Layangan Koang Berebut Ruang
Memainkan layang-layang di Ibu Kota menjadi salah satu pelepas penat di kala pandemi Covid-19 saat ini. Akan tetapi, keterbatasan ruang menjadi tantangan tersendiri bagi penggemar layangan.
Musim kemarau telah tiba. Saat ini menjadi saat yang tepat untuk bermain layang-layang. Beberapa kali liukan layangan terlihat di langit Jakarta saat sedang cerah. Mengingat keterbatasan lahan dan masih tutupnya sejumlah taman di Jakarta, sulitkah menerbangkan layang-layang saat ini?
Berbeda dengan layang-layang sukhoi yang biasa dipakai adu layangan (aduan), menerbangkan layang-layang jenis koang di Ibu Kota punya tantangan tersendiri. Layang-layang hias dengan suara yang khas ini mustahil mengudara di lahan terbatas.
Rabu (22/7/2020) siang, di lahan kosong Perumahan Sekretaris Negara, Jalan Panjang, Cidodol, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Ojan (11) dan Nurdian (9) mencoba menerbangkan layang-layang. Ojan bertugas memegang layang-layang, sedangkan Nurdian bersiap menariknya.
Ojan harus memegangi layangan tersebut dari luar pagar agar tidak tersangkut di pohon-pohon tinggi di sekitarnya. Sementara Nurdian mengambil ancang-ancang dari dalam lahan kosong. Keduanya dipisahkan oleh pintu pagar yang dikunci dengan gembok.
Enam kali melakukan percobaan, keduanya selalu gagal. Mereka kemudian menyerah. Lahan yang mereka pakai sebenarnya memiliki luas sebesar lapangan futsal. Akan tetapi, pohon-pohon tinggi di sekitarnya ternyata menghalangi laju angin. ”Susah, enggak ada angin,” teriak Nurdian kepada Ojan.
Tak berselang lama, Nurdian mengambil sepedanya dan pergi menuju Lapangan Satria, Cidodol. Jaraknya sekitar 5 kilometer dari Jalan Panjang. Tidak sampai 15 menit, ia kembali dengan betis penuh bercak lumpur.
”Lapangannya becek banget. Enggak bisa dipakai main layangan,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan, sebagian besar area lapangan sepak bola tersebut memang tergenang oleh air. Padahal, lapangan ini bak surga bagi para pencinta layang-layang di Cidodol dan sekitarnya. Tidak hanya bagi anak-anak dan remaja, tetapi juga orang tua.
Tempatnya luas dan minim pepohonan. Angin di lapangan ini juga berembus kencang sehingga memudahkan layang-layang terbang. Bukan hanya lapangan yang sering tergenang, penggemar layang-layang di sini juga harus berebut lahan dengan warga sekitar yang kerap bermain sepak bola pada sore hari.
Baca juga : Membuat Layang-layang Karakter
Minimnya lahan untuk menerbangkan layang-layang juga dikeluhkan Matsani (40) alias Bang Ewok. Ia merupakan perajin layang-layang di Cidodol yang sudah bertahan hampir 30 tahun.
”Biasanya ada 50 orang main layang-layang di Lapangan Satria. Jadi penuh. Mereka dari sejumlah kampung di Kebayoran Lama,” ucapnya.
Bagi Bang Ewok yang kerap menerbangkan layang-layang koang, Lapangan Satria memang tergolong sesak. Menerbangkan layang-layang koang, menurut dia, butuh ruang yang luas karena ukurannya besar. Setidaknya butuh minimal dua orang untuk menerbangkan koang berukuran di atas 1 meter.
Biasanya ada 50 orang main layang-layang di Lapangan Satria. Jadi penuh. Mereka dari sejumlah kampung di Kebayoran Lama.
Berbeda dengan jenis layang-layang lain seperti sukhoi yang digunakan untuk adu layangan. Sukhoi bisa diterbangkan seorang diri. Para pehobi layang-layang aduan juga lebih menyukai tempat yang ramai karena peluang untuk beradu layangan semakin besar.
Sementara layang-layang koang cenderung mengedepankan keindahan motif, bentuk, dan bunyinya. Seperti diketahui, pita yang disematkan di punggung akan berdengung saat koang mengudara. Ini menjadi ciri khas koang dibandingkan dengan jenis layang-layang lain.
”Selain di Lapangan Satria, biasanya saya ke Lapangan Intercon di Srengseng. Tapi sama saja, ramai. Sering nyangkut ke layangan lain dan putus,” kata Bang Ewok.
Bang Ewok mengungkapkan, semasa duduk di bangku kelas V SD, ia bebas bermain layang-layang di mana pun. Salah satunya di Jalan Panjang Cidodol, tempatnya berjualan layang-layang. Tempat tersebut dulu adalah tanah lapang sebelum berubah menjadi permukiman.
