Koleksi yang Memanjakan Mata
Benang merah keindonesiaan dalam koleksi yang dihadirkan tak hanya diwujudkan lewat pemakaian wastra Nusantara, tetapi juga dari pemilihan warna hingga desain potongan.
Mata benar-benar dimanjakan oleh suguhan video pertunjukan mode virtual Nusantara Fashion Festival. Menghadirkan karya bernuansa keindonesiaan, kerinduan untuk kembali menyaksikan kreativitas dalam bidang mode benar-benar terpuaskan dalam kemasan konsep visual yang kuat.
Berlangsung selama dua hari pada Minggu (16/8/2020) dan Senin (17/8/2020), Nusantara Fashion Festival yang diinisiasi oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara melalui Bank BRI ini menghadirkan 50 desainer mode dalam panggung virtual. Keragaman karya hingga profil desainer yang terlibat sekaligus merepresentasikan wajah dunia mode Indonesia.
Benang merah keindonesiaan dalam koleksi yang dihadirkan tak hanya diwujudkan lewat pemakaian wastra Nusantara, tetapi juga dari pemilihan warna hingga desain potongan. Jay Subyakto selaku art director piawai menonjolkan hingga detail terkecil dari setiap koleksi. Meski karya yang disuguhkan setiap desainer hanya berkisar 2-4 tampilan, nuansa setiap tampilan dieksplorasi dengan sangat detail.
Diberi latar belakang video petir kala malam, desainer Lulu Lutfi Labibi menyuguhkan dua tampilan spesial dari koleksi Sewindu Bercerita yang telah diluncurkan pada perayaan delapan tahun berkarya tahun lalu. Dua tampilan ini dirasa lebih merepresentasikan keindonesiaan dengan palet warna merah putih.
”Ini cara baru presentasi dengan spirit baru. Masih pandemi, masih meraba bagaimana nasib industri fashion. Kerinduan bersuara di fashion show paling enggak terobati. Paling ideal sekarang, ya, dengan cara virtual. Ini cara gotong royong industri fashion dengan mengadaptasi kondisi sekarang,” kata Lulu, dihubungi pada Jumat (21/8/2020).
Walaupun virtual, ciri khas Lulu tetap kental terasa dari material dominan lurik. Dimensi lebar dan bentuk garis dari lurik yang dibuat sendiri dan dinamai lurik baurupa ini berbeda dengan lurik yang umumnya dijual perajin di pasaran.
Dengan potongan asimetris, dua tampilan gaun ini menghadirkan teknik draping: lurik diilipat, ditumpuk, atau diikat. Untuk koleksi terbarunya bertajuk Laku Tirakat yang sudah mulai diluncurkan lewat media sosial, Lulu justru memilih menggunakan bahan baku dari kain batik yang juga buatannya sendiri.
Koleksi Laku Tirakat lahir dari keheningan situasi pandemi yang memprihatinkan. ”Menjaga kewarasan dengan berkarya lagi,” ujar Lulu.
Mel Ahyar yang berkesempatan menampilkan koleksinya dalam pagelaran pada 17 Agustus 2020 juga kembali mengusung karyanya yang pernah diperkenalkan saat Dewi Fashion Knights 2019. Tiga tampilan dalam koleksi bertajuk Skins merupakan representasi dari fenomena media sosial yang kian digandrungi di Indonesia sekaligus sebagian perwajahan Indonesia di masa kini.
”Penginnya koleksi baru, tetapi karena pandemi, kemudian PSBB (pembatasan sosial berskala besar), rasanya enggak mungkin,” ungkap Mel yang memanfaatkan limbah dari bahan tas berupa PVC untuk menciptakan sebuah gaun sebatas lutut berwarna emas dengan ornamen burung merak di bagian depan dan belakang baju.
Selain itu, tampilan lain berupa gaun bermotif bunga dan daun warna-warni yang merupakan hasil bordir dengan efek dramatisasi warna. ”Seperti penggambaran para influencer yang memberikan ragam efek pengaruh kepada orang lain dan selalu mendramatisasi apa yang mereka posting,” ujar Mel.
Tampilan akhir berupa gaun berkancing depan dengan potongan leher yang rendah. Gaun ini memadukan berbagai wastra Nusantara, seperti tenun Toraja, songket, tenun Baduy, tenun sampan, hingga batik milik Iwan Tirta. ”Bercerita tentang unity, kebudayaan Indonesia, dan kecintaan terhadap kebudayaan Indonesia,” katanya.
