Dialog Berselubung ”Hazmat”
Irwan Ahmett dan Tita Salina menyuguhkan aspek habituasi yang bertolak belakang dalam Apocalyptic Smile. Kehancuran sekaligus ekspresi kepuasan ditelisik lewat interpretasi memori.
Irwan Ahmett dan Tita Salina menyuguhkan aspek habituasi yang bertolak belakang dalam Apocalyptic Smile. Kehancuran sekaligus ekspresi kepuasan ditelisik lewat interpretasi memori. Korelasi perenungan dengan pandemi menghadirkan narasi yang kontekstual.
”Selamat malam. Namanya siapa? Mau saya periksa dulu di daftar undangan,” ujar pria dengan setelan putih melingkupi sekujur tubuhnya. Begitu pula dengan empat petugas lain. Mereka mengenakan jaring rambut, tanda pengenal, dan pelindung wajah. Sekitar 10 undangan mengantre dengan rapi.
Di pelataran rumah di Jalan Surabaya, Jakarta, Sabtu (25/7/2020), terlihat garis-garis pembatas. Pengunjung paham, lalu menjaga jarak sekitar 2 meter. Hunian itu belum selesai dibangun. Batako, kerikil, dan semen menumpuk. Setiap tamu disodori kemasan plastik.
Setelah dibuka, tampaklah baju yang tengah marak dalam pusaran mode kontemporer, disadari atau tidak. Hazmat komplet dengan penutup kepala, sarung tangan, dan masker harus dipakai tanpa bersalin baju. Tak ada ruang ganti. Tak urung, mereka yang datang mengenakan terusan itu dengan susah payah.
Memakai hazmat ternyata sangat merepotkan, jika tak dianggap menjengkelkan. Lengan, kaki, dan badan dimasukkan ke dalam baju serupa busana montir. Sepatu harus dilepas, lalu dipakai lagi. Suara motor di jalan raya bisa terdengar dalam bangunan itu. Aroma disinfektan merebak.
”Selamat malam. Mohon maaf kalau kami terlihat egois. Di ruangan ini hanya saya dan partner saya yang tak mengenakan masker,” ujar Tita membuka pementasan sekitar pukul 19.00. Ia mengoleskan pembersih tangan bersama Irwan yang menyalakan lampu minyak. Cahaya remang-remang.
Adegan dibuka dengan layar besar di belakang Tita dan Irwan yang menayangkan dua orang sedang menghantam lantai dengan godam untuk membuat lubang. Benak penonton langsung digedor dengan tema yang diusungnya. ”Selamat datang di tatanan dunia yang baru. Dunia yang kehilangan senyuman,” ucap Tita.
Sementara apokalips tak pernah lepas dari peradaban mana pun. Kecemasan yang selalu berujung pada pertanyaan sarkasme, apakah manusia akhirnya akan punah. Tita dan Irwan memetakan presentasinya dengan pengalaman-pengalaman mereka semasa kecil.
Generasi yang tumbuh setelah tahun 1980 tentu dihantui berbagai katastrofe. Fantasi soal perang nuklir, misalnya, berputar dalam angan anak-anak meski kecemasan itu tak pernah terjadi. Tita lantas memulai pertunjukannya dengan gerhana matahari total.
”Tanggal 11 Juni 1983. Waktu itu seharusnya menjadi hari penuh senyuman. Tepat hari ulang tahunku ke-10. Tak ada perayaan,” ujar Tita. Ia sekeluarga mengurung diri dalam rumah pada siang yang seperti malam. Kegundahan Tita lantas menjadi kontekstual dengan kekarutmarutan saat ini.
”Pendar indah korona tercipta dari ionisasi gas dengan suhu jutaan derat yang sayangnya tak dapat disaksikan,” ucapnya. Covid-19, yang kerap disebut korona, tak pelak menjadi krisis dalam perputaran roda zaman manusia. Uraian Tita soal matahari sekonyong-konyong merasuki penonton.
Bermandi peluh
Presentasi itu tak hanya berselubung hazmat, tetapi juga berlumurkan peluh. Penyejuk ruangan tak mampu mengusir gerah. Belum 30 menit, panasnya sudah tak tertahankan. Padahal, babak awal belum lagi usai. Tubuh-tubuh berbaju seragam berwarna pucat bagaikan seni instalasi.
