GPT-3, Kecerdasan Buatan Paling Menakjubkan Saat Ini
GPT-3, buatan OpenAI, dapat membantu manusia menciptakan aplikasi tanpa perlu memahami bahasa pemrograman. Namun, di balik kecerdasan itu, AI masih memiliki persoalan mendasar. AI tidak akan pernah sesempurna manusia.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·5 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global Dialogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019). Sophia diperkenalkan sebagai wujud masa depan teknologi AI, yaitu saat manusia dan robot dapat bekerja sama di berbagai bidang.
JAKARTA, KOMPAS — Masa depan yang supercanggih tampak semakin dekat. Dengan bantuan artificial intelligence atau kecerdasan buatan, manusia dapat melakukan ”programming” tanpa koding; cukup mendeskripsikan aplikasi yang diinginkan dalam bahasa Inggris, lalu komputer menuliskan sendiri kode pemrogramannya. Dalam beberapa detik, aplikasi yang diinginkan langsung tersaji. Cerdas, bukan?
Ini dimungkinkan dengan bantuan GPT-3 atau General Pretrained Text generasi ketiga. GPT-3 diciptakan oleh OpenAI, sebuah lembaga riset kecerdasan buatan yang berbasis di San Francisco, Amerika Serikat. Teks ilmiah mengenai GPT-3 sudah diterbitkan oleh OpenAI sejak Mei 2020, tetapi akses beta terbatasnya baru dibuka bagi sejumlah pihak sejak pertengahan Juli ini.
OpenAI didirikan pada 2015 dan didanai oleh sejumlah figur dan entitas yang sudah biasa dikenal di jagat Silicon Valley, seperti CEO Tesla Elon Musk dan pemodal ventura Peter Thiel.
AFP/BRENDAN SMIALOWSKI
CEO Tesla Elon Musk yang juga salah satu pendiri OpenAI, lembaga riset kecerdasan buatan.
Sejumlah perusahaan seperti Microsoft dan lengan komputasi awam milik Amazon, AWS, juga turut urun dana pada saat itu. Total 1 miliar dollar AS dikumpulkan untuk mendirikan OpenAI. Sam Altman—eks presiden perusahaan inkubator start up terkemuka dunia Y Combinator—menjadi CEO OpenAI.
Selama ini mungkin kecerdasan buatan terkadang seakan masih di awang-awang. Banyak yang mungkin lebih sering mendengar kecerdasan buatan hanya sekadar soundbite mengenai kebijakan Industri 4.0, misalnya.
Namun, sejak dibuka aksesnya ke sebagian publik, GPT-3 tampaknya bisa mendemonstrasikan bagaimana kehebatan kecerdasan buatan secara nyata.
Seorang programer asal AS bernama Sharif Shameem menggunakan GPT-3 untuk membuat aplikasi ”pembuat aplikasi”. Dalam cuitan di Twitter-nya, Sharif membuat aplikasi ”to do list” sederhana.
Cukup mengetikkan apa yang ia inginkan dalam susunan kalimat bahasa Inggris biasa, GPT-3 menerjemahkan deskripsi yang dimasukkan Sharif menjadi rangkaian kode dalam bahasa pemrograman Javascript. ”Dari hari ke hari, saya semakin takjub dengan kemampuan GPT-3,” kata Sharif.
Programer yang juga product designer di perusahaan fintech Square, Jordan Singer, bahkan membuat aplikasi untuk membuat desain laman situs web secara otomatis, cukup dengan memasukkan deskripsi yang diinginkan.
Programer asal India, Sushant Kumar, menerapkan GPT-3 sebagai sebuah ”generator cuitan”. Dalam aplikasi yang Kumar ciptakan, siapa pun dapat memasukkan sebuah kata, di mana GPT-3 akan menciptakan sejumlah rangkaian kalimat orisinal yang belum pernah ada sebelumnya.
Pengguna tinggal menggantikan kata ”word” di akhir alamat situs milik Sushant di https://thoughts.sushant-kumar.com/word dengan kata yang menjadi tema pilihan Anda. GPT-3 akan menghasilkan kalimat baru mengenai tema tersebut.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
GPT-3 dapat menghasilkan cuitan orisinal cukup melihat satu kata sebagai pemicu atau prompt. Kompas pada Rabu (29/7/2020) mencoba memasukkan ”Indonesia” dan kalimat ini yang muncul. GPT-3 tampak memahami bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Bahkan, melalui aplikasi milik Sushant, pengguna dapat menanyakan sebuah pertanyaan kepada GPT-3 yang kemudian akan dijawab dengan kalimat yang seakan dibuat oleh manusia.
Sementara itu, eks programer Google dan Facebook, Kevin Lacker, mencoba melakukan Tes Turing terhadap GPT-3 dengan cara menanyakan pertanyaan-pertanyaan sederhana.
