Neon Penebar Mimpi
Kondisi pandemi saat ini justru akan membuat dunia mode berevolusi. Mode lantas meneruskan salah satu fungsinya untuk terus menebarkan mimpi.
Nuansa ketidakpastian akibat pandemi justru menjadi pemantik kreativitas bagi desainer mode. Sedikit sentuhan warna, corak, hingga potongan dalam koleksi ternyata mampu menumbuhkan semangat. Mode lantas meneruskan salah satu fungsinya untuk terus menebarkan mimpi.
Warna pembangkit semangat ini bisa dijumpai di koleksi karya desainer muda dari label seperti Temma Prasetio, SVH, Raegitazoro, dan Eureka yang tampil dalam gelaran Revival Fashion Festival 2020 yang digelar oleh Jakarta Fashion Week pada 7, 8, dan 9 Agustus 2020 di Senayan City, Jakarta.
Koleksi dari Label SVH piawai meracik warna mencolok yang diselipkan dalam koleksi dominan polos. Dominansi warna polos seperti hitam, abu, dan coklat sengaja dimunculkan karena terkait dengan sulitnya mencari bahan kain di masa pandemi. Warna polos sekaligus unggul karena bisa dipakai dalam masa pakai yang relatif lama.
Kepiawaian dalam padu padan mampu membuat warna neon yang biasanya dihindari karena terkesan norak menjadi indah. Nuansa yang muncul menjadi penuh gairah dan menghadirkan kesegaran. “Bahan harus nyaman dan warna simpel tapi tetap diselipkan warna neon karena mood bisa berubah,” ujar Direktur Kreatif SVH, Bambang Wahyudi Praja yang akrab disapa Bengki.
Warna neon diyakini masih akan menjadi primadona hingga tahun depan, terutama biru neon dan oranye. Dalam koleksi kali ini pun, SVH banyak memakai warna biru neon yang antara lain melambangkan kepercayaan diri, kebijaksanaan, dan kejujuran. “Di masa pandemi seperti ini kita harus lebih bijaksana menjalani hidup,” tambah Bengki.
Neon semakin menyala berpadu dengan inspirasi corak bunga maupun pola punggung kura-kura. Nuansa Indonesia dihadirkan dari motif yang mirip wastra Kalimantan yang coraknya cukup ramai yang kali ini dimunculkan dalam rupa celana pendek hingga dalaman. Sebagai dalaman, kain motif kalimantan dominan biru menyala ini dipadukan dengan luaran kemeja polos.
Label lain yang mengandalkan warna neon menyala adalah Raegitazoro. Desainer yang juga pemilik label Raegitazoro, Raegita Oktora menyebut warna neon sebagai DNA labelnya karena energik sekaligus nyaman. Berbeda dari biasanya, warna neon kali ini lebih banyak dipadupadankan dengan baju-baju panjang yang menutup hingga ke tangan sebagai wujud perlindungan diri.
Konsep multiguna
Kesan modern pun dihadirkan SVH dengan celana model berpinggang tinggi atau high waist. Konsep adaptif (versatile) yang multiguna menjadi napas yang diusung oleh SVH sehingga semua tampilan dalam koleksinya bisa dipakai menyesuikan gaya tiap individu untuk beragam acara baik oleh pria maupun perempuan.
Potongan berupa luaran juga mendominasi sebagai sarana untuk mengubah tampilan menjadi lebih formal. Luaran sengaja dikesankan terlihat tebal, tapi dingin, seperti terlihat pada jaket bomber warna menyala oranye. SVH pun banyak membuat baju rumahan alias loungewear, tapi tetap harus modis.
“Pandemi justru makin kreatif karena terdesak keadaan. Belanja kain saja susah. Harus kreatif dalam cara produksi, bagaimana produk disesuaikan kebutuhan orang saat pandemi: nggak mau ribet, pengin yang praktis, dan malas dandan,” kata Bengki.
Busana yang mengakomodasi aktivitas rumahan dengan warna ceria menjadi cara yang ditempuh Calla the Label untuk mengadaptasi normal baru. Desainer Calla the Label, Yerri Afriyani menyebut sengaja memilih warna yang tidak gelap dan menghadirkan busana yang penuh motif print. Bahan sengaja dibikin longgar sehingga mengamini kesan super santai.
