Menjaga agar Gagasan Penting dalam Film Tetap Sampai ke Publik
Anak muda, khususnya sineas, ditantang untuk tetap berkarya di masa serba sulit saat pandemi. Selain menghidupkan kreativitas, hal ini juga berguna agar gagasan pada film tetap tersampaikan ke publik.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Segala upaya dilakukan para sineas agar kreativitas tidak padam dihantam pandemi Covid-19. Eksplorasi dan eksekusi ide tetap dilakukan walau dalam keterbatasan. Itu dilakukan agar gagasan penting pada film tetap tersampaikan ke publik.
Upaya itu dilakukan oleh salah satu sineas, Yuda Kurniawan. Sutradara film dokumenter Nyanyian Akar Rumput (2018) ini batal berkeliling (roadshow) Indonesia untuk pemutaran dan diskusi film dengan 90-an komunitas dari berbagai latar belakang. Roadshow seharusnya dimulai pada Maret 2020, tetapi dibatalkan karena pandemi.
”Saya senang bahwa publik merespons baik film ini. Padahal, isu yang dibahas di film sangat spesifik, yaitu tentang HAM, tragedi 1998, dan aktivis Wiji Thukul. Yang menonton bukan hanya orang tua, melainkan juga anak muda. Mereka bisa mendapat wawasan mengenai itu (tragedi 1998),” kata Yuda saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (20/8/2020).
Nyanyian Akar Rumput bercerita tentang kehidupan anak Wiji Thukul, yaitu Fajar Merah, setelah kehilangan ayahnya menjelang masa reformasi 1998. Wiji Thukul dinyatakan hilang beserta 12 aktivis lain. Kabarnya tidak diketahui hingga sekarang. Kehilangan itu menyisakan tanya, kegelisahan, dan luka bagi keluarga.
Wiji Thukul adalah penyair dan aktivis yang vokal menentang Orde Baru. Ia juga pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker) dan Partai Rakyat Demokratik di masa lalu. Salah satu puisinya yang terkenal berjudul ”Bunga dan Tembok”. Ia juga terkenal dengan kalimat, ”Hanya ada satu kata: lawan!”
Film Nyanyian Akar Rumput sebelumnya ditayangkan di layar lebar mulai 16 Januari 2020 selama lebih kurang dua pekan. Film ini tersedia di jaringan bioskop XXI, CGV, Platinum, dan Cinepolis.
Film tersebut tidak hanya media penyampai sejarah dan pembuka wawasan. Film itu juga memantik diskusi dan membangun literasi. Namun, diskusi yang diharapkan terpaksa batal karena pandemi. Menurut Yuda, diskusi ini harus dilakukan secara tatap muka, tidak bisa secara virtual.
Menyampaikan gagasan
Fungsi film sebagai penyampai gagasan juga tampak di film pendek Tilik produksi Ravacana Films. Film besutan sutradara Wahyu Agung Prasetyo ini ramai dibicarakan warganet sejak diunggah ke Youtube dua hari lalu. Hingga pukul 17.30 hari Kamis (20/8/2020) ini, Tilik ditonton lebih dari 1,5 juta kali.
Tilik diproduksi pada 2018, kemudian memenangi Piala Maya 2018 sebagai Film Pendek Terpilih. Adapun ceritanya berangkat dari ibu-ibu kampung yang hendak membesuk (tilik dalam bahasa Jawa) Bu Lurah di rumah sakit. Mereka berangkat ramai-ramai naik truk. Dalam perjalanan menuju kota, mereka bergunjing tentang Dian, kembang desa yang dicap ”nakal”.
Wahyu dalam video berjudul FilmPendek-TILIK (2018) | Cerita di Balik Layar mengatakan, film ini berkisah tentang hoaks. Internet dan media sosial kemudian mengamplifikasi hoaks tersebut. Orang-orang yang tidak bisa menyaring informasi—digambarkan sebagai penduduk desa di film—pun rentan termakan berita bohong. Menurut dia, fenomena ini penting diangkat menjadi film karena relevan dengan kondisi saat ini.
Tetap berkarya
Di sisi lain, menurut Yuda, pandemi sedianya menguji para sineas dan kreator untuk tetap berkarya dalam keterbatasan. Mereka ditantang untuk tetap memproduksi ide, mengeksplorasi kemungkinan, dan mengeksekusi ide tersebut menjadi karya.
Untuk itu, Yuda yang tergabung dalam Asosiasi Dokumenteris Nusantara (ADN) serta sekitar 300 sineas bersama-sama membuat film dokumentasi pendek.
Film-film itu dikirimkan melalui ADN daerah ke ADN pusat di Jakarta untuk diedit dan dikompilasi. Ada sekitar enam film pendek yang akan digabung, kemudian disiarkan di TVRI setiap minggu. Ini merupakan kerja sama ADN dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Selama bulan Mei-Juli 2020 akan dihasilkan 2.400 menit video pendek yang merekam tema; Belajar di Rumah, Religi dan Mitos/Mistis, Lebaran/Coronasiana, Usaha Mandiri, Perubahan Perilaku Keluarga, Gotong Royong, Kreativitas, dan Isu Lingkungan dari Aceh sampai ke Papua,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid seperti dikutip dari laman Kemendikbud.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyediakan media kreasi bagi sineas melalui Anti-Corruption Film Festival (ACFFest) 2020. Ini merupakan festival film keenam KPK yang berlangsung sejak 2013. Festival ini digelar untuk mengajak anak muda berkarya selama pandemi.
Juru Bicara KPK untuk Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding mengatakan, karya yang diseleksi harus menampilkan nilai integritas, kejujuran, kepedulian, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Film-film terpilih akan diputar pada Malam Penganugerahan ACFFest 2020 di Jakarta pada Desember 2020. Film terpilih juga akan jadi alat kampanye antikorupsi oleh KPK.
ACFFest melombakan karya jadi berupa film pendek dan vlog. Selain itu, peserta juga bisa mendaftar untuk kompetisi ide cerita film pendek. Dewan juri akan menyeleksi sepuluh proposal ide cerita terbaik.
”Kami mau melibatkan lebih banyak anak muda kreatif dalam upaya pencegahan korupsi, tetapi dilakukan sesuai dengan kemampuan di bidangnya masing-masing,” kata Ipi.