Efisiensi Biaya, Dunia Usaha Semakin Melirik Teknologi Komputasi Awan
Tantangan ekonomi dan transformasi digital yang dibawa pandemi Covid-19 memaksa dunia usaha meningkatkan efisiensi operasionalnya. Ketimbang memelihara server sendiri, penggunaan ”cloud” dapat menekan biaya operasi.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Migrasi ke platform cloud atau komputasi awan banyak dilakukan berbagai perusahaan di masa pandemi Covid-19, terlebih lagi pada usaha rintisan yang bergantung pada teknologi. Biaya operasional yang lebih efisien ketimbang mengurusi server sendiri menjadi penyebabnya.
Pandemi Covid-19 dan berbagai intervensi pembatasan sosial yang diperlukan untuk menekan penyebaran virus korona berdampak signifikan terhadap peningkatan traffic ke platform marketplace, seperti platform kebutuhan belanja daring Happyfresh.
Chief Technology Officer yang juga salah satu pendiri Happyfresh Fajar A Budiprasetyo, pada Selasa (1/9/2020), mengatakan bahwa di masa pandemi ini, pihaknya mengalami peningkatan permintaan 10 kali lipat dibandingkan kondisi normal.
Fajar mengatakan, sebetulnya pada aspek sistem dan infrastruktur, Happyfresh sudah mengantisipasi adanya lonjakan pengguna. Namun, akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kenaikannya jauh di atas apa yang telah ia persiapkan. Kebetulan, sejak akhir 2019 lalu, Happyfresh sudah melakukan modernisasi teknologi dengan migrasi ke platform cloud milik Amazon, AWS.
”Keuntungannya, cloud ini, kan, elasticity (elastisitas). Ketika demand-nya naik, kita tinggal scale-up sesuai kebutuhan. Nanti kalau pandemi berakhir, kita tinggal kurangi. Kalau pakai serveron premise, nanti kalau pandemi selesai, kita bakal punya banyak server yang nganggur,” kata Fajar dalam sebuah diskusi virtual yang bertajuk ”Building Business Resilience Amidst Covid-19”.
Fajar mengatakan, dengan bermigrasi ke cloud, pada prinsipnya perusahaannya dapat melayani jumlah pelanggan yang jauh lebih banyak, tetapi dengan biaya yang sama.
Langkah serupa juga dilakukan platform Simak (Sistem Informasi Manajemen Sekolah) Online atau yang dikenal sebagai SiPintar untuk Provinsi DKI Jakarta. Chief Executive Officer Simak Online Rizki Akmanda mengatakan, hingga awal 2020 ini, Simak Online masih menggunakan server sendiri.
Saat masih beroperasi dengan menggunakan server on premise ini, sebetulnya Simak Online sudah kewalahan terhadap traffic yang masuk, khususnya di musim ujian pertengahan dan akhir semester. ”Kami harus mematikan server untuk beberapa sekolah untuk bisa melayani besarnya traffic,” kata Rizki.
Oleh karena itu, ketika wacana pembelajaran jarak jauh (PJJ) mulai mengemuka, Rizki memutuskan untuk memigrasikan sistemnya ke AWS. ”Saat sekolah dari rumah ini berjalan, otomatis usage akan naik dan server on premise kami tidak akan bisa menanggungnya,” kata Rizki.
Platform Simak Online ini telah digunakan oleh 523 sekolah di Jakarta yang terdiri dari SMP dan SMA baik negeri maupun swasta. Dalam platform ini juga terdapat 600.000 bank soal yang dibuat oleh guru-guru di Jakarta. Sebanyak 1,6 juta tugas atau pekerjaan rumah juga telah diambil oleh murid-murid di platform ini.
Country Manager AWS Indonesia Gunawan Susanto mengatakan, berdasarkan pengamatannya, pandemi Covid-19 memang telah memaksa baik perusahaan konvensional maupun rintisan beragam ukuran untuk mengadopsi teknologi komputasi awan.
Gunawan mengatakan, adopsi cloud tidak hanya dibutuhkan bagi perusahaan yang mengalami kenaikan lonjakan drastis, tetapi juga yang mengalami penurunan di masa pandemi Covid-19 ini.
”Jadi, selain untuk mengejar pertumbuhan yang mendadak tinggi tetapi tetap bisa melayani pelanggan, tetapi juga untuk menurunkan biaya operasional ketika demand minimal,” ujarnya.
AWS, menurut Gunawan, juga memiliki program Disaster Response Credit sehingga institusi pemerintah maupun perusahaan yang berkaitan dengan layanan kesehatan dan pendidikan bisa mendapatkan credit penggunaan platform AWS secara gratis.
”Ini bisa menjadi semacam cost relief agar mereka tetap bisa bertahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat meski bisnisnya terdampak Covid-19,” kata Gunawan.
Adopsi teknologi cloud diperkirakan akan terus meningkat akibat dipicu oleh pandemi Covid-19. Analisis perusahaan riset pasar IDC pada 31 Maret lalu memprediksikan pada 2022 sebesar 90 persen perusahaan dunia akan menggunakan teknologi cloud.
”Disrupsi yang diakibatkan oleh Covid-19 memaksa perusahaan untuk menjadi lebih lincah dalam menyesuaikan diri dengan demand yang muncul secara fluktuatif,” kata Managing Director IDC Jyoti Lalchandani.
Tanpa Covid-19, pertumbuhan industri cloud pun sudah cukup drastis dalam beberapa tahun terakhir. Analisis IDC menunjukkan bahwa pada 2019, valuasi pasar cloud meningkat 26 persen dibandingkan 2018.
Bank investasi asal Korea Selatan, Mirae Asset, memperkirakan, pada 2020 akan ada peningkatan penggunaan cloud sebesar 58 persen atau senilai 19 miliar dollar AS di pasar China saja.
”(Covid-19) telah menyebabkan terjadinya perubahan tingkat konsumsi masyarakat, yang pada akhirnya memaksa perusahaan untuk mengubah bisnis model masing-masing,” kata President of International Business Alibaba Cloud Intelligence, Selina Yuan kepada MIT Technology Review.
Berdasarkan data perusahaan riset pasar Gartner, AWS adalah platform penyedia public cloud terbesar saat ini dengan pangsa pasar sebesar 45 persen. Disusul dengan Microsoft dengan produk Azurenya di posisi kedua (17,9 persen) dan Alibaba (9,1 persen). Google dengan GCP berada di posisi keempat (5,3 persen), dan disusul Tencent (2,8 persen) melengkapi posisi 5 besar pemain cloud dunia.