”Pemberontakan” Perempuan terhadap Industri Pakaian Dalam
Memanfaatkan pengaruhnya di media sosial, Rihanna mampu menarik minat publik terhadap produk-produk pakaian dalam yang sensual, tetapi tetap mengedepankan pemberdayaan perempuan.
Naomi Campbell, Alessandra Ambrosio, Gisele Bündchen, Heidi Klum, Lily Aldridge, Miranda Kerr, dan Bella Hadid adalah sebagian nama beken dalam dunia mode, khususnya industri pakaian dalam. Mereka dikonstruksi oleh industri sebagai ”standar” kecantikan perempuan global, yakni wajah proporsional, tubuh tinggi langsing, dan tentu saja seksi. Sebuah konstruksi yang lama bertahan meski mengabaikan standar kecantikan yang lain.
Popularitas mereka tentu saja terjadi berkat pagelaran pakaian dalam tahunan The Victoria\'s Secret Fashion Show dari Victoria’s Secret, sebuah perusahaan Amerika Serikat yang berdiri pada 1977. Didirikan oleh pebisnis Roy Raymond, Victoria’s Secret memiliki misi untuk memudahkan laki-laki dan perempuan nyaman berbelanja pakaian dalam.
Raymond menjual Victoria’s Secret kepada pendiri L Brands, Inc, Leslie Wexner, pada 1982. Wexner dalam waktu singkat mentransformasi perusahaan itu menjadi salah satu jaringan penjualan pakaian dalam terbesar di AS.
Pada 1995, Victoria’s Secret meluncurkan The Victoria\'s Secret Fashion Show. Acara ini menampilkan deretan model eksklusif yang disebut sebagai angel alias malaikat. Sejak siaran perdananya di internet pada 1999, The Victoria\'s Secret Fashion Show berhasil menarik jutaan penonton. Pada 2013, misalnya, acara ini menarik 9,7 juta penonton.
Kehadiran Victoria’s Secret menjadi simbol kefeminiman baru bagi Amerika Serikat pada akhir abad ke-20. Pakaian dalam perempuan tidak lagi tak berbentuk atau kaku seperti di masa lalu. Pakaian dalam mulai lebih menonjolkan sensualitas perempuan dalam bentuk push-up bra dan dalaman berenda.
Popularitas Victoria\'s Secret dalam industri terus melambung. Perusahaan ini bahkan menghasilkan hampir dua pertiga pendapatan untuk perusahaan induknya, L Brands, Inc. yang mencapai 28 miliar dollar AS pada 2015.
Namun, beberapa tahun terakhir, pamor Victoria’s Secret dan merek lain sejenisnya mulai turun. Pada 2018, The Victoria\'s Secret Fashion Show hanya ditonton oleh 3,3 juta penonton. Setahun kemudian, perusahaan itu mengumumkan tidak akan menayangkan acara itu. Pertumbuhan penjualan di toko-tokonya pun terus turun selama enam kuartal berturut-turut pada 2019.
Victoria’s Secret rupanya gagal membaca kritik publik terhadap pergelaran busananya. Banyak orang berpendapat, perusahaan mempromosikan standar kecantikan yang tidak realistis dan menawarkan pakaian dalam yang bersifat erotis ketimbang nyaman.
Orang-orang yang bertanggung jawab atas merek itu sama sekali tidak mempertimbangkan apa yang ingin dilihat pelanggan mereka.
”Orang-orang yang bertanggung jawab atas merek itu sama sekali tidak mempertimbangkan apa yang ingin dilihat pelanggan mereka. Mereka tidak merasakan urgensi untuk tetap mengikuti tren konsumen,” kata Cora Harrington, penulis In Intimate Detail: How to Choose, Wear & Love Lingerie.
Kemunduran perusahaan itu semakin terpukul selama 2019-2020 ketika Pendiri L Brands, Inc, Leslie Wexner (82), terlibat kontroversi dan perusahaan ekuitas swasta Sycamore Partners membatalkan rencana pembelian saham Victoria’s Secret. Selama pandemi Covid-19 berlangsung, Victoria’s Secret mengumumkan penutupan 250 toko dari sekitar 1.700 tokonya di Amerika Utara.
Perubahan selera
Dalam sejarahnya, pakaian dalam perempuan dapat mencerminkan perubahan sosial dan budaya. Dosen Courtauld Institute of Art, Dr Rebecca Arnold, mengatakan, pakaian dalam merefleksikan dan merupakan bagian dari konstruksi tubuh ideal dan gagasan kontemporer tentang jender, moralitas, dan seksualitas.
”Perempuan menolak korset selama masa perang adalah salah satu contohnya. Sebaliknya, perempuan memilih pakaian dalam yang lembut dan fleksibel—ini sesuai dengan gaya hidup baru mereka yang lebih aktif,” tutur Arnold.
Memasuki tahun 2010-an, selera pasar berubah berkat gelombang keempat feminisme. Perempuan menginginkan produk yang mengedepankan inklusivitas, penerimaan diri, dan kenyamanan perempuan. Mereka ingin representasi diri lebih tepat melalui model dengan berbagai jenis bentuk tubuh, warna kulit, dan identitas jender.
Perempuan menginginkan produk yang mengedepankan inklusivitas, penerimaan diri, dan kenyamanan perempuan. Mereka ingin representasi diri lebih tepat melalui model dengan berbagai jenis bentuk tubuh, warna kulit, dan identitas jender.
