Kaya Tanpa Jejak
Narasi pada ranah kesenian kita melimpah ruah. Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman budaya, kesenian kita kaya meski sebagian besar tanpa jejak arsip.
Narasi pada ranah kesenian kita melimpah ruah. Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman budaya, kesenian kita kaya meski sebagian besar tanpa jejak arsip.
Di seputar itulah perbincangan bertajuk ”Apa Kabar Arsip Seni?” digelar oleh komunitas Sahabat Seni Nusantara secara virtual, Selasa (14/7/2020). Mereka ingin membangun kesadaran pengarsipan, karena kini dunia makin mengandalkan big data atau megadata untuk semua subsektor.
Ada harapan bagi pemerintah untuk meretas jalan pengarsipan seni yang baik dan benar. Berbagai upaya pengarsipan seni sudah ditempuh secara individual maupun berkelompok oleh masyarakat.
Pemerintah tidak perlu mengakuisisi koleksi arsip milik masyarakat. Akan tetapi, bisa mengembangkan interkoneksi data arsip dan mengembangkan sistematika lembaga pengarsipan seni yang berorientasi melayani kebutuhan publik.
Sejauh ini, cukup banyak perhatian negara untuk mengerjakan pengarsipan seni melalui berbagai proyek digitalisasi. Namun, hasil proyek digitalisasi masih dipertanyakan untuk bisa diakses seluas-luasnya oleh publik.
Masa pandemi Covid-19 adalah momentum untuk bergerak. Komunitas Sahabat Seni Nusantara merekomendasikan agar di masa pandemi ini pemerintah bersama masyarakat memanfaatkan waktu untuk berbenah soal pengarsipan seni.
Protokol kesehatan untuk normal baru di masa pandemi Covid-19 mengurangi intensitas kegiatan atau peristiwa seni. Energi untuk itu bisa dialihkan untuk membenahi pengarsipan seni.
Arsip seni rupa
Sebuah salinan digital arsip katalog pameran lukisan di Batavia Kunstkring tahun 1938 ditunjukkan Farah Wardani. Pendiri lembaga arsip seni rupa Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di Yogyakarta ini mendapati katalog asli pameran itu dari sebuah museum di Belanda.
”Dari katalog itu bisa diketahui karya lukisan Sudjojono berjudul ’Anak-anak dan Kucing’, dengan media pastel di atas kanvas pernah dipamerkan di Batavia Kunstkring di tahun 1938,” tutur Farah.
Arsip ini memiliki arti penting. Batavia Kunstkring merupakan bangunan dan lembaga seni kolonial Hindia Belanda yang diresmikan pada tahun 1914. Tempat itu menjadi ajang pameran khusus karya seni yang dihasilkan orang Belanda atau Eropa.
Karya seni dari Bali yang masih dianggap sebagai etnografis memang juga pernah dipamerkan pada masa itu. Sudjojono (1913-1985) dimungkinkan sebagai warga bumiputra pertama yang bisa memamerkan lukisannya di Batavia Kunstkring saat dia menginjak usia 25 tahun pada 1938 itu.
”Sekarang menjadi misi hidup saya untuk menemukan kembali lukisan Sudjojono ini,” ucap Farah. Lukisan itu menjadi sampul depan katalog pameran. Pameran yang digelar merupakan pameran bersama para pelukis Hindia Belanda.
Dari Belanda, Farah juga mendapati sebuah majalah yang memuat artikel tentang pameran pada masa itu. Pameran lukisan karya Sudjojono tahun 1938 ternyata hampir bersamaan dengan pameran lukisan di Batavia Kunstkring yang menampilkan karya-karya maestro Pablo Picasso, Vincent van Gogh, Paul Gauguin, Marc Chagall, dan sebagainya.
Artikel majalah itu menempatkan ilustrasi lukisan Marc Chagall di bagian atas. Lukisan”Anak-anak dan Kucing” karya Sudjojono di bagian bawahnya.
