Kasus Covid-19 Kian Naik, Kongko-kongko Jalan Terus
Kasus Covid-19 di Jakarta yang kian melonjak tidak menyurutkan minat anak-anak muda untuk kongko. Sejumlah tempat sudah memberlakukan protokol kesehatan bagi pekerja dan pengunjung.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus Covid-19 di Jakarta yang kian melonjak tidak menyurutkan minat anak-anak muda untuk kongko. Padahal, pelanggaran protokol kesehatan masih kerap terjadi di kafe dan tempat nongkrong.
Selasa (1/9/2020) siang, sejumlah remaja berkumpul di Rumah Makan (RM) Sari Raos 24 jam di kawasan Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat. Di salah satu bangku sepanjang 3 meter, empat remaja duduk berimpitan sambil serius memandangi gawai masing-masing.
Rupanya, mereka sedang main bareng gim daring Mobile Legend siang itu. Meski duduk berimpitan, tidak satu pun dari mereka mengenakan masker. Di hadapan mereka hanya terdapat gelas-gelas minuman yang sudah kosong, tanda mereka tidak sedang makan atau minum.
Rizal (16) dan Farhan (16) merupakan dua dari banyak remaja yang sedang kongko di warung tersebut. Rizal mengaku jarang datang ke sana. Hanya sekali dalam seminggu. Meski begitu, ia hafal betul bahwa tempat nongkrong tersebut selalu ramai pada malam hari.
”Jarang ke sini. Paling ngumpul doang sama mabar (main bareng) Mobile Legend,” kata siswa kelas X SMK tersebut.
Sementara Farhan mengaku penat dengan rutinitas pembelajaran jarak jauh (PJJ) di rumah. Oleh sebab itu, ia kerap datang ke RM Sari Raos untuk berkumpul bersama teman-temannya. Apalagi, ia belum pernah bertemu dengan teman-teman sekelasnya di sekolah selama ini.
”Puyeng kalau PJJ terus. Kalau ke sini paling ketemu sama temen-temen,” kata Farhan.
Saat mendatangi warung tersebut, Rizal dan Farhan terlihat tidak mengenakan masker. Anehnya, penjual warung tidak mengingatkan mereka. Keduanya masuk ke warung dengan santainya.
Sementara itu, Kedai Kopi Kuranglebih di Tanjung Duren, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, terlihat sepi pada Selasa siang. Dari lima meja yang tersedia saat itu, hanya satu meja yang terisi oleh pengunjung.
Pengunjung tersebut adalah Edwin (19), karyawan swasta di Jakarta Barat. Di atas mejanya terlihat satu gelas kopi ukuran penuh dan satu lagi hanya berisi es batu. Rupanya, saat itu ia tengah menunggu kedatangan temannya.
Kedatangan Edwin dan temannya ke kedai kopi siang itu untuk bekerja. ”Lagi kerja, karena sekarang kantor masih menjalankan setengah kerja dari kantor dan setengah kerja dari rumah,” kata Edwin sambil sesekali mengalihkan pandangannya ke laptop di hadapannya.
Jika berada di kafe, Edwin mengaku bisa bekerja lebih santai dan minim gangguan ketimbang di rumah. ”Kalau di rumah, kan, masih sering dipanggil-panggil orangtua,” ujar pria yang tinggal di Grogol Petamburan ini.
Edwin cukup selektif dalam memilih kafe di masa pandemi Covid-19. Ia hanya akan masuk ke kafe yang sepi pengunjung dan memiliki ruangan tertutup. Ia cenderung menghindari kafe yang terbuka karena akan berkumpul dengan para perokok.
”Pilih kafe yang tertutup karena lebih nyaman juga buat kerja,” katanya.
Biasanya, Edwin pergi ke kafe bersama satu atau dua temannya. Dengan begitu, Edwin bisa bekerja sambil mengobrol dengan mereka. Namun, ia mengaku jarang datang ke kafe. Dalam sebulan, setidaknya ia berkunjung ke kafe dua hingga tiga kali saja.
Namun, ia bisa menghabiskan waktu cukup lama jika sudah berada di kafe, yakni dari pagi hingga siang. Seperti pada Selasa ini, ia sudah datang ke kedai kopi sejak pukul 09.00 atau satu jam setelah kedai dibuka. Rencananya, ia akan berada di sana sampai siang setelah pekerjaannya usai.