Senyuman pun menjadi kemewahan. Hanya Tita dan Irwan yang dipisahkan dinding kaca dengan penonton yang bisa menunjukkan raut wajahnya. Selain mereka, mulut-mulut terbekap masker. Toilet tak tersedia. Pintu tertutup rapat. Penonton harus menahan hasrat buang air kecil.
”Kita tak lebih dari kepompong manusia yang masuk dalam satu lapisan. Setelah acara ini selesai, masuk lagi ke lapisan lain,” ucap Tita. Gerhana secara fundamental menjadi analogi tentang hoaks yang tak hanya menjungkirbalikkan logika modern. Saat fenomena itu terjadi hampir empat dekade silam, desas-desus kebutaan karena menatap matahari secara langsung meruyak.
Warga di sejumlah daerah dilarikan ke rumah sakit untuk diperiksa matanya. Irwan lalu memaparkan potongan-potongan surat kabar tentang nihilnya tunanetra yang dipicu gerhana. Faktanya, memandang mentari kapan pun selalu berbahaya karena paparan inframerah.
Pasangan itu beranjak menuju tahun 1982. Gunung Galunggung meletus. Petani gagal panen, kemiskinan merajalela, dan manula mengungsi dengan susah payah. ”Fenomena mematikan sekaligus indah pada malam hari. Beberapa jam kemudian senyum menghilang. Rasanya seperti apokalips,” ucap Irwan.
Beralih ke tahun-tahun berikutnya, mayat bertato dalam karung menjadi obrolan mengasyikkan. Mereka biasanya dibuang ke sungai pada malam hari. ”Wajah-wajah yang mendengar cerita itu akan tersenyum apokaliptik secara kolektif. Itu mungkin senyum sangat aneh yang terus saya ingat,” ujarnya.
Irwan melihat orang melebih-lebihkan, menambah narasi, dan memberi kisah mistis. Tita kemudian menyodorkan humor getir. ”Teror yang dulu terkenal sebagai penembak misterius kini punya sebutan baru. Perangkus. Penyerang air keras misterius,” ujarnya tanpa disambut tawa penonton.
Suami istri itu turut menyorongkan ambiguitas Imam Samudera. Catatan terpidana mati kasus bom Bali tahun 2002 itu dicantumi 18 emotikon senyum. Mereka juga mengulas millennium bug, gangguan komputer tahun 2000. Sidang tertutup sekitar dua jam itu berakhir tanpa gegap gempita tepuk tangan.
Sejatinya, Apocalyptic Smile berupaya mendobrak keinsafan manusia yang kerap ditelikung ketakutan sebagai maujud lemah. Paradoksnya, kerumunan biologis itu gandrung mendominasi, lalu kalut menyaksikan kehancuran lantaran ulahnya sendiri. Primata-primata besar yang mengklaim makhluk paling mulia.
Irwan dan Tita tak alpa menautkan kenangannya dengan kegalauan saat ini. Otak manusia kerap mengabaikan informasi yang tidak ada kaitannya tentang keterdesakan. Jumlah penderita yang dinyatakan positif Covid-19 sudah lebih dari 100.000 orang dengan sekitar 5.000 kematian.
”Kita sejenak khawatir, lalu merasa biasa lagi. Namun, jika saya teriak gempa, semua informasi akan diabaikan dan kita mencari selamat,” kata Tita. Ia dan Irwan sekaligus mengajak khalayak menerjemahkan tarikan pada sudut bibir. Senyum senantiasa menjadi refleksi dengan selaksa arti. Setidaknya senyum menjadi indikator paling sederhana untuk menunjukkan optimisme untuk melewati pandemi.
Di pengujung dialog itu, Irwan memanggil hadirin satu per satu untuk mengamati aneka benda yang diletakkan di meja, seperti amber, kartu, dan batu. Kebingungan, mungkin pula kekhawatiran bakal berpusar dengan nalar.
”Saya percaya akan terbit senyuman yang berbeda dengan biasanya, dengan syarat dan ketentuan berlaku,” ucap Tita penuh arti.