Seksualitas dalam pakaian dalam tentunya masih tetap menjual. Namun, unsur ini harus hadir sebagai sesuatu yang memberdayakan perempuan. Dengan demikian, pembuatan pakaian dalam perempuan tidak lagi dibuat dari sudut pandang laki-laki, tetapi dari pemakainya sendiri.
”Penting untuk menciptakan merek pakaian dalam di mana perempuan merasa diterima, dirayakan, dan bersemangat. Sesuatu untuk mereka, terlepas dari tatapan laki-laki atau apa yang dianggap menarik secara komersial. Kami ingin berkontribusi dalam menjadikan pakaian dalam sebagai lingkungan berbelanja yang sehat untuk generasi mendatang,” kata Mazie Fisher, salah satu pendiri Beija London asal Inggris.
Sejumlah merek pakaian lama mulai menggeser citra mereka menjadi lebih inklusif, seperti Target Corporation dan Aerie. Aerie, berdiri sejak 2006, mulai merilis foto model inkonvensional tanpa edit sejak 2014 guna mempromosikan citra diri (self-image) dan citra tubuh (body-image) positif. Aerie menghasilkan 646 juta dollar AS pada 2018 atau naik 6 persen dari tahun sebelumnya.
Selain itu, jenama-jenama baru dengan citra inklusif juga bermunculan di berbagai belahan dunia, seperti Lonely Lingerie pada 2009, Curvy Couture dan Baserange pada 2012, Thirdlove pada 2013, Nubian Skin pada 2014, serta Lively pada 2016. Banyak dari mereka didirikan oleh perempuan, misalnya Blandine Legait dan Marie-Louise Mogensen dari Baserange, Heidi Zak dari Thirdlove, dan Helene Morris dari Lonely Lingerie.
Kami ingin memberi kekuatan kepada orang yang dipotret, bagaimana mereka ingin difoto, bagaimana mereka merasa paling nyaman, dan melibatkan semua perempuan dalam proses itu.
Lonely Lingerie, misalnya, memiliki proyek Lonely Girls yang menampilkan model senior, ibu hamil, ibu menyusui, dan penyandang disabilitas. ”Kami ingin memberikan kekuatan kepada orang yang dipotret, bagaimana mereka ingin difoto, bagaimana mereka merasa paling nyaman, dan melibatkan semua perempuan dalam proses itu,” kata Morris, dari Lonely Lingerie.
Pasar menjanjikan
Keberadaan merek-merek baru itu disambut baik oleh pasar. Mereka juga mengubah komposisi industri. Meskipun masih menjadi pemain terbesar dalam industri pakaian dalam global, pangsa pasar Victoria’s Secret turun dari 31,7 persen pada 2013 menjadi 24 persen pada 2018, menurut Coresight Research.
Tantangan terbesar perusahaan pakaian dalam yang mempromosikan inklusivitas untuk berkembang adalah ongkos operasional yang tinggi. Pada umumnya, produksi pabrik tidak fleksibel untuk melayani kebutuhan ukuran semua konsumen.
Menurut Harrington, sebuah bra memiliki setidaknya 20 komponen, termasuk renda, penutup, dan tali pengikat. Untuk bra yang mewah, angka ini bisa membengkak menjadi 40 atau 50 komponen. Ini belum ditambah dengan pengeluaran untuk pembuatan pola yang bervariasi dan penjahitan.
”Ada begitu banyak bagian dari sebuah bra, ukuran dan variasi payudara, sehingga tidak mungkin satu merek melayani setiap pelanggan untuk memakai bra secara memadai. Untuk melayani cukup banyak konsumen, Anda melayani setidaknya 50-60 ukuran sebagai permulaan, yang mana ini melampaui kemampuan kebanyakan perancang indie atau merek baru,” kata Harrington.
Namun, beberapa produsen pakaian dalam yang mempromosikan inklusivitas telah menemukan formula berbisnis secara sangat menguntungkan. Salah satunya adalah Savage X Fenty yang didirikan Rihanna, penyanyi kenamaan berkulit hitam kelahiran Barbados, pada 2018.
Memanfaatkan pengaruhnya di media sosial, Rihanna mampu menarik minat publik terhadap produk-produk pakaian dalam yang sensual, tetapi tetap mengedepankan pemberdayaan perempuan.
”Visi saya untuk merek Savage X adalah selalu membuat perempuan merasa percaya diri dan mengekspresikan diri. Tidak ada aturan dalam mendesain pakaian dalam. Anda bisa tampil senyaman yang Anda inginkan, Anda bisa tampil seseksi yang Anda inginkan,” kata Rihanna.
Forbes menulis, Savage X Fenty telah menerima sekitar 70 juta dollar AS investasi untuk mengembangkan bisnis pada 2019 dan diperkirakan memperoleh pendapatan tahunan sebesar 150 juta dollar AS. Savage X Fenty diproyeksikan menjadi penguasa pangsa pasar pakaian dalam global di masa depan.
Baca juga: Payudara, Bra dan Persepsi Publik
Dosen Pemasaran dan Manajemen Mode The London College of Fashion, Olga Mitterfellner, mengatakan, promosi gerakan pemberdayaan dan inklusivitas perempuan salah satunya terbantu oleh media sosial.
”Ada pertukaran terbuka antara konsumen melalui jejaring sosial sehingga memberi mereka saluran untuk memberi tahu kepada brand apa yang sebenarnya mereka pikirkan dan inginkan,” tuturnya.
Begitulah, perempuan sejak lama menjadi lahan pertempuran konstruksi sosial dan industri, termasuk industri pakaian dalam. Lebih baik pilih saja pakaian dalam yang sesuai selera dan standar kecantikan masing-masing. (CNN/THE GUARDIAN/BBC)