Sepeda, Oh Sepeda...
Tren bersepeda meledak lagi. Animo massal menimbulkan ekses, mulai dari banyak konsumen kehabisan sepeda impiannya, antrean di perakitan, hingga meroketnya harga.
Tren bersepeda meledak lagi. Animo massal menimbulkan ekses, mulai dari banyak konsumen kehabisan sepeda impiannya, antrean di perakitan, hingga meroketnya harga. Tak urung fenomena itu mengantar harapan baru demi lingkungan yang lebih baik dan cara hidup lebih sehat.
Ari Suratno tampak pucat. Pemilik toko dan bengkel Bronik Bike di Bekasi, Jawa Barat, itu baru kembali dari Tangerang Selatan, Banten. ”Habis ambil sepeda untuk diantar ke Depok (Jawa Barat), besok. Dirakit malam ini. Mungkin baru kelar tengah malam,” kata Ari, Jumat (17/7/2020).
Selepas Lebaran lalu, penjualan, perakitan, dan perbaikan sepeda melonjak. Ponsel Ari tak henti menerima panggilan dan pesan. Ia kewalahan. ”Dipaksa sampai kecapekan dan sakit. Saya tumbang dua minggu. Demam dan flu. Sekarang masih kliyengan,” ucapnya.
Di Bronik Bike, dua karyawan sibuk memasang jari-jari, menginformasikan harga, dan mengganti suku cadang sepeda. Wajah mereka tak kalah kuyu. Sejak Bronik Bike buka pukul 10.00, konsumen keluar masuk silih berganti hingga tutup pukul 21.00.
Sebelum pandemi, Ari melego sekitar 20 sepeda per bulan. Saat ini, dua hingga tiga sepeda bisa terjual dalam sehari saja. ”Lari sana lari sini ambil suku cadang. Pemilik toko dan teknisi lain juga begitu. Malah, ada yang kena tifus,” ujarnya.
Di STC Senayan, Jakarta, keramaian makin kentara. Meski pada hari kerja, toko-toko dipadati pembeli. Beberapa pengunjung berlalu setelah sepeda yang diidamkannya tak tersedia. Andyono Putranto hilir mudik melayani pembeli. ”Ada peningkatan penjualan, tetapi saya rasa semua toko begitu,” ujar Kepala Bagian Operasional Deltacycles itu meski ia enggan menyebutkan angkanya.
Penjualan sepeda melejit. Kereta angin itu lantas memenuhi ruang-ruang publik sejak pagi hingga malam. Selepas pelonggaran pembatasan sosial, pekerja mulai mengeluarkan sepedanya dari gudang dan menjejak aspal untuk digunakan ke kantor.
Senang bersepeda
Setelah lebih dari empat bulan bekerja di rumah, Fredy (38) harus bersiap ke kantor lagi. Penasihat Program Pengurangan Risiko Bencana Save The Children Indonesia itu bersepeda 24 kilometer dari Tangerang Selatan, Banten, ke Mampang Prapatan, Jakarta.
Begitu pula Sukma Kurniawan (46) senang bersepeda dua bulan terakhir. Sebelumnya, warga Depok, Jabar, itu tak banyak bergerak selama 2,5 bulan. Ia tinggal di rumah untuk menekan penularan Covid-19. Pengalaman dikurung yang amat rentan stres terbayar dengan bersepeda.
Minat bersepeda yang menggila tak ayal membubungkan harga hingga tak masuk akal. Harga sepeda bekas produk tertentu bahkan bisa lebih mahal dua hingga tiga kali lipat dibandingkan saat dibeli. Walhasil, bagi sebagian pemilik, bersepeda tak lagi aman.
”Saya beli Brompton harganya Rp 25 juta. Sekarang, bekas saja bisa Rp 70 juta,” kata Vemila Maharani (43) yang tak bisa menutupi kejengkelannya.
Warga Tebet, Jakarta, itu merasa tidak sreg Brompton dianggap sepeda satu-satunya simbol prestise kalangan berada. Harga sepeda balap tertentu bisa mencapai tiga digit.
Seconda Febri (43) kadang waswas jika mengayuh Brompton. Warga Lebak Bulus, Jakarta, ini menganggap citra sepeda itu dilebih-lebihkan. ”Saya pakai Brompton karena praktis. Tapi gara-gara penyelundupan Brompton lewat pesawat dulu, orang tahu harganya. Banyak pengguna Brompton takut dirampas,” katanya.