Jenama Cottonink kembali menampilkan motif print andalannya berupa motif buah, brush strokes, hingga colorblock di atas kemeja, gaun rumah, dan bawahan seperti kulot atau rok. Motif tersebut juga diwujudkan dalam bentuk masker dan topi yang relevan untuk melindungi diri di tengah pandemi.
Bagi Desainer Temma Prasetio, pandemi menuntutnya untuk total berubah. Untuk pertama kalinya, Temma memilih mengeluarkan koleksi busana siap pakai dan meninggalkan sama sekali kain etnik yang menjadi ciri khasnya. “Saat pandemi, otak dipaksa kerja lebih keras lagi. Di luar kebiasaan,” kata Temma yang mengusung label Temma Prasetio.
Sebagai pengganti wastra nusantara, Temma menghadirkan koleksi yang dominan polos biru navy dan coklat. Meskipun terlihat polos, keunikan dimunculkan dari potongan yang asimetris. Dalam kesan polos, setiap tampilan sebenarnya menyuguhkan kekayaan detail garis. “Garis miring belok-belok mencerminkan perjuangan untuk hidup. Menggambarkan kondisi saya di saat pandemi: penuh liku,” tambahnya.
Pada masa pandemi ini, bisnis lain Temma berupa perusahaan rumah jahit memang terpukul karena sama sekali tanpa pemasukan. Dari April hingga sekarang, pemasukan utamanya lebih mengandalkan penjualan masker. “Kain etnik sama sekali ditinggalkan. Biasanya harga di atas Rp 2 juta. Saat ini, konsumen pengin harga yang lebih terjangkau,” ujar Temma.
Evolusi mode
Dalam acara bincang-bincang JFW bertajuk “Why Fashion Has to Survive and How We Do it?” pada Minggu (9/8/2020), desainer Toton Januar meyakini, dunia mode tidak akan mati. Kondisi pandemi saat ini justru akan membuat dunia mode berevolusi.
“Fashion itu selalu penting, selalu ada, dan tidak akan pernah hilang. Bidang yang kita jalani ini bidang kreatif. Kreativitas itu ditantang saat keadaan sulit. Salah satunya sekarang ini. Fashion pun dihadapkan pada perannya yang paling dasar sebagai pemberi solusi, pemberi mimpi, dan pemberi harapan,” tutur Toton.
Perilaku konsumen yang masih sukar dipetakan dan perubahan pola belanja menjadi daring, membuat para desainer lebih bereksplorasi dengan koleksi lama yang sudah teruji. “Menawarkan sesuatu yang sudah familiar. Sesuatu yang sudah pernah kita bikin. Best seller kita, misalnya. Tidak bertaruh sesuatu yang asing,” ungkap Toton.
Koleksi yang ditampilkan Mel Ahyar lewat jenama Happa merupakan sebagian koleksi Bin-bini yang dirilis sekitar tiga bulan yang lalu dan koleksi sebelumnya. Selain luaran, tunik, dan kulot, padu padan dari Happa juga menarik perhatian. Syal dan kain hijab dikombinasikan dengan kain tenun menjadi sebuah pinafore yang santai tapi tetap gaya.
Desainer Frederika Cynthia Dewi dari Eureka memilih mengeluarkan koleksi baru bertajuk Rintik, meski desain yang ditampilkan tetap mengedepankan nuansa kasual dan santai, baik tanpa motif hingga bermotif kontemporer unik, sehingga mudah diterima konsumen. Warna kuning, biru, dan putih dipilihnya sebagai perwujudan hal positif dalam busana yang diluncurkannya.
“Koleksi Rintik membawa pesan sebagai pengingat untuk selalu berhati-hati dan lebih banyak mendengarkan hal-hal positif dalam hidup, sekalipun di tengah-tengah banyaknya informasi negatif yang sedang mengelilingi kita,” ujar Frederika.
Energi desain yang positif inilah yang mampu menebarkan harapan dan impian tentang tentang hari esok yang lebih baik.