Kisah Malin Kundang, si anak durhaka, hadir dalam bentuknya yang lebih dinamis lewat pentas musikal di platform virtual. Nuansa teater dan film bergabung menjadi satu dalam jalinan cerita yang singkat
Oleh
FRANSISCA ROMANA NINIK
·4 menit baca
Kisah Malin Kundang, si anak durhaka, hadir dalam bentuknya yang lebih dinamis lewat pentas musikal di platform virtual. Nuansa teater dan film bergabung menjadi satu dalam jalinan cerita yang singkat, tetapi padat dan kaya olah visual.
Cerita rakyat ini sudah sangat dikenal. Namun, Malin Kundang yang merupakan bagian dari pertunjukan #MusikaldiRumahAja produksi bersama BoowLive dan www.Indonesiakaya.com memberikan tawaran lain dalam tampilannya. Malin Kundang ditayangkan di kanal Youtube dan Twitter Indonesia Kaya, Kamis (23/7/2020) malam.
Penyanyi Naura sebagai narator membuka cerita dengan nyanyian ”Malin oh Malin”. Ini kisah tentang cinta seorang ibu kepada anaknya yang merantau, demikian sekelumit syairnya. Sembari menyanyi, Naura memainkan miniatur kapal dalam botol kaca.
Tampil Malin Kundang (diperankan Nino Prabowo), bercakap-cakap dengan istrinya, Nur (Desmonda Cathabel), yang ingin mengunjungi kampung halaman Malin. Malin menolak gagasan itu, tetapi tak mempan.
Di tepi pantai, sang ibu (Dea Panendra) bernyanyi, melagukan kerinduannya. Ketika si anak muncul di depan mata, tetapi tak mengakuinya dan terus menyangkal keberadaannya, ibunda pun murka. Air laut bergelora, ombak bergulung-gulung. Terkutuklah si Malin Kundang, berubah menjadi batu.
Malin Kundang digarap bersama sutradara film Pritagita Arianegara dan sutradara teater Rama Soeprapto. Naskah diadaptasi oleh Titien Wattimena. Musik ditata Dian HP.
Cerita rakyat tersebut diberi kemasan modern, baik secara dialog, musikalisasi, maupun visualisasinya. Istri Malin Kundang yang tidak dikenal dalam cerita aslinya diberi peran penting sebagai pemicu Malin Kundang pulang kampung menemui ibunya. Dia juga diberi nama Nur.
Dialog antara Malin dan Nur terasa kekinian, di antaranya saat menyebut liburan ke Amerika, Eropa, Australia. Begitu pun saat Malin menolak keinginan Nur pulang kampung dengan sepenggal syair ”Lebih baik di sini... rumah kita sendiri....”
Kekayaan visual tampak dalam gambar semacam lukisan yang ditampilkan sebagai latar belakang narator. Di antara dialog dan adegan tampak sosok berpakaian serba hitam yang menari. Tak sekadar jadi pelengkap, penari ini seolah memvisualkan perasaan para tokohnya. Dia meliuk, melompat, berputar, dan bergerak menggambarkan kesedihan, kemarahan, dan penyesalan.
Tidak hilang
Dalam durasi yang cukup singkat, sekitar 20 menit, cerita rakyat tersebut tampil dinamis. Kisah tidak dituturkan bertele-tele, tetapi tidak lepas pula pesan dan pemaknaannya.
Pritagita menuturkan, konsep pertunjukan diatur oleh sutradara teater, tetapi penggambaran visual didiskusikan dengan sutradara film.
”Saya memvisualkan Rama mau bicara apa, Titien mau bicara apa, supaya rasa itu bisa sampai dan diterima penontonnya. Kisah Malin Kundang tidak bisa diriset, jadi semua cerita berdasarkan skrip yang ditulis,” tutur Prita saat dihubungi, Jumat.
Prita ingin agar rasa teater tidak hilang dalam pentas virtual tersebut. Dengan kepiawaiannya, dia ”meminjam” kamera film untuk menjadi mata bagi penonton yang bisa menyorot ke berbagai sisi, hingga ke detail-detailnya. Ini yang barangkali tidak didapatkan dalam sebuah pentas di atas panggung.
Dia menambahkan efek multimedia dalam ruang yang statis, seperti di belakang jendela atau di atas pasir. ”Ke depan, menarik sekali kerja sama lintas bidang semacam ini. Kita bisa melahirkan karya cerita dengan medium berbeda. Ini bisa membuat orang saling melirik. Yang penonton film melirik teater, yang penonton teater melirik film,” kata Prita.
Dalam Bincang Seni Pertunjukan di akun Instagram Galeri Indonesia Kaya sebelum pertunjukan, Dea Panendra menuturkan, konsep teater-film musikal semacam ini terhitung baru baginya. Dia besar lebih dulu di teater musikal, baru terjun ke film. Menggabungkan keduanya jadi keseruan bagi Dea. Banyak tantangan yang harus dihadapinya untuk ”memindahkan” panggung ke dunia virtual.
”Pertama perannya, ibu tua yang merindukan anaknya. Aku belum pernah di posisi itu,” katanya sembari tertawa.
Bekerja secara virtual juga menyedot energi Dea. Imajinasi harus dikembangkan seluas mungkin untuk mengikuti latar. Pengambilan gambar juga tidak berbarengan karena harus menjaga jarak. ”Ingin rasanya menembus laptop. Butuh kerja sama yang baik dari semua pihak. Cara ini juga bisa jadi opsi bagi para seniman untuk tetap berkarya di masa pandemi,” ujarnya.
Naura juga mengalami tantangan serupa. Karena dia tidak shooting bersama pemain lainnya, dia pun harus bisa menjaga keterikatan dengan cerita. ”Aku menyanyikan lagu pembukaan dan penutupan, tantangannya aku mesti menjaga mood agar sama dengan ceritanya,” ucapnya.
Direktur Program Indonesia Kaya Renitasari Adrian mengatakan, #MusikaldiRumahAja merupakan kelanjutan kegiatan yang digelar Indonesia Kaya semasa pandemi. Sudah ada #NontonTeaterdiRumahAja, #PuisidiRumahAja, dan #ProsadiRumahAja. ”Pandemi mengubah ruang pentas yang identik dengan bangunan fisik menjadi ruang virtual. Ini mendorong pekerja seni beradaptasi agar seni pertunjukan tetap bertahan,” katanya.
Selain Malin Kundang, ada lima cerita rakyat yang diangkat #MusikaldiRumahAja. Program ini melibatkan enam sutradara film; enam sutradara teater; enam sinematografer; tujuh penata musik; serta 44 aktor, aktris, dan penari.
Ditayangkan setiap Kamis, pemirsa bisa menyaksikan kisah Timun Mas pada 30 Juli, Rara J (Rara Jonggrang) pada 6 Agustus, Sangkuriang pada 13 Agustus, Bawang Merah Bawang Putih pada 20 Agustus, dan Lutung Kasarung pada 27 Agustus.
Kolaborasi memang menjadi kata kunci dalam menelurkan karya di tengah masa krisis akibat pandemi. Menciptakan karya secara virtual amat jarang dilakukan sebelumnya. Di situlah pentingnya kerja bersama orang-orang dari berbagai latar belakang kecakapan untuk menghadirkan suguhan menyenangkan bagi masyarakat yang terpaksa terkungkung di dalam rumah.