Bongkar Pasang Berkelanjutan
Sentuhan desain membuat pemakainya tak merasa risih memakai busana elegan berbahan bekas.
Tren keberlanjutan dalam dunia mode ditangkap dengan cara unik oleh desainer tanah air. Karya ramah lingkungan diwujudkan dengan mengolah kembali batik bekas, membongkar pasang busana, hingga memultifungsikannya dalam banyak tampilan. Sentuhan desain membuat pemakainya tak merasa risih memakai busana elegan berbahan bekas.
Karya bertema "Sustainability" disuguhkan lima desainer anggota Indonesia Fashion Chamber, yaitu Gregorius Vici, Aldrè Indrayana, Rosie Rahmadi, Anggiasari, dan Emmy Thee dalam Global Talents Digital. Acara ini diselenggarakan Fashion Futurum Initiative yang didukung Russian Fashion Council dan Mercedes-Benz Fashion Week Russia, pada 4-6 September 2020.
Dalam tayangan video berdurai 10 menit, pada Sabtu (5/9/2020), Desainer Gregorius Vici menyuguhkan 20 tampilan yang seluruhnya dari batik bekas. Meskipun diolah dari limbah batik tulis dan batik cap, koleksi bertajuk Alluring Heritage ini benar-benar tampak menawan. Sentuhan Gregorius yang pernah menjadi Official Designer Putri Indonesia 2008-2010 ini menjadikan sisa limbah pada lembaran koleksi sama sekali tak berjejak.
Warna soga yang biasanya mendominasi batik klasik tetap hadir dengan diberi sentuhan warna-warni batik cerah seperti oranye. Sentuhan warna ceria ini selain menghilangkan rasa bosan, sekaligus menjadi trik agar seluruh limbah kain batik bisa terpakai. “Supaya limbah ada fungsinya saya nggak mau pilih-pilih,” kata Gregorius saat dihubungi, Rabu (2/9/2020).
Dalam tampilan dominan soga berupa jumpsuit yang menggabungkan atasan dan bawahan menjadi satu, beragam motif batik campur aduk dalam teknik patchwork. Perca batik menghadirkan motif seperti truntum dan parang berbaur padu dengan motif klasik lainnya. Sentuhan dekonstruksi memberi kesan elegan pada atasan jumpsuit berpotongan dada rendah dan bagian bawah celana palazzo.
Kepiawaian dalam teknik pewarnaan dan proses penyatuan potongan kain menjadikan setiap koleksi seolah dibentuk dari satu kain utuh. Proses pengolahan kainnya cukup panjang dan membutuhkan keterampilan tangan. Terlebih dulu, limbah batik dipisahkan dari sisi warna dan motif. “Kain perca batik sudah rapuh. Kita olah lagi supaya kesannya bukan potongan,” tambah Gregorius.
Potongan kain yang diambil berukuran beragam mulai dari 12x12 cm hingga 20x20 cm. Potongan kain dijahit menjadi satu. Batik kemudian ditimpali dengan pelapis kain tulle, sifon, organdi, atau katun dalam konsep layering sehingga bentuk kotak sambungan kain tidak tampak, batik lebih kuat, dan tidak gampang rusak.
Karya seni
Bahan kain juga harus dicuci lalu dilapisi lagi dengan lilin untuk kembali memunculkan warna yang telah pudar. Hasil dari proses panjang ini berupa lembaran kain sepanjang 2-3 meter yang siap diolah menjadi beragam jenis busana hingga aksesoris seperti kalung, tas, sepatu, dan masker.
Gregorius juga memakai tenun lurik sebagai lapisan dalam busana batik. Pada sebagian koleksinya, satu busana bisa dipakai sebagai batik atau lurik sehingga bisa dipakai untuk lebih banyak fungsi. “Batik bekas selalu harus ada di koleksi saya. Ini karya seni yang memang lahir dari tangan kita,” tambahnya.
Sudah menggeluti proses pengolahan limbah batik dari sejak 2010, Gregorius memiliki cukup banyak persedian kain perca batik. Apalagi limbah kain batik bekas ini cenderung melimpah di pasaran. “Value-nya bahwa pembuatan batik itu susah. Mereka mengerti beli bajuku karena ada value karya seni di situ. Desain dan filosofi sustainability yang membuat mereka membeli,” tambahnya.
