh produsen dunia. Arum Wulandari (38), warga Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten, memesan es puter dari santan saat resepsi pernikahannya pada Februari lalu.
”Selain harga terjangkau, dari anak kecil sampai dewasa suka rasanya. Variannya juga bermacam-macam, tergantung selera,” ujarnya. Nun jauh di Amerika Serikat, GoodPop juga menggunakan santan untuk memproduksi es krim paduan kelapa dan jeruk yang sangat populer.
Pertimbangan komposisi
Ahli nutrisi Tan Shot Yen meminta konsumen berpegang pada komposisi, kualitas, dan proses dalam pertimbangan mengonsumsi es krim. Mereka sebaiknya tidak mudah terjebak dengan produk berlabel organik, vegan, atau non-genetically modified organism (GMO) yang belakangan marak.
”Kata-kata organik, vegan, atau non-GMO ini jangan sampai hanya jadi clickbait, padahal isinya lebih parah dan gula organiknya sekian kali lipat,” ujar Tan.
Ia menjelaskan, es mambo bikinan rumah yang isinya campuran buah lebih pasti aman lagi higienis. Demikian pula, es puter yang biasanya hanya ada tambahan santan. Dari kedua versi ini, yang kemudian menjadi masalah adalah kandungan tambahan gula dan perasa artifisial. Satu versi lagi adalah es krim industri.
”Ini bukan hanya gula, tapi tambahan lain seperti pengemulsi dan sebagainya yang kemudian menjadikannya produk ultraproses,” jelas Tan yang juga menambahkan bahwa pangan dari ultraproses ini berpotensi menjadi pencetus obesitas, gangguan gizi pada tumbuh kembang anak, juga pencetus penyakit tidak menular seperti diabetes dan hipertensi.
Terkait dengan adanya kepercayaan konsumsi es krim dapat berpengaruh pada suasana hati dan perasaan bahagia, Tan menekankan bahwa kebahagiaan berasal dari kondisi sekitar yang tidak ada kaitannya dengan makanan yang diasup secara langsung.
Kategori bahagia, lanjut dia, dapat dicontohkan dengan rasa aman yang diperoleh, kondisi kesehatan, serta ketenangan yang dapat dibangun lewat kebiasaan dan aktivitas sehari-hari yang positif dan menyenangkan.