Sebuah foto berita tidak semata menyimpan cerita mengenai peristiwa yang terekam oleh lensa. Di baliknya, tersimpan cerita perjuangan pewarta foto untuk mendapatkan foto itu.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Seorang pewarta foto harus berada langsung di lokasi untuk mengabadikan sebuah momen. Malahan, mereka perlu memiliki keberanian lebih untuk bertahan di garis depan ketika meliput suatu konflik, berbeda dengan jurnalis yang bisa memantau kondisi dari kejauhan.
Apabila konflik berkepanjangan, pewarta foto tidak jarang harus tinggal di lokasi kejadian selama berhari-hari hingga berbulan-bulan guna mengikuti perkembangan situasi. Sudah menjadi pengetahuan umum, pewarta foto sering menjadi saksi langsung kejadian memilukan, mengharukan, atau bersejarah yang sedang berlangsung.
Pewarta foto senior harian Kompas, Eddy Hasby mengalami banyak peristiwa yang mengaduk emosi selama meliput konflik di Timor Timur, sekarang bernama Timor Leste, pada tahun 1999. Ia bahkan hadir pada saat referendum kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia berlangsung di Dili pada 30 Agustus 1999.
”Pagi itu, aku berangkat ke SD Negeri Bemori. Aku mau melihat antusiasme masyarakat dalam pemungutan suara. Ada beberapa foto aku yang kalau kita lihat mereka pakaiannya rapi,” kata Eddy dalam Bincang Foto Kompas: Cerita Peliputan Jajak Pendapat Timor Timur 1999 secara daring di Jakarta, Minggu (30/8/2020).
Namun, ada satu kejadian yang paling berkesan baginya. Pada 30 Oktober 1999, Eddy menyaksikan satu per satu prajurit Batalyon Infanteri Lintas Udara (Linud) 700 memasuki KRI Teluk Banten di Pelabuhan Dili. Linud 700 merupakan pasukan militer terakhir yang meninggalkan wilayah Timor Timur.
”Itu sangat terasa, itu terakhir kali melihat pasukan Indonesia ditarik. Saat itu, aku merasa sendiri dan merasa enggak ada siapa-siapa lagi di Dili. Ada rasa kehilangan… Timor Timur itu kayak saudara sendiri yang harus berpisah,” tuturnya.
Dita Alangkara, Chief Photographer Associated Press (AP) Jakarta Bureau, juga bertugas meliput konflik di Timor Leste. Dita bergabung di AP pada Mei 1999 dan berangkat ke Dili empat bulan kemudian via Kupang.
”Waktu kejadian referendum, aku masih baru banget, mulai kerja jadi wartawan di Jakarta karena referendum ini peristiwa cukup besar dan ada news value internasional. Setelah 4-5 hari di Kupang, kami masuk ke Dili menggunakan mobil dimana jalan menuju Dili tampak sangat sepi,” ujarnya.
Memasuki Kota Dili, suasana kacau semakin jelas terlihat. Kedatangan Dita dan rekan-rekannya disambut suara tembakan oleh seorang aparat keamanan ke arah pohon kelapa. Bendera Merah Putih hanya berada di sejumlah lokasi strategis milik Pemerintah Indonesia, seperti di Markas Korem dan pelabuhan. Pasokan air bersih dan listrik hanya ada di beberapa lokasi.
Dita melanjutkan, meskipun bekerja di kantor berita internasional, perasaannya campur aduk dengan situasi di Timor Timur. Ia merasa ganjil dengan keberadaan pasukan International Force East Timor (Interfet) yang telah tiba pada 20 September 1999. Hatinya juga pilu ketika menyaksikan bendera Indonesia digerek turun di pelabuhan.
”Waktu itu merupakan peristiwa yang sangat berkesan bagi karierku. Di Dili, aku menyaksikan proses lahirnya sebuah negara yang baru,” katanya.