Tak membosankan
Kekayaan wastra juga tertuang dalam karya Didi Budiardjo. Gaun tanpa lengan hingga paduan atasan dan celana dilengkapi luaran bernuansa hitam sesuai dengan latar tenun Tidore yang digunakannya. Pilihan untuk menggunakan tenun ini terinspirasi dari perjalanannya ke Morotai, Maluku Utara.
Hanya dua tampilan yang disuguhkan dalam pagelaran virtual pada puncak acara meski ada empat tampilan yang dipersiapkannya. Kendati demikian, pagelaran virtual dinilai Didi mempermudah dirinya dalam mempersiapkan koleksi yang hendak ditampilkan buat para penikmat mode.
Adapun Edward Hutabarat mengangkat batik mega mendung Cirebon yang menawan. Tiga tampilan berupa jaket panjang dihadirkan dalam pertunjukan kali ini. Tak hanya perpaduan warna biru dan putih, dua tampilan lain mengambil warna cerah dalam corak mega mendungnya, yakni kuning dan merah.
Mega mendung sendiri menyimbolkan kesuburan dan selalu dikaitkan juga dengan masuknya budaya Tionghoa ke Cirebon. Dalam ajaran Taoisme, mega atau awan ini bermakna dunia yang membebaskan dan penuh dengan keagungan Tuhan. Konsep ini juga memengaruhi karya seni Islam pada abad ke-16.
Desainer Denny Wirawan juga bersetia pada wastra Nusantara dengan menghadirkan eksotika batik gedog. Batik tulis tradisional ini hanya diproduksi di satu wilayah Kecamatan Kerek, Tuban, Jawa Timur. Nama koleksi yang disuguhkan Denny adalah Satriyan, yang berasal dari nama salah satu motif batik gedog.
Dua tampilan Satriyan kaya nuansa rustic yang kental perdesaan. Batik dipercantik dengan sulaman dan manik-manik. Kain batik gedog yang tebal tampil sebagai luaran yang berpadu dengan bawahan bervolume atau transparan. Batik gedog yang pertama kali dibawa oleh Laksmana Cheng Ho dari China pada abad ke-15 ini juga kental nuansa China dari motif lokcan bergambar burung hong.
Desainer Rama Dauhan juga menonjolkan nuansa klasik dalam balutan kontemporer pada koleksi Riuh. Koleksi ini terinspirasi dari pergerakan mode kekinian di Jakarta yang sedang merayakan kembalinya tren era 1980-an ke 1990-an, antara lain ditandai maraknya kembali sepatu roda.
Keriuhan hadir dalam sangat banyak warna pada dua tampilan, seperti fuchsia, lavender, mint, neon green, oranye, mostar, dan coklat. Muncul pula pola bunga, abstrak, dan grafik. Keragaman pola ini dibuat dengan teknik bordir, tambalan, hiasan manik-manik, dan penyatuan kain perca. Teknik-teknik ini bersatu untuk membentuk desain baru tanpa menghilangkan gaya klasiknya.
”Cutting-nya dari yang sangat dekonstruktif sampai yang sangat simpel. Koleksinya agak nyeleneh dari koleksi Rama Dauhan sebelumnya,” kata Rama.
Agar tak bosan dijejali karya puluhan desainer sekaligus, Jay benar-benar mengatur variasi dari suguhan mode dengan memilah segmen, seperti segmen anak muda dan segmen adibusana.
Musik yang dipilih tentu juga lagu Indonesia. Semua teknik video terkini dimanfaatkan dengan menghadirkan animasi, video mapping, hingga pengambilan gambar bergaya film. ”Variasinya kaya, antisipasi supaya orang enggak bosan,” kata Jay.
Jay mengatakan justru memperoleh kebebasan luar biasa dibandingkan ketika menggarap panggung. Teknologi video membuat pekerjaan menjadi sangat ringkas.
”Kalau panggung hanya satu. Ini kebebasan bukan main. Beberapa pakai penerangan hanya matahari. Variasi begitu banyak. Membuka kemungkinan yang luar biasa. Bisa ke galeri ataupun ruang terbuka. Enak sekali yang saya dapatkan,” tambahnya.
Kreativitas kerap hanya bisa diakses oleh mereka yang berani berimajinasi menembus keterbatasan ruang dan waktu yang fana.