Selain kain batik, Gregorius juga menyematkan bordir dan menggunakan kain jenis lain seperti sifon dengan serat alam. Desain baju sengaja hanya menggunakan potongan panjang lurus agar tidak ada sisa kain yang terbuang. Potongan kotak juga dipakai supaya suatu saat nanti busana itu bisa dibongkar dan didesain menjadi busana baru.
Bongkar pasang busana lama menjadi desain baru pun dilakukan oleh Desainer Aldre Indrayana berkolaborasi dengan Cota Cota Studio. Aldre menghadirkan 10 tampilan busana dengan konsep upcycled atau daur ulang dari koleksi lama atau busana yang tidak lolos kontrol kualitas dari banyak merek.
Tampilan luaran dalam koleksinya, misalnya, dibuat dari jaket berlubang. Jaket bomber kemudian dipotong dan dibentuk menyerupai beskap atau jas tutup tradisional yang biasa dipakai pria jawa dalam gelaran resmi. Beskap dipadukan dengan kemeja batik hijau tua dan bawahan sarung tiga per empat yang diolah dari kain syal bekas.
Sejak setahun lalu Aldre memberi layanan upcycled busana lama yang kemudian dirombak menjadi busana baru bagi pelanggannya. Ada pelanggan yang bahkan sampai beberapa kali mengubah tampilan busana karena bosan atau ukuran tubuh yang berubah.
“Ada satu karung dari koleksi lama yang nggak bisa dijual, lalu aku upcycle. Secara konsep jadi kayak bikin baru. Mengubah bentuk lama jadi sesuatu yang baru,” tambah Aldre.
Kali ini Aldre memilih menyederhanakan gagasan dalam koleksi yang seluruhnya siap pakai. Jika biasanya ia membuat busana dalam ukuran super besar atau sangat asimetris, proporsinya kini disederhanakan menjadi lebih normal. Aldre menambahkan pemanis berupa kain persegi yang dilipat sebagai hiasan di leher atau neckerchief dari olahan kerudung bekas.
Delusi indah
Terinspirasi dari konsep Rahmatan Lil Alamin, Desainer Rosie Rahmadi mengusung koleksi “Kalopsia” pada Global Talent Digital 2020. Kalopsia diambil dari istilah Yunani yang berarti khayalan di mana segala sesuatu tampak lebih indah dari yang sebenarnya.
“Dan itulah yang saya rasakan tentang fashion. Seperti sebuah delusi yang Indah di depan, tetapi di balik itu semua ada sesuatu yang sangat mendesak untuk mengurangi konsumerisme berlebihan dan impact limbah fashion yang begitu banyak,” ujar Rosie.
Industri mode memang merupakan industri yang banyak menyumbang limbah. Lebih khusus lagi di modest fashion, yang menurut Rosie, membutuhkan kain yang lebih banyak dalam produksinya karena terkait dengan konsep modest fashion itu sendiri yaitu loose, comfortable, dan covering.
Kalopsia terilhami dari konsep boneka kertas yang seringkali dimainkan anak perempuan. Kreativitas memadupadankan boneka kertas ini dinilai bisa menjadi salah solusi untuk mengurangi limbah busana. Apalagi, kebanyakan orang rata-rata hanya menggunakan 6-38 persen dari busana yang mereka miliki.
“Dulu, aku suka main mix and match boneka kertas. Kita jadi lebih kreatif menciptakan berbagai gaya baru dengan satu atau beberapa item... Dalam multifungsional desain, pakaian dibuat timeless sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama, tanpa terikat dengan trend.” tambah Rosie.
Multifungsi untuk memberikan daur hidup pakaian yang lebih panjang itu dihadirkan Rosie dalam busana dengan warna natural bersiluet A line dan H line. Ia antara lain mengganti luaran dari si baju atau menambahkan aksen tambahan yang bisa dilepas pasang berulang seperti makrame, sulam, atau aksen kepang untuk tampilan yang berbeda.
“Tidak perlu memiliki banyak pakaian, cukup beberapa helai saja tetapi sangat fungsional untuk berbagai kesempatan sehingga konsumsi atas fashion bisa lebih bertanggung jawab” kata Rosie.
Rasa tanggung jawab pada keberlanjutan itu lah yang membuat para desainer terus berkreasi menghadirkan karya unik yang ramah lingkungan. (WKM)