Pendiri Brompton Owners Group Indonesia (BOGI) Baron Martanegara membenarkan harga sepeda tersebut yang sudah digoreng. ”Orang supaya bugar naik sepeda. Stok di toko ludes. Ada, tapi dijual lewat internet, lalu spekulan bermain. Jadilah pembeli yang pintar. Harga belum normal. Sabar saja,” katanya.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia Eko Wibowo Utomo, penjualan sepeda saat ini naik 300-400 persen dari kondisi normal. ”Saya tak bisa menyebutkan angka karena menyangkut laporan pabrik dan importir, tetapi stok di toko dua bulan ke depan bisa saja sudah habis,” katanya.
Pendiri dan Humas Indonesia Folding Bike Community Azwar Hadi Kusuma mengungkapkan, melambungnya jumlah pengguna sepeda tak sekadar direspons dengan kegembiraan. ”Kami selalu ingatkan bersepeda secara SMART. Pertama, S, itu sendiri atau small group (grup kecil) saja jika bersepeda,” katanya.
Lantas, M adalah masker dan menjaga jarak. Pesepeda juga harus memperhatikan A atau arm (lengan). Pakailah baju lengan panjang, demikian pula dengan celananya, dan sarung tangan. Perhatikan pula R atau rute. ”Jangan lewat jalur ramai. Terakhir, T atau timing (waktu) diimplementasikan dengan bersepeda pagi-pagi sekali,” katanya.
Pemprov DKI Jakarta juga telah melakukan upaya preventif dengan memindahkan atau meniadakan kawasan khusus pesepeda jika diperlukan. ”Kawasan itu pada Minggu, 12 Juli 2020, misalnya, dilaksanakan di 30 lokasi,” ujar Edy Sufaat, Kepala Bidang Pengendalian dan Operasional Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Di dua lokasi lain terdapat wilayah pembatasan ketat berskala lokal, yaitu di Jalan Amir Hamzah, Jakarta Pusat, dan Jalan Kelapa Hybrida, Jakarta Utara. ”Kalau tanggal 19 Juli 2020 akan disesuaikan perkembangan wilayah terkait penyebaran Covid-19,” ucapnya.
Ramah lingkungan
Euforia bersepeda di masa pandemi dinilai bisa menjadi momentum kembali menggaungkan kampanye transportasi ramah lingkungan. ”Persoalan besarnya polusi udara, kemacetan, dan kecelakaan lalu lintas,” kata Ketua Komunitas Bike to Work Indonesia Poetoet Soedarjanto.
Komunitas itu mengadakan survei di hampir semua provinsi dengan responden sekitar 14.000 orang. Hasilnya, 43 persen responden bersepeda untuk mobilitas dan olahraga, selebihnya untuk olahraga saja.
Energi dari euforia ini positif asal tak berhenti untuk rekreasi di masa pandemi. Sudah ada perkembangan baik, seperti DKI Jakarta membuka 63 kilometer jalur sepeda tahun lalu. ”Ini jadi momen tepat mendorong kebijakan transportasi hijau,” lanjutnya.
Majalah Time edisi akhir Juni 2020 lewat artikelnya ”The Paris Plan” memaparkan langkah intensif Pemerintah Kota Paris, Perancis, selama masa pandemi untuk mengampanyekan pengurangan kendaraan bermotor dengan sepeda. Sepeda diperlakukan sebagai sarana transportasi ramah lingkungan, bukan klangenan semata.
”Kita telah melihat lewat Covid-19 bahwa jalur-jalur baru bisa diwujudkan,” kata Carlos Moreno, konsultan wali kota Paris.
Menurut spesialis kedokteran olahraga Slim + Health Sports Therapy Michael Triangto, masyarakat yang berolahraga tak hanya perlu menerapkan protokol kesehatan. Tak kalah penting, kondisi fisik seseorang. Jika punya gangguan pernapasan misalnya, tanpa masker pun orang sudah susah bernapas. Seandainya tak bisa pakai masker, masyarakat bisa berolahraga di rumah.
”Jika bersepeda, paling penting sehatnya, bukan sepedanya,” kata Michael.