Lansia yang Tetap Disayangi...
Dukungan keluarga jadi kunci untuk menjaga warga lansia tetap sehat di tengah badai korona. Jangan sampai warga lansia mengalami kesepian karena dapat memicu pikiran negatif yang berdampak menurunkan kekebalan tubuh.
Pandemi Covid-19 berdampak pada semua orang tanpa pandang bulu. Warga lanjut usia atau lansia menjadi salah satu kelompok yang paling berisiko. Dukungan keluarga pun jadi kunci untuk menjaga warga lansia tetap sehat di tengah badai korona.
Nada suara Marullah Rey bin Ali (68) terdengar sedih saat ditanya tentang keempat cucunya. Sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air, lima bulan terakhir ini Marullah praktis tak lagi menerima kunjungan dari cucu-cucunya itu.
”Beberapa kali waktu mau ke sini, kendaraan anak dan cucu saya kena razia dan disuruh putar balik. Jadinya enggak jadi nengok. Terpaksa kalau kangen, ya, paling video call saja,” ujar Marullah, Jumat (21/8/2020) siang, melalui telepon.
Sejak Oktober 2019, Opa Marullah, begitu dia disapa, tinggal di hunian terpadu premium untuk warga usia senior (senior living) D’Khayangan. Fasilitas adult daycare dan apartemen itu terletak di Kota Jababeka, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
Selama pandemi, tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan Opa Marullah. Beberapa aktivitas rutin bersama penghuni lain ditiadakan dan dikurangi intensitasnya. Hanya senam setiap Senin dan Kamis. Kesempatan menerima tamu dibatasi dan diawasi dengan protokol kesehatan ketat.
Menurut perwakilan pengelola, Natalia Ratna Dewi, saat ini warga senior hanya boleh menerima dua tamu. Mereka sama-sama wajib mengenakan masker dan pelindung wajah (face shield) saat bertatap muka dengan tetap menjaga jarak.
Aktivitas fisik, seperti bersalaman dan berpelukan, tidak diperbolehkan. Sebelum masuk area apartemen, tamu wajib diperiksa suhu tubuhnya dan mencuci tangan dengan air dan sabun.
”Sekarang, pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke kamar seperti sebelumnya walau mereka anggota keluarga,” tambah Natalia. Peserta daycare saat ini juga tidak lagi diantar dan dijemput pihak keluarga, tetapi menggunakan mobil operasional.
Kebijakan ketat tersebut diberlakukan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan warga senior dari kemungkinan terinfeksi virus penyebab Covid-19. Bahkan, para karyawan, terutama tenaga perawat (caregiever), juga wajib menjalani karantina. ”Alhamdulillah, mereka paham,” kata Natalia.
Obat kangen
Sepi juga dirasakan Daniyah (78) meski selama pandemi Daniyah tetap sibuk menjaga toko kelontong yang sudah puluhan tahun menyokong hidupnya. Kesibukan lain, mengurus belasan kamar kos yang ada di areal rumahnya di Yogyakarta.
”Sepi, ya, sering terasa, tapi ada anak kos. Ada keponakan juga yang tinggal di depan dan sebelah rumah yang tiap hari datang atau membawakan makanan. Menjaga warung ini juga membantu karena ketemu banyak orang yang beli,” ujar Daniyah. Sejak ditinggal mangkat suaminya tahun lalu, Daniyah tinggal bersama asisten rumah tangga.
Ia menerapkan protokol kesehatan cukup ketat di warungnya. Akibatnya, ia kehilangan waktu ngobrol bersama pembeli. ”Biasanya, kan, bisa ngobrol sama orang yang beli. Sekarang kalau ada yang beli, sebisa mungkin enggak banyak kontak. Begitu juga kalau belanja stok barang, pesan lewat telepon saja, nanti diantar,” kata Daniyah.
Daniyah tak memiliki anak sehingga keberadaan keponakan dan kakak yang tinggal bersebelahan cukup melegakan. ”Aku handphone punyanya bukan yang canggih. Yang penting buat telepon. Untungnya pada tinggal sebelahan, jadi enggak terhalang untuk ketemu,” ungkapnya.
Murni (66) dan suaminya, Warsito (75), yang mukim di Semarang, Jawa Tengah, selama pandemi juga sangat bergantung pada komunikasi panggilan video dengan kedua anaknya di Jakarta. ”Ini obat rindu karena mau ketemu susah,” kata Murni.
Obrolan mereka tak jauh-jauh dari Covid-19. Sejak pandemi, Murni memang menjadi semakin intens memantau berita. ”Saya ngeri lihat berita. Jakarta, kok, naik terus kasusnya. Anak-anak dan cucu semua di Jakarta,” keluhnya.
Dibandingkan masa awal pandemi, saat ini kekhawatiran Murni sudah jauh berkurang. Dulu, dia sempat cemas juga bingung dengan kondisi yang sepertinya gawat sampai orang tak boleh keluar rumah dan harus saling menjaga jarak. ”Takut juga karena virusnya sepertinya ganas. Selain usia kategori ’berbahaya’, saya juga punya diabetes,” katanya.
Meski begitu, kekhawatiran terbesarnya justru karena memikirkan anak dan cucu-cucunya yang jauh hingga Murni kerap tidak bisa tidur. Pernah bahkan sampai dia dan suaminya jatuh sakit.
”Saya khawatir kalau mereka kenapa-kenapa. Namanya juga orangtua. Situasi sedang begini pasti mikir anak-anaknya,” ujarnya. Komunikasi melalui panggilan video menjadi solusi sementara yang menenangkan.
Perhatian dan dukungan
Tak hanya di Tanah Air, warga lansia di banyak negara juga mengalami hal serupa. Di awal masa pandemi, di Italia yang hampir 28 persen penduduknya berusia di atas 65 tahun dan hidup sendiri, banyak warga lansia dilanda kebingungan. Pandemi memaksa mereka berjarak dengan orang lain.
Inisiatif untuk ”menolong” warga lansia lantas bermunculan. Di Brasil, sebuah panti jompo menciptakan bilik pelukan agar para warga lansia aman bertemu anggota keluarga mereka. Ide ini muncul setelah viral video seorang perempuan di Amerika Serikat membuat gorden plastik agar bisa memeluk ibunya. Di Perancis, sebuah panti jompo menciptakan tenda gelembung untuk memfasilitasi pertemuan.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan, keberadaan warga lansia di Indonesia masih sangat rentan. Kondisi ideal warga lanjut usia bisa diprioritaskan belum tercapai. Peran serta negara yang lebih besar masih sangat diperlukan.
Hingga kini masih banyak kendala dan persoalan yang dialami warga lansia, terutama dalam mendapatkan pelayanan dan akses pada fasilitas-fasilitas umum. Selain itu, masyarakat juga dinilai masih kerap beranggapan bahwa penanganan warga lansia diserahkan kepada keluarga masing-masing.
Menurut dosen Psikologi Lanjut Usia Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Lathifah Hanum, masa pandemi yang panjang rentan memicu stres pada warga lansia. Kondisi ini bisa makin buruk karena saat ini relatif tak banyak yang bisa dilakukan, seperti bertemu keluarga. ”Meski ada teknologi, karena hanya sebentar, tak bisa memuaskan kebutuhan sosialnya,” kata Hanum.
Situasi pandemi yang membuat setiap orang tertekan, diikuti dengan perubahan aktivitas, juga rentan membuat warga lansia terabaikan. Ini membuat tekanan yang dihadapi makin berat. Pada beberapa kasus, situasi tak menentu juga membuat mereka jadi lebih mudah marah, merasa jantung berdegup lebih kencang, susah tidur, dan gelisah.
”Jadikan pandemi untuk melatih komunikasi dengan lansia agar semakin nyambung dan memahami kebutuhan lansia. Merawat tidak cuma memberi asupan finansial, tapi juga psikologis,” ujar Hanum.
Peneliti Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia sekaligus pemerhati lansia, Lilis Heri Mis Cicih, mengatakan, perhatian dan dukungan keluarga merupakan hal utama yang diperlukan warga lansia di tengah pandemi. Hal ini krusial untuk menjaga kondisi psikis yang juga berpengaruh terhadap fisik mereka.
”Jangan sampai lansia mengalami loneliness. Kesepian memicu pikiran negatif yang berdampak menurunkan stamina sehingga kekebalan tubuhnya ikut turun. Salah satu penyebab sakit, ya, kesepian. Jadi, walau segi ekonomi tercukupi, hidup sendiri dengan anak cucunya jauh, pikiran kesepian akan menggerogoti, membuat semangat hidup hilang dan muncul banyak penyakit,” tutur Lilis.
Keluarga dapat menginisiasi penyaluran hobi atau kegiatan sehari-hari untuk warga lansia, seperti berkebun atau aktivitas ringan yang dijalankan bersama anggota keluarga lain. Bagi warga lansia yang tinggal hanya dengan pasangan atau sendiri, perhatian bisa diwujudkan dengan tetap berkunjung, berpegang pada protokol kesehatan. ”Bisa juga lewat virtual. Yang penting tidak putus komunikasi,” katanya.
Perlu diingat, meski warga lansia mampu mengakses internet, dan secara tidak langsung mampu bertahan dengan cara mereka, seperti mengikuti pertemuan virtual lewat Zoom, webinar, hingga belajar meditasi dan self-hypnosis agar pikiran positif, kehadiran keluarga tetap dibutuhkan. ”Kalau pikirannya positif dan senang, daya tahan tubuh stabil,” ujar Lilis.