Di TPU Grogol Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat, anak-anak dan sejumlah remaja menerbangkan layang-layang koang di sela-sela batu nisan. Rahmat (24), warga Palmerah yang menerbangkan koang, mengaku baru menempati lokasi itu sejak dua minggu terakhir.
Sebelumnya, Rahmat dan beberapa temannya biasa menerbangkan koang di lapangan sepak bola sebelah Polsek Palmerah. Dari tempatnya menerbangkan layangan sore itu, jaraknya sekitar 3 kilometer. Ia memilih TPU tersebut karena lebih sepi.
”Kalau di dekat lapangan itu ramai banget. Koang ini, kan, memang sering belok-belok sendiri ngikutin angin, jadi bisa nyangkut ke layangan lain,” katanya.
Sementara itu, di bantaran Kali Grogol, Jalan Inspeksi Slipi, Palmerah, sejumlah remaja dan anak-anak juga terlihat bermain layang-layang. Di sana tak ada ruang untuk berlari. Untuk menerbangkan layang-layang koang, satu orang harus berada di seberang kali untuk memeganginya.
Alih-alih mengudara, beberapa kali layang-layang yang coba diterbangkan bahkan nyaris menghunjam ke kali. ”Yang paling dekat, di sini sih memang. Sering banget jatuh ke kali. Kalau udah kayak gitu, paling disoraki,” kata Bima (12), warga Palmerah.
Minat meningkat
Minimnya ruang bermain layang-layang di Jakarta terbilang ironis. Pasalnya, minat warga pada permainan tradisional ini kini tengah memuncak. Di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, layang-layang seakan menjadi hobi yang abadi.
Menurut Bang Ewok, layang-layang di era 1990-an atau 2000-an cenderung digemari anak-anak hingga remaja. Terbukti, anak-anak seusianya waktu itu sudah mahir membuat layang-layang koang sendiri.
Namun, penggemar layang-layang kini hampir merata di semua usia. Orang-orang yang mengenyam masa kecil di era Bang Ewok ternyata masih menggemari layang-layang. Ditambah anak-anak dan remaja di era sekarang yang juga masih menggemari hobi ini.
”Anak-anak sekarang masih banyak yang suka layangan walaupun yang nerbangin juga babe atau kakaknya,” ujarnya.
Selama pandemi Covid-19, Bang Ewok mengaku dapat menjual 20 layang-layang koang berbagai ukuran dalam sehari. Bahkan, beberapa kali ia kewalahan melayani pesanan. Sampai-sampai ia harus minta bantuan kepada perajin lain.
Setiap ukuran dihargai berbeda-beda. Koang sepanjang setengah meter harganya sekitar Rp 35.000, sedangkan ukuran 1 meter dihargai Rp 50.000. Sementara koang ukuran 1,5 meter dihargai sekitar Rp 65.000.
Orang baru
Perajin layang-layang koang bukan hanya menyisakan orang-orang lama. Muhammad Abduh (23), mahasiswa Jurusan Dakwah di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran Jakarta, dua bulan ini mulai membuat dan memasarkan layang-layang buatannya.
Layang-layang tersebut kini dipajang di toko kelontong milik ayahnya di daerah Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. ”Baru nyoba-nyoba bikin, ternyata yang minat lumayan juga,” katanya.
Dalam sehari, Abduh bisa menjual hingga sepuluh layang-layang koang. Pembeli datang dari sejumlah daerah, seperti Jakarta Utara, Depok, dan Bekasi. Beberapa di antaranya datang beberapa kali ke toko.
”Yang dari Tanjung Priok datang ke sini enam kali. Alhamdulillah. Ada yang dateng buat beliin ayahnya,” ungkapnya.
Abduh umumnya menjual koang berukuran 1,5 meter dan 3 meter. Untuk koang berukuran 1,5 meter, ia memasang banderol Rp 85.000, sedangkan untuk ukuran 3 meter dihargai Rp 300.000.
Selain koang, Abduh juga menerima pesanan untuk layangan orang. Beberapa layangan orang yang ia pajang menyerupai karakter Si Pitung dan Kapten Amerika.
Abduh membuat layang-layang secara otodidak. Sejak SD, ia memang sudah hobi menerbangkan layang-layang koang. Karena kegiatan perkuliahannya masih dilakukan secara daring, ia memanfaatkan waktu senggang untuk membuat layang-layang.
Menurut Abduh, satu-satunya tempat yang masih layak baginya untuk menerbangkan layang-layang adalah TPU Tanah Kusir, Kebayoran Lama. ”Tapi kalau sore pasti penuh. Anak-anak, anak muda, dan orang tua berkumpul jadi satu,” ucapnya.