Tidak mudah menemukan arsip seni rupa seperti itu di Tanah Air. Apalagi untuk melihat arsip yang bisa menuturkan latar belakang penciptaan atau gagasan yang muncul dari Sudjojono pada masa itu. Ini hampir mustahil.
Mengenal pengarsipan, menurut Farah, juga harus mengenali tiga identitas arsip sebagai benda, konten, dan sistem. Kemudian mengenali dua bentuk sebagai arsip primer dan sekunder. ”Kerap kali arsip primer sudah hancur atau hilang. Di sinilah arsip sekunder bisa dimanfaatkan,” kata Farah.
Kisah lain dituturkan narasumber Bonnie Triyana. Bonnie adalah sejarawan pendiri Historia.ID yang menerbitkan majalah sejarah populer Historia dan ia dikenal sebagai perintis Museum Multatuli di tanah kelahirannya, Rangkasbitung, Lebak, Banten.
”Suatu ketika di Nijmegen, Belanda, saya menjumpai lukisan ’Maria Assumpta’ karya Basoeki Abdullah disimpan di sebuah gudang bawah tanah,” kata Bonnie.
Setelah kembali ke Tanah Air, Bonnie pun meriset arsip tentang lukisan itu. Baginya, riset sejarah seni rupa itu menarik, tetapi sangat sulit untuk mendapatkan data arsip yang dibutuhkan.
Berbeda dengan pengalaman selama berada di Belanda, lanjutnya, negara itu berhasil menyusun sistematika arsip dengan baik. Pemerintahnya justru mendorong pemanfaatan arsip yang dimiliki, termasuk arsip tentang keindonesiaan.
Mencatat dan menyimpan
Menurut Bonnie, ada dua hal paling mendasar untuk pengarsipan, yaitu dengan memiliki tradisi mencatat dan menyimpan. Tradisi ini masih sulit ditemui di Tanah Air. Bahkan, yang ada cenderung tradisi menghapus suatu peristiwa yang pernah berlangsung.
Sebagai sejarawan, Bonnie pernah meriset kejadian Gerakan 30 September 1965 pada periode tahun 2001-2002. Ia menjumpai banyak korban kejadian itu yang menuangkan memori atau ingatannya ke dalam berbagai media, seperti menjadi gambar, lukisan, atau tulisan. Sayangnya, ini belum cukup memadai diarsipkan.
Narasumber berikutnya, Berto Tukan, seorang penulis dan peneliti seni, mengatakan, dirinya memiliki pengalaman menjadi pemulung arsip. Maksudnya, ia memulung atau memungut arsip terutama di bidang seni dari satu tempat ke tempat lain, kemudian memanfaatkannya sebagai bahan riset dan penulisannya. Itu dimungkinkan karena kesadaran pengarsipan seni yang masih rendah. Sesuatu yang semestinya bisa diarsipkan kerap diabaikan begitu saja.
Pengarsip seni musik David Tarigan hadir pula dalam perbincangan itu. Bersama beberapa rekannya, David menyusun situs jaringan pengarsipan seni musik populer Indonesia di internet. Situs itu diberi nama Irama Nusantara, mengarsipkan lagu lama yang berkembang di Indonesia sejak sekitar tahun 1910 sampai 1980.
Masih banyak lagi lembaga pengarsip di bidang seni lainnya. Seperti Pusat Dokumentasi HB Jassin yang mengarsipkan perkembangan sastra di Indonesia. Selebihnya, kemungkinan lembaga perpustakaan pusat dan daerah juga melakukan pengarsipan.
Jejak pengarsipan seni di mana-mana sudah tampak. Pemerintah mempunyai peluang untuk mengembangkan sistematika terintegrasi untuk penelusuran data dan kemudahan akses. Kini tinggal memompa kemauan agar negara pun turut hadir dalam pengarsipan seni dengan baik dan benar.