Solidaritas Perupa
Di tengah kemutakhiran teknologi, pandemi Covid-19 tak kunjung mereda. Optimisme, kewarasan, dan daya juang masyarakat terus dijaga.
Di tengah kemutakhiran teknologi, pandemi Covid-19 tak kunjung mereda. Optimisme, kewarasan, dan daya juang masyarakat terus dijaga. Tiga hal inilah yang ingin digapai lewat pameran daring Solidaritas Perupa Indonesia Lawan Corona.
Perupa Farhan Siki (49), kelahiran Lamongan, Jawa Timur, yang juga kerap tinggal di Milan, Italia, menggenapi niatan itu. Ia menampilkan lukisan ”Sign of Go Ahead” (2020).
Di atas media kanvas berukuran 120 cm x 110 cm, Farhan membubuhkan teks di sela beragam simbol aktivitas manusia. Terbaca teks itu secara berurutan, ”kembali bekerja”, ”new norms”, ”jaga jarak aman”, ”pray & work”, ”bersama lawan corona”, dan tulisan ”Covid-19” yang dicoret. Melalui karya itu, Farhan menebar optimisme melawan Covid-19.
Yogi Darma Putra Setiawan (20), fotografer kelahiran Denpasar, Bali, menampilkan karya foto ”New Normal”. Obyek utamanya seorang pemuda mengenakan masker di antara kerumunan orang tanpa masker di pasar. Melalui bahasa visual foto, Yogi mengingatkan agar orang-orang tetap mengenakan masker di tengah pandemi yang belum usai ini.
Pematung keramik Ponimin (55) dengan lugas menyuguhkan karya patung berjudul, ”Pertarungan Pasukan Corona dengan Cinta”. Lewat figur-figur patung keramik, daya juang perlawanan masyarakat terhadap Covid-19 dipotret Ponimin. Cinta bakal mengalahkan Covid-19! Ini sekelumit kisah karya dari pameran ini.
Pameran daring Solidaritas Perupa Indonesia Lawan Corona dirilis Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jumat (17/7/2020). Sebanyak 75 karya dari 75 perupa ditampilkan di laman www.bumbungbudaya.id selama tiga bulan ke depan, juga melalui kanal Youtube Budaya Maju.
Para kurator meliputi Farah Wardani, Rifky Effendy, dan Sudjud Dartanto. Karya 75 perupa ini merupakan hasil seleksi terhadap 817 pendaftar.
Catatan kuratorial menggarisbawahi masyarakat yang sedang dilanda pesimisme dalam skala cukup luas akibat pandemi Covid-19. Berbagai narasi yang spekulasi dikhawatirkan menurunkan kewarasan dan daya juang hidup masyarakat.
”Pandemi Covid-19 menjadi ironi. Bagaimana dunia modern, yang tengah merayakan kemutakhiran di berbagai hal, tiba-tiba harus lumpuh oleh virus yang tidak tampak ini,” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid dalam sambutan pameran itu.
Pelaku seni, lanjut Hilmar, dalam hal ini para perupa, dapat mengambil peran. Tidak hanya aksi jangka pendek, tetapi juga diperlukan praktik kebudayaan masa depan yang berakar pada kehidupan nyata. ”Kami mendukung ekspresi budaya dengan memunculkan inovasi dan inisiatif baru,” ujar Hilmar.
Untuk memantik ide kreatif, perupa diberi acuan dalam melihat aspek interpretasi terhadap warisan budaya dan cagar budaya. Namun, karya-karya para perupa yang terpilih tidak serta-merta mengambil bentuk dari warisan budaya atau cagar budaya. ”Para perupa tidak ingin terjebak untuk menjadi ilustrator warisan budaya atau cagar budaya,” ujar kurator Sudjud Dartanto.
Berdialog
Selain menjaga optimisme, kewarasan, dan daya juang di tengah pandemi Covid-19, karya para perupa merealisasikan keanekaragaman budaya yang bergerak, berdialog, bukan keanekaragaman budaya yang terdiam. Demikian Sudjud menyebutnya.
