Eskapisme Kayuhan Kereta Angin
Mereka menganggap normal baru sama dengan sepenuhnya normal. Risiko pun dianggap hilang sehingga warga keluar rumah dengan bebas. Bersepedalah dengan aman menuruti protokol selama pandemi.
‘Terkurung’ selama berbulan-bulan di rumah karena pandemi Covid-19 membuat warga disergap kejenuhan. Saat keran new normal dibuka, mereka menemukan eskapisme dalam kayuhan kereta angin, menjelajahi jalur-jalur yang menggoda adrenalin, hingga tak hirau protokol kesehatan. Di tengah pandemi, sikap abai sungguh berbahaya.
Menggunakan sepeda MTB tipe cross country, Penasehat Program Pengurangan Risiko Bencana Save The Children Indonesia, Fredy (38) biasa menjelajah rute-rute yang jarang dilalui pesepeda. Namun, dengan makin tingginya minat bersepeda di masa pandemi, jalur-jalur favoritnya itu banyak yang tiba-tiba menjadi ekstra ramai.
Salah satunya jalur sepanjang Sungai Cisadane hingga menyeberangi sungai dengan perahu gethek. Di jalur yang dulunya sepi itu, kini ia kerap berpapasan dengan rombongan pesepeda lain.
“Dua minggu lalu saya pergi sendiri ke jalur Cisadane sudah ramai sekali dan jadi tempat nongkrong pesepeda. Ada ratusan pesepeda yang saya temui,” kata Fredy.
Demi alasan keamanan dan kesehatan, ia memilih memperlambat laju kayuh sepedanya agar memiliki jarak aman atau sebaliknya, ‘ngebut’ memotong melebihi kecepatan rombongan pesepeda lain. Ia pun lalu memutuskan hanya akan masuk jalur Cisadane tak lebih dari pukul 7.00 pagi dan selesai sebelum pukul 8.00. Selebihnya, ia bersepeda melintasi kampung-kampung atau jalur sepi saja.
Ledakan pesepeda pun mencengangkan Seno Dwi Sasongko (43). Trek tanah dan berumput hingga jalan protokol semakin riuh pesepeda. “Pehobi bersepeda terus bertambah. Senang, tapi waswas,” ujar pesepeda sejak tahun 2006 yang menggemari trek-trek seperti Rindu Alam, Gadog, dan Gunung Putri di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini.
Ia menyebut beberapa jalur di Jakarta yang kini digemari pesepeda. Seperti jalan menuju Kota Tua dan Pantai Indah Kapuk. “Sekarang, ramai banget,” katanya. Para pegowes pemula yang menggunakan sepeda gunung, juga banyak yang melintas di jalan aspal.
Herpin Arbono (43) mengungkapkan kegundahan serupa demi menyaksikan sesaknya trek-trek sepeda. “Jalur Pipa Gas dan Lengkong Gudang Timur (Kota Tangerang) yang biasa lengang, sekarang padat,” katanya.
Berbagai jalur idaman itu ramai sejak awal Juni 2020. Ia menyaksikan Lengkong Gudang Timur yang ramai dilewati pesepeda pada Jumat (18/7/2020). “Warung saja didatangi banyak pembeli, padahal hari kerja. Bagaimana akhir pekan? Gara-gara demam sepeda, banyak pesepeda baru yang wawasannya rendah,” ucapnya.
Mereka misalnya, tak melakukan pemanasan. Di beberapa lokasi, Jalur Pipa Gas cukup ekstrem. Helm, pakaian lengan panjang, dan sarung tangan pun tak dipakai. “Sejumlah pesepeda mau coba trek itu tapi enggak kira-kira. Buat pesepeda baru berbahaya. Bisa drop hingga mata berkunang-kunang,” ucapnya.
Trek di Pagedangan, Kabupaten Tangerang juga penuh sehingga tak lagi nyaman. Pesepeda baru umumnya tak mengeksplorasi jalur baru. Mereka mengetahui trek tersebut dari internet. Jika perlu, sepeda diangkut mobil menuju rute itu.
Di kawasan Senayan, Jakarta, pun sekarang ramai. Tak sedikit pesepeda yang mengedepankan gaya daripada olahraga. “Dampak lain, harga sepeda dan suku cadangnya sekarang menggila. Abal-abal sampai mahal habis,” kata Herpin.
Pehobi bersepeda sejak tahun 1993 itu mencontohkan harga seat post (penghubung bodi dengan sadel) seharga Rp 200 ribu yang menebus hingga Rp 1 juta. “Ini apa-apaan,” lontarnya.
Tutup Sementara
Tingginya minat pesepeda menjajal lintasan sepeda di Jalur Hutan Universitas Indonesia (UI) Bike Park di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, bahkan membuat pihak kampus menutup sementara jalur tersebut. Terutama di hari Minggu.
Ledakan pesepeda itu mencapai puncaknya tiga pekan lalu. Dari biasanya hanya dikunjungi 300 pesepeda gunung, pengunjungnya membeludak hingga lebih 900 orang.
Koordinator Komunitas ROAM (Rombongan Anak Mangkuk) yang bermitra dengan UI mengelola Jalur Hutan UI Bike Park, Adrian Bachrumsyah menyebut, tiba-tiba jalur yang dikhususkan bagi pesepeda gunung atau Mountain Bike (MTB) itu disesaki pesepeda lipat hingga road bike. Karena tak bisa memanfaatkan jalur khusus MTB, mereka lantas bersepeda di seputaran kampus dan menikmati pemandangan seperti danau UI.
“Beda banget dengan sebelum pandemi. Ini karena euforia mendadak olahraga dari anak kecil sampai orang tua ramai-ramai bersepeda. Di UI biasanya lebih tersegmentasi ke MTB yang lebih membutuhkan keterampilan khusus. Mereka hanya tahunya hutan UI itu bike park. Karena nggak bisa masuk track, mereka akhirnya bergerombol” ujar Adrian.
Demi memecah kerumunan, Komunitas ROAM UI tengah menyiapkan lintasan alternatif baru. “Bagaimana bisa menampung agar massa bisa pecah karena mereka pemain baru. Kita sedang bikin jalur dual cross. Hampir 90 persen jadi,” tambahnya.
Lokasi Jalur Hutan UI Bike Park juga dipersiapkan agar memenuhi ketentuan protokol aman Covid-19. Komunitas ROAM pun menyiapkan tim bersepeda untuk mengingatkan pesepeda agar menjaga jarak dan memakai masker.
Di sisi lain, ledakan pesepeda menjadi ladang rezeki ‘nomplok’. Selama pandemi Covid-19, Warung Mpok yang terletak di pintu masuk trek sepeda Jalur Pipa Gas (JPG) Tangerang Selatan, juga tak luput dari kunjungan para pesepeda. Malah tak hanya di akhir pekan, di hari-hari biasa pun Warung Mpok terlihat ramai. Maklum, JPG memang sangat popular sebagai salah satu jalur pesepeda.
Puluhan pesepeda beristirahat sambil menikmati ketan dan teh jahe gula merah yang jadi menu andalan. Umumnya mereka datang dalam rombongan-rombongan kecil. Beberapa mobil dengan sepeda di rak belakang juga terlihat parkir di halaman warung.
Anak pemilik warung, Muhaya (40) mengatakan, di hari-hari biasa sebelum pandemi biasanya hanya 10 pesepeda yang mampir. Di masa pandemi, setiap hari ada sedikitnya 50 pesepeda dan melonjak hingga 200-an orang di akhir pekan.
Tak semua pesepeda yang mampir ke Warung Mpok masuk ke jalur trek JPG, sebagian besar hanya singgah. Menikmati teh dan ketan sambil temu kangen dengan pesepeda lain.
Selama beristirahat di warung, banyak dari mereka tak mengenakan masker dan tak menjaga jarak satu sama lain. Beberapa terlihat mengenakan masker namun, tapi hanya digantung di dagu.
Di Lapangan Tanah Merah, Cipayung, Depok, Jawa Barat, pedagang-pedagang baru bermunculan. Nurfah salah satunya. Sejak dua bulan lalu, dagangannya berupa kopi dan jus ‘sachet’ di lapak sederhana di salah satu titik di Lapangan Tanah Merah, di kawasan Cipayung, Depok, Jawa Barat pun laris manis.
Selama PSBB, lapangan ini sempat ditutup karena dipadati warga dengan beragam aktivitas. Tak hanya bersepeda, namun juga bermain layangan atau sekadar duduk-duduk menikmati suasana dan keramaian. Setelah dibuka kembali, lapangan ini tetap menyedot antusisme warga.
“Ramai terus di sini. Paling ramai jam 17.00 -17.30,” tutur Nurfah. Di sore hari, pesepeda yang datang lebih banyak pesepeda remaja. Mereka sekadar bersepeda santai tanpa perlengkapan memadai, terutama masker.
“Pesepeda lebih banyak pagi hari. Datang dari mana-mana mereka. Terutama Sabtu dan Minggu. Kalau sore nggak terlalu banyak karena pada takut kena benang layangan,” kata Nurfah.
Bersepeda Aman
Menurut ahli epidemiologi UI, Pandu Riono, aktivitas olahraga di ruangan terbuka, termasuk bersepeda sebenarnya relatif aman dilakukan. Bila ada matahari, virus akan mati karena ada ultraviolet.
Tapi, kembali lagi, protokol kesehatan tetap harus dipatuhi. “Bersepeda bagus. Ramai-ramai juga boleh, tapi jangan ngobrol. Kalau jauh ya pakai masker,” katanya.
Yang jelas, tutur Pandu, bersepeda harus diniatkan untuk olah raga. “Kalau sudah kongkow, reuni, ngumpul-ngumpul suka membuat lupa,” kata Pandu.
Trek yang padat, selain mencuatkan ketidaknyamanan, juga meresahkan dengan risiko penularan Covid-19. Persepsi masyarakat soal normal baru yang masih keliru ditegaskan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Hariadi Wibisono.
“Saya tak bisa berpendapat spesifik untuk mereka yang bersepeda. Soalnya tak hanya pesepeda, warga yang berkumpul, berperilaku sudah seperti sebelum pandemi,” katanya.
Mereka menganggap normal baru sama dengan sepenuhnya normal. Risiko pun dianggap hilang sehingga warga keluar rumah dengan bebas. “Kalau seperti itu, kasusnya pasti bertambah. Prinsip dilanggar. Transmisi terjadi. Jumlah kasus meningkat,” ujarnya.
Banyak warga menjalani aktivitas sehari-hari seolah Covid-19 sudah musnah. Tujuan wisata, hari bebas kendaraan bermotor, dan pasar penuh.
“Bersepeda tak dilarang. Tokoh masyarakat juga harus didekati. Sudahkah langkah itu dilakukan pada komunitas pesepeda. Bersepedalah dengan aman,” katanya.
Bukan berarti masyarakat tak boleh berolahraga. Mereka dipersilakan beraktivitas dengan menerapkan protokol kesehatan. “Jaga jarak, pakai masker, sering cuci tangan,” katanya.
Menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) pun, kata Hariadi, pelonggaran harus dikaji. Jika hendak beraktivitas, protokol kesehatan harus diterapkan dan perlu dipantau. “Bila tak seperti yang diharapkan, jangan ragu kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar,” ujarnya.
Nah lho!