Mendidik dan mengasuh anak dalam kondisi normal sudah menjadi suatu tantangan. Situasi baru akibat pandemi memberi tantangan baru yang lebih berat bagi orangtua.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam skala rumah tangga, dampak pandemi Covid-19 umumnya ditanggung oleh orangtua. Ada yang mendadak kehilangan pekerjaan, ada yang harus beralih bekerja di rumah sambil mengasuh anak-anak yang butuh perhatian, ada pula yang kelimpungan mