Asa Sepanjang Hayat
Gairah berkarya melekat sepanjang hayat. Gelora semangat ini lekat pada para senior yang terus berkarya di usia lanjut.
Siang itu, Titiek Puspa langsung mengangkat telepon rumahnya yang berdering tepat waktu janjian wawancara. ”Di masa pandemi ini saya tidak menerima tamu dan tidak bertamu,” ujar Titiek lewat sambungan telepon, Kamis (13/8/2020).
Ia memilih tinggal di rumahnya sendiri meski harus terpisah dengan anak dan cucunya. Selama pandemi ini, Titiek juga terus aktif berkreasi. Lagu berjudul ”Pantang Mundur” yang pernah diciptakan tahun 1963 ia daur ulang menjadi lagu ”Pantang Mundur” versi Covid-19. Lagu itu dinyanyikan Titiek Puspa dengan pengiring lagu Vega Antares. Videonya sudah diunggah di kanal Youtube.
Di tengah perbincangan di telepon, Titiek sempat menyanyikan utuh gubahan barunya itu. Lagu ”Pantang Mundur” begitu syahdu dan mendayu. Memang ada kepedihan di situ. ”Kulepas dikau pahlawan, kurelakan dikau berjuang, demi tugas kemanusiaan… kau berjuang di garda terdepan…,” demikian lirik pertamanya.
Titiek tidak berhenti mencipta lagu lainnya untuk memompakan semangat dan optimisme di masa pandemi. Ia pun kemudian lanjut menyanyikan lagu berdialek Betawi ciptaannya yang diberi judul ”Sekate-kate”. Judul ini bermakna, kata-kata seucap-ucapnya, yang penting untuk bernyanyi dan bisa menghibur.
”Sekate-kate” menjadi lagu komedi. Titiek menyelipkan pesan untuk menjaga alam raya dan menjadi manusia jempolan. Videonya juga sudah diunggah ke kanal Youtube. Vega Antares kembali menjadi pengiring lagu dan turut menyanyikan pula.
Sambungan telepon tak hanya mampu mengobati kerinduan Titiek untuk menyanyi di depan penggemarnya. Ketika rindu cucu, sapaan lewat saluran telepon seluler yang dilengkapi fasilitas video juga menjadi andalannya. Kedekatan dengan anak-anaknya pun terus terjalin lewat kirim-kiriman makanan.
Masa pandemi seolah tak menghambat aktivitas Titiek Puspa. Terlebih ketika sebelum ditetapkan masa pandemi, di bulan Januari 2020, Titiek Puspa sempat mengalami cedera sewaktu menjalankan umrah. Ia terpeleset dan jatuh. Saraf-saraf ototnya ada yang terganggu sehingga ia harus tinggal di rumah sejak jauh-jauh hari sebelum pandemi.
Api abadi
Tidak kalah menarik, aktivitas di masa pandemi juga dilakukan pelukis senior Srihadi Soedarsono (89). Pandemi tidak pernah menjadi perintang imajinasi bagi Srihadi. Di suatu pagi Srihadi mengirimkan foto lukisannya yang khusus dibuat untuk memperingati Kemerdekaan RI. Lukisan itu diberi judul ”Diponegoro-Merah Putih (2020)”, cat minyak di atas kanvas berukuran 180 x 135 sentimeter.
Srihadi di usia menjelang 90 tahun tetap tegar menghadapi situasi pandemi dengan terus berkarya.
”Kemerdekaan adalah warisan bangsa yang paling mulia, wajib dihidupkan bagai api abadi dalam jiwa dan dijaga dengan raga segenap rakyatnya,” kata Srihadi, yang terkenal pula lewat karya lukisan penari keraton Jawa itu.
Di usia senior, penulis Ahmad Tohari pun masih terus ”menumpuk” karya tulisan, bahkan karyanya berjudul ”Mereka Mengeja Larangan Mengemis” baru saja terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2019.
”Saya menulis cerpen untuk ditumpuk di rumah. Kalau berpotensi diterbitkan saya tulis ulang lalu dikirim. Saya menikmati di rumah,” kata Tohari, yang juga masih aktif sebagai pemimpin redaksi sebuah majalah.
Merayakan ulang tahun pada masa pandemi, Tohari sempat hanya mengundang sedikit orang pada perayaan sederhana dengan spanduk bertuliskan ”Terus berkarya di usia senja”. Kala itu, ia mengumpulkan penulis muda dan menyemangati mereka bahwa Indonesia masih membutuhkan banyak penulis.
Meski pandemi merupakan peristiwa yang luar biasa, penulisan karyanya justru belum terinspirasi Covid-19. ”Biasanya harus mengendap beberapa tahun. Peristiwa 65 baru ditulis sebagai bagian Ronggeng Dukuh Paruk tahun 1977, 12 tahun setelah peristiwa. Mengendap dulu dalam memori suatu saat muncul menjadi karya sastra,” tambahnya.