Tes Turing adalah sebuah pengujian yang diberikan kepada suatu sistem kecerdasan buatan untuk menilai apakah sistem kecerdasan buatan tersebut telah dapat meniru manusia. Tes ini diciptakan oleh matematikawan dan filsuf asal Inggris, Alan Turing, pada 1950.
KEVIN LACKER
GPT-3 dapat menjawab pertanyaan ”common-sense” yang biasanya tidak bisa dijawab oleh AI biasa.
Pertanyaan yang berbasis pada fakta dapat dijawab dengan benar oleh GPT-3. Namun, kecemerlangan GPT-3 terlihat pada pertanyaan-pertanyaan sederhana; jerapah punya mata berapa?
”Biasanya, AI itu gagal di pertanyaan-pertanyaan yang sederhana ’common-sense’. Bagaimana GPT-3 bisa tahu kalau jerapah punya dua mata? Teori saya, mungkin pada saat pelatihan AI, ada sebuah laman internet yang menjelaskan jumlah mata jerapah,” kata Lacker.
Kekurangan
Ini artinya, apabila sebuah informasi tidak terdapat dalam dataset yang diserap oleh GPT-3, ia tidak akan bisa memberi jawaban yang akurat. Lacker menunjukkan bahwa dalam pertanyaan ”lebih berat pemanggang roti (toaster) atau pensil?”, GPT-3 menjawab bahwa pensil lebih berat.
”Kalau kita ingin menyandung GPT-3, pertanyaan yang disampaikan harus mengenai hal yang sangat remeh-temeh sehingga informasi mengenai hal tersebut tidak pernah disebut di internet,” kata Lacker melalui blognya.
KEVIN LACKER
Pada pertanyaan nomor 3, GPT-3 menjawab dengan salah.
Kekuatan GPT-3 memang terletak pada jumlah ”ilmu” yang diserapnya. Sebagai sebuah mesin pintar, GPT-3 dipasok data teks dengan jumlah besar.
Berdasarkan dokumen ilmiah GPT-3 yang dipublikasikan melalui Arxiv.org milik Cornell University AS, GPT-3 mendapat pasokan data 45 terabyte, berisi sekitar 1 triliun kata, termasuk seluruh isi Wikipedia dan buku pedoman koding dan programming. Ini jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem AI yang pernah dibuat sebelumnya, baik Microsoft Turing maupun Google T5.
OPENAI/Dario Amodei, Tom B Brown, et. al
GPT-3 memiliki model bahasa yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem AI lainnya.
Ini artinya, teks yang dihasilkan oleh GPT-3 merupakan cermin dari segala yang dihasilkan oleh manusia; baik dan buruknya. Buruknya, bias rasisme dan diskriminasi terhadap perempuan juga terlihat melalui GPT-3.
Head of AI Facebook Jerome Pesenti menunjukkan bahwa meng-input-kan kata-kata seperti ”jews” atau yahudi, black, women, dan holocaust pada aplikasi ”tweet generator” milik Sushant di atas, GPT-3 menghasilkan kalimat-kalimat yang tergolong rasis dan insensitif.
Menurut Pesenti, GPT-3 masih tergolong unsafe atau tidak aman. ”Kita semua harus menciptakan sebuah sistem yang dapat mencegah hal ini terjadi,” kata Pesenti.
Menanggapi kritik Pesenti, CEO OpenAI Sam Altman juga mengakui bahwa ini adalah problem yang sedang dicoba diselesaikan. Justru karena persoalan inilah yang membuatnya merilis akses GPT-3 melalui program beta yang terbatas.
”Inilah mengapa kami memulai dengan program beta dan kelak melakukan review sebelum ini bisa dirilis secara luas. Kami sangat setuju bahwa kita semua perlu berhati-hati terhadap dampak negatif yang dihasilkan oleh perusahaan AI,” kata Altman.
Bias dalam dunia AI memang menjadi persoalan serius. Hal ini juga terjadi pada bidang pengenalan wajah (face recognition). Berbagai sistem pengenalan wajah dianggap masih memiliki bias terhadap orang kulit berwarna (people of colour) dan perempuan. Artinya, mereka yang bukan kulit putih dan bukan laki-laki cenderung salah diidentifikasi oleh sistem pengenalan wajah.
Kesalahan pengenalan wajah mungkin tidak berdampak serius pada sistem presensi kantor, misalnya. Namun, dampak yang lebih serius bisa terjadi pada sistem pengenalan wajah pada kamera keamanan ataupun kamera yang digunakan oleh aparat penegak hukum.
Beberapa waktu lalu, salah satu pemain besar sistem pengenalan wajah, IBM, memilih menarik produknya dari pasar sebelum masalah bias rasial ini dapat diselesaikan.
AI memang menjanjikan berbagai solusi kehidupan manusia. Namun, tampaknya, tanpa manusia menyelesaikan berbagai permasalahan mendasar yang masih menganga, AI tidak akan pernah sempurna.