Pandemi Covid-19 ternyata tidak membuat pintu di Kedai Kopi Kuranglebih dibuka sehingga ruangan berukuran 4 meter × 6 meter itu minim ventilasi. Selain itu, tidak ada pengecekan suhu tubuh bagi pengunjung di pintu masuk. Meski begitu, pengelola menyediakan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) dan tisu basah di meja pemesanan.
Dua papan yang berisi imbauan mencuci tangan dan etika batuk/bersin juga terpampang di luar kafe dan meja pemesanan. Pengelola juga membatasi jumlah pengunjung yang masuk. Setiap meja hanya bisa diisi oleh maksimal dua orang.
”Hand sanitizer dan tisu basah ini tidak hanya untuk kami, tetapi juga pengunjung. Selain itu, pengunjung yang datang dibatasi,” kata Jane, barista di Kedai Kopi Kuranglebih.
Di kafe JCo Donuts Citywalk Sudirman, Jakarta Pusat, Dira (29), karyawan swasta di Jakarta Pusat, terlihat sedang menunggu kliennya. Ia sengaja memilih kafe yang tertutup, berpendingin ruangan, dan sepi agar bisa lebih privat.
Tidak hanya untuk keperluan pekerjaan, Dira juga kerap menghabiskan waktu di kafe bersama teman-temannya seusai pulang bekerja. ”Bisa sampai seminggu dua kali. Pernah saat itu pulang kerja nongkrong di kafe sampai tengah malam,” katanya.
Menurut Dira, ada beberapa kategori kafe yang ia pilih selama pandemi Covid-19. Selain sepi dan tertutup, Dira juga memilih kafe yang menyediakan hand sanitizer dan pengecekan suhu tubuh. Tidak sekali dua kali, ia mengurungkan niat masuk ke sebuah kafe karena salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi.
Pihak JCO Donuts juga membatasi jumlah pengunjung maksimal 52 orang. Tanda-tanda silang juga disematkan di meja-meja kafe. Di pintu masuk, pengelola mencantumkan hasil pengecekan suhu tubuh semua karyawan.
Pengecekan suhu tubuh tidak dilakukan di pintu masuk kafe, melainkan di pintu masuk mal. Pengunjung hanya disuguhi hand sanitizer di pintu masuk kafe beserta papan imbauan untuk menaati protokol kesehatan.
Sebelumnya, pada 6-8 Juli 2020, Litbang Kompas pernah membuat jajak pendapat terkait minat masyarakat untuk datang ke kafe. Sebanyak 32,7 persen responden berminat datang ke kafe. Minat tertinggi datang dari responden berusia 17-30 tahun.
Menariknya, 12 persen dari responden yang berminat selama ini belum pernah datang ke kafe. Sementara 22,8 persen dari responden yang berminat mengaku jarang datang ke kafe.
Di antara responden yang tidak berminat datang ke kafe, 67,3 persen mengaku masih takut dengan penyebaran Covid-19. Sebanyak 11,6 persen merasa tidak perlu dan tidak suka nongkrong, sedangkan 11,3 persen tidak punya alokasi dana.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan menilai peningkatan kasus Covid-19 di Jakarta sepanjang bulan Agustus adalah hal yang menakutkan. Hal ini seharusnya menjadi lampu merah atau peringatan keras.
Ia menilai pelanggaran terhadap protokol kesehatan terus berjalan begitu saja tanpa ada pengawasan dan penegakan hukum. ”Sudah seharusnya Jakarta kembali pada kebijakan pembatasan sosial berskala besar agar bisa menurunkan dan mengendalikan kasus Covid-19,” katanya.
Meski tak ada larangan datang ke kafe selama pandemi Covid-19, bukan berarti warga harus mengabaikan protokol kesehatan. Tentu, kita tidak ingin kafe menjadi kluster baru penularan Covid-19, seperti yang terjadi di sebuah warung soto Lamongan di Yogyakarta akhir-akhir ini. Sebanyak 19 karyawan dan keluarganya dinyatakan positif Covid-19 karena warung mengabaikan protokol kesehatan.