Dengan pemantauan ketat dari anak-anaknya—yang salah satunya berprofesi sebagai dokter—Tohari memilih mengurangi ke luar rumah. Kesehatannya benar-benar dijaga dengan diet karbo dan olahraga ringan. Selain menulis, ia juga menghabiskan waktu berkebun atau bermain bola dengan dua cucu yang sedang lucu-lucunya.
Menjalin relasi
Berkegiatan produktif dan terus berolahraga juga dilakukan Hermawan Kartajaya (72). Pakar pemasaran itu bolak-balik jalan kaki setiap pagi dari kantor dan apartemennya di Tebet, Jakarta. Ia juga keliling Kota Kasablanka tiga kali saban hari sejak Maret lalu. Ia berjalan sambil membawa beban masing-masing 1 kilogram dengan tangan kanan dan kirinya.
Hermawan pun tak bisa diam selama masa pandemi. Ia mengadakan seminar hampir setiap hari. Pendiri MarkPlus, Inc. itu membahas bisnis wisata, kiat bertahan di masa pandemi, dan strategi pemasaran. Berbagai sektor mulai logistik, infrastruktur, asuransi, hingga ritel dibahas. Setiap hari, ia juga menerima tamu dengan protokol kesehatan. Sesekali, Hermawan pergi untuk bertemu berbagai kalangan, termasuk pelaku UKM.
Di masa pandemi, Hermawan juga menambah wawasan dengan menonton Youtube. Ia pun banyak belajar dari film-film yang disaksikannya. ”Saya lakukan untuk happy life (hidup yang gembira). Saya sudah 37 tahun diabetes. Asma dari kecil. Darah tinggi juga. Ditambah umur, ada empat faktor pembunuh,” kata Hermawan, yang bukunya bersama Iwan Setiawan dan Philip Kotler, Marketing 3.0: From Products to Customers to the Human Spirit telah diterjemahkan dalam 27 bahasa.
Di masa pandemi, Hermawan juga menambah wawasan dengan menonton Youtube. Ia pun banyak belajar dari film-film yang disaksikannya.
Hermawan juga berikhtiar menjaga kesehatannya terlebih setelah Covid-19 merebak. Ia melakukan tes darah sendiri tiga kali setiap hari. Pola makan diterapkan dengan tertib. Hermawan sarapan dengan buah-buahan dan makan siang tanpa nasi. Saat makan malam, ia hanya menyantap kacang-kacangan. ”Sebelum makan, saya suntik insulin sesuai proporsi yang benar. Saya enggak minum obat. Tes darah juga sendiri,” ucapnya.
Jeanne Pattisina R (70) juga tetap aktif berkegiatan dan malah menemukan keasyikan baru karena bisa memelihara relasi dan mencari ilmu secara daring. Hari-hari Jeanne diisi dengan aneka aktivitas daring, mulai dari ibadah, paduan suara, olahraga, mengajar agama untuk anak-anak SD, ikut diskusi dan webinar, hingga bertemu dengan teman-teman.
Bersama putrinya, Caroline, Jeanne telah menerbitkan sebuah buku tentang pengalaman mereka melancong ala backpacker ke beberapa kota di Eropa. Kini mereka tengah menulis buku kedua tentang petualangan bersama ke Geneva, Swiss dan Chamonix, Perancis Selatan. ”Draf bagian saya sudah selesai. Caroline, tuh, yang belum,” imbuhnya.
Sebelum pandemi, setiap hari ada asisten yang datang untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sekitar pukul 07.00-11.00. Lantaran berisiko, sejak pembatasan sosial, asisten tak lagi datang ke rumah. Jeanne akhirnya melakukan seluruh pekerjaan beres-beres rumah dan memasak. Cucian dan setrikaan diambil putrinya, begitu juga urusan belanja yang akan dikirim ke rumah. Caroline juga datang untuk memangkas rambut ibunya.
Sisi negatif pandemi jelas ada, kata Jeanne. Kalau sedang olahraga, misalnya line dance, dia kini sendirian. Sepi rasanya, lanjut dia. Dia juga masih belum terlalu nyaman dengan cara belanja daring. ”Pernah pesan sandal, putus. Pesan lagi, kekecilan. Kadang barang yang datang tidak sesuai selera,” ucap Jeanne.
Namun, semua itu bukan masalah besar baginya. Di masa sulit ini, Jeanne dan para senior lainnya sangat paham untuk tidak berharap terlalu banyak. Bersyukur dan beraktivitas dengan gembira membuat mereka mampu menjaga gelora api semangat di masa krisis ini. (BAY/IAN/FRO)