Pembawaan dan netralitas
Edy menambahkan, menjadi jurnalis di daerah konflik tidak luput dari tantangan. Di Dili, sebagai wartawan dari Indonesia, dirinya sempat mendapatkan tekanan psikologis dari warga lokal dan wartawan asing. Eddy kerap dipandang dengan tatapan tajam dan cemooh ketika bertugas. Ia juga kadang menerima panggilan telepon gelap.
Eddy bahkan hampir menjadi sasaran amuk massa ketika meliput pidato perdana Xanana Gusmao, sosok penting dalam pemisahan Timor Timur, pascajajak pendapat di bekas gedung kantor gubernur pada 24 Oktober 1999. Beruntung tidak ada kekerasan yang terjadi kepadanya.
”Kondisi setiap konflik agak berbeda, aku enggak bisa beri tips begini dan begitu. Kalau dalam kerusuhan itu, jangan sendiri. Kita harus ada beberapa orang yang tahu keberadaan kita dan jangan sampai lepas,” katanya.
Fotografer Kompas Danu Kusworo mengatakan, sangat vital bagi jurnalis untuk melakukan riset mengenai situasi terbaru, latar belakang peristiwa, dan kontak orang penting sebelum meliput di daerah konflik. Selain itu, jurnalis harus bisa menjalin hubungan baik dengan warga lokal.
Danu sendiri telah meliput di sejumlah daerah konflik sejak bekerja di Kompas pada tahun 2000. Danu pernah meliput, antara lain konflik di Sampit pada 2001, konflik Papua pada 2001, dan konflik Aceh pada 2002-2003.
Seorang jurnalis, tuturnya, harus memperhatikan beberapa hal selama meliput di daerah konflik selain kondisi fisik dan mental. Hal yang dimaksud adalah kemampuan jurnalis membawa diri agar memenangkan rasa percaya orang di daerah itu dan kemampuan menjaga netralitas agar keberadaannya bisa diterima pihak-pihak yang bertikai.
”Menjaga kenetralan itu memang posisi yang agak membingungkan. Sewaktu bertugas di Aceh, misalnya, aku mungkin dianggap TNI tidak nasionalis, tetapi aku menjaga netralitas dengan mengkritik apabila ada perlakuan terhadap GAM yang tidak sesuai ’dengan batas-batas’ yang harus dihormati,” kata Danu.
Ia menambahkan, jurnalis juga harus memercayai insting apabila merasa ragu atau ada bahaya. ”Kalau jurnalis berada dalam situasi itu, orang lain di kantor, kerabat, dan teman tidak bisa membantu langsung. Keputusan mutlak ada di masing-masing individu,” katanya.
Sementara itu, fotografer AFP Adek Berry sudah kenyang mengecap asam garam meliput konflik di berbagai belahan dunia. Adek pernah meliput ke Afghanistan sebanyak tiga kali pada Februari 2011, September 2011, dan Juni 2012. Ia juga meliput bencana banjir di Pakistan pada 2010.
Di Indonesia, Adek terjun ke lapangan antara lain untuk meliput konflik Ambon pada 1999, referendum Timor Timur pada 1999, dan pengembalian senjata pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke TNI pada 2005. Perempuan ini juga meliput kerusuhan Mei 1998 yang melengserkan Presiden Soeharto.
”Pengalaman yang berkesan banyak sekali. Di Afghanistan sangat menantang, menarik, dan juga mengerikan. Saya pernah berhadapan dengan pengawal mantan Presiden Burhanuddin Rabbani saat ia diserang bom bunuh diri oleh utusan Taliban di rumahnya, hanya beberapa ratus meter dari kantor AFP Kabul. Saya lari keluar bawa kamera, padahal aturannya enggak boleh keluar tanpa pengawal,” ujarnya.
Namun, Adek mengakui, meliput konflik adalah kegiatan yang melelahkan fisik. Dirinya juga tak luput dari rasa stres.
”Saya menyadari konflik akan terus terjadi dan sering kali sulit dihindarkan. Saya sudah melihat semua pihak mengalami penderitaan dan kehilangan. Untuk itu, saya berharap semua pihak yang bertikai lebih mengedepankan solusi damai dan orang-orang mau hidup berdampingan dengan perbedaan,” ujarnya.