Mode mencerminkan evolusi zaman beserta isu-isu yang menyertainya. Pekan lalu, busana menjadi sarana kritik anggota DPR Polandia terhadap diskriminasi pada kelompok LGBT+.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain merepresentasikan zaman dan kepribadian individu, mode sepanjang sejarahnya juga menjadi sarana menyampaikan pesan. Kritik terhadap kebijakan pemerintah, standar kecantikan, hingga HAM pernah diwakili oleh busana.
Kamis (6/8/2020), sejumlah anggota partai oposisi DPR Polandia menghadiri pelantikan Presiden Andrzej Duda dengan busana monokromatik. Ada yang mengenakan terusan merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Warna itu melambangkan bendera pelangi alias simbol LGBT+ (lesbian, gay, bisexual, transgender). Mereka juga mengenakan masker berwarna pelangi.
Aksi ini merupakan protes terselubung terhadap Presiden Andrzej Duda yang dipandang anti-LGBT. Kampanye politiknya pun tidak lepas dari sentimen tersebut. Sebelumnya, Duda menyatakan bahwa LGBT ”bukanlah orang-orang, melainkan ideologi”. Pernyataan ini dikecam sejumlah pihak.
Anggota DPR Polandia, Anna Maria Zukowska, mengatakan, mereka ingin mengingatkan Presiden Duda bahwa undang-undang di negara mereka menjamin kesetaraan bagi semua warga negara. Ini peringatan bagi Duda pada periode keduanya sebagai presiden.
”Kami tidak ingin situasi yang sama di masa jabatan berikutnya seperti yang terjadi di kampanyenya (Duda). Itu adalah ketika presiden merendahkan LGBT dan menolak hak mereka sebagai manusia,” kata Zukowska kepada Reuters.
Sentimen terhadap LGBT meningkat saat beberapa aktivis LGBT+ ditahan karena meletakkan bendera pelangi di sejumlah monumen publik penting Polandia. Beberapa di antaranya patung Mermaid of Warsaw, Nicolaus Copernicus, dan Yesus Kristus yang sedang memikul salib.
Penahanan aktivis itu berujung pada demonstrasi dari publik. Hingga Jumat, 7 Agustus, tercatat ada 48 demonstran yang ditahan pihak berwajib Polandia.
Simbolisme
Sepanjang sejarah, mode berkali-kali berperan sebagai simbol perjuangan atau kritik terhadap sistem yang ada. Tahun 1966, Bobby Seale dan Huey Newton mendirikan organisasi politik di Amerika Serikat bernama Black Panther Party for Self-Defense (BPP). Organisasi ini mendorong komunitas kulit hitam untuk membela diri dari diskriminasi dan kekerasan yang saat itu banyak dilakukan polisi kulit putih.
Selain identik dengan program sosial, BPP juga identik dengan seragam tidak resminya: baju biru, jaket kulit hitam, celana hitam, topi baret hitam, dan rambut afro. Beberapa orang menambahkan kacamata hitam atau aksesori lain sebagai aksen.
Sutradara film The Black Panthers: Vanguard of the Revolution (2015),Stanley Nelson Jr,mengatakan, para pendiri BPP memilih paduan busana itu karena mudah ditemukan. Busana tersebut juga lazim dimiliki orang-orang.
”Mereka bilang, ’Kau tahu, setiap pemuda kulit hitam punya jaket kulit hitam. Mereka bisa membelinya (jaket) atau meminjamnya jika tidak mampu membeli’,” kata Nelson kepada Insider.
BPP kemudian bubar pada 1980-an. Kendati demikian, BPP dikenang sebagai salah satu gerakan komunitas kulit hitam besar dan paling berpengaruh. Busana ala BPP pun masih diadaptasi publik hingga beberapa dekade berikutnya.
Pada 2016, musisi Beyoncé mengadaptasi seragam BPP untuk penampilannya di Super Bowl. Ia tampil dengan rambut keriting panjang dan jaket kulit hitam, lengkap dengan aksesori serupa amunisi yang tersampir di kedua bahu. Para penari pun tampil dengan rambut afro, jaket kulit hitam, dan topi baret.
Penampilan Beyoncé mendapat sorotan publik. Penampilan ini diyakini merujuk pada gerakan Black Lives Matter, yakni gerakan yang mendukung keadilan dan kesetaraan bagi orang kulit hitam dari diskriminasi serta kekerasan.
Selain itu, ada pula kultur hippies yang berkembang di Barat pada 1960-an. Orang-orang hippies identik dengan rambut panjang, baju yang flamboyan, dan celana bell-bottom atau cutbray, celana jins sobek (ripped jeans), baju ikat-celup (tie-dye), dan bunga di rambut.
Hippies merupakan kultur anti-kemapanan yang didominasi orang-orang muda kelas menengah. Mereka adalah orang-orang yang merasa terasing dari budaya arus utama kelas menengah. Hippies hadir sebagai pelarian dari tekanan akan standar sosial yang berlaku di publik.
Dalam catatan sejarah juga pernah ada sekelompok masyarakat yang melawan standar kecantikan karena dinilai opresif dengan aksi simbolis, yakni membakar bra. Bra dan sejumlah ”barang perempuan”, seperti kain pel, kosmetik, dan majalah dewasa, dimasukkan ke tong bernama Freedom Trash Can, lalu dibakar.
Perlawanan ini dilakukan kelompok perempuan feminis. Ini sekaligus protes terhadap kontes kecantikan Miss America yang dihelat pada 7 September 1968. Aksi pembakaran bra tercatat sebagai bagian dari gelombang kedua feminisme di AS.
Menurut buku Cultural Encyclopedia of the Breast, pembakaran bra juga adalah perlawanan terhadap budaya patriarki. Mereka menolak gagasan bahwa publik berwenang menentukan cara perempuan berpakaian yang ”pantas dan bermartabat”.