Karya video seni berjudul Bangkit & Berkaryalah oleh Ki Mujar Sangkerta (54)-Wayang Milehnium Wae menjadi contoh. Pria kelahiran Jember, Jawa Timur, yang menetap di Yogyakarta itu mengambil unsur bentuk seni tradisi wayang kulit untuk seni performans.
Salah satu adegan gunungan wayang kulit, misalnya, tidak lagi dimainkan di sebuah layar kain putih. Tetapi, Ki Mujar memainkan di dalam gerak seni performans.
”Ki Mujar mengolah dan menginovasi unsur bentuk seni tradisi menjadi sebuah karya seni kontemporer. Selain itu, Ki Mujar berhasil menghidupkan sebuah komunitas seni,” tutur Sudjud, yang mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Wayang Milehnium Wae disematkan untuk nama bentuk wayang yang dibuat Ki Mujar bersama komunitasnya. Figur yang ditampilkan menyesuaikan narasi yang ingin dibangun, misalnya wayang dalam bentuk burung Garuda Pancasila. ”Wayang sebagai penyambung interaksi seni ke akar rumput,” ujar Sudjud.
Perupa Yohanes Soubirius De Santo (32), kelahiran Singaraja, Bali, memantik isu keanekaragaman budaya melalui karya berjudul, ”Ringkasan Injil” (2020). Ia menuangkan torehan di atas daun-daun lontar yang dibentuk menjadi panel 140 cm x 35 cm. Karya ini, dikatakan Sudjud, sebagai kasus menarik dalam konsep keanekaragaman budaya yang tidak terdiam, tetapi bergerak dan berdialog. Ada tawaran interaksi dengan suatu identitas.
”Kebudayaan itu proses sintesis. Orang berkebudayaan akan terbuka dan mau berinteraksi dengan orang lain,” kata Sudjud, seraya menambahkan situasi pandemi Covid-19 akan melahirkan interaksi di dalam kompleksitas budaya.
Seni rupa salah satu pembuka interaksi. Di situ seni memiliki fungsi memberi visi ke depan, bukan solusi praktis. Visi inilah yang kemudian menjadi modal keanekaragaman imajinasi.
Karya Yohanes Soubirius menampakkan visi pengalaman spiritualitas, pengalaman beridentitas. Ini melawan arus formalisasi keyakinan. Di situ karya seni rupa bukan sekadar melahirkan pengetahuan, melainkan juga gairah.
”Gairah itu sesuatu yang ada, tetapi tidak mau dinamakan di dalam wilayah kebahasaan. Seniman mampu melihat itu,” tutur Sudjud. Seniman mengajak penikmat karyanya masuk ke dunia pengalaman yang tidak ternamakan.
Kode kultural
Bagi Sudjud, esensi lain yang penting di dalam pameran ini adalah melihat kehadiran para perupa bermain dengan kode-kode kultural. Pada karya Syam Terrajana (Syamsul Huda M Suhari, 38) asal Gorontalo, yang berjudul, ”Tak Pernah Kita Sebiru Ini” misalnya, terdapattumbukan kultur maritim dan agraris.
Sebuah sampan tidak lagi berada di hamparan lautan biru. Di bawah dek sampan tersisa sedikit warna biru. Selanjutnya, sampan itu berada di hamparan tanah berwarna coklat. ”Kultur maritim sudah mengalami perubahan menjadi kultur daratan. Karya ini sebetulnya mengingatkan supaya kita tidak memunggungi lautan,” kata Sudjud.
Pameran daring Solidaritas Perupa Indonesia Lawan Corona tidak menyuguhkan narasi spekulatif yang menyesatkan di tengah pandemi Covid-19. Ada tiga hal yang dijanjikan, yaitu menjaga optimisme, kewarasan, dan daya juang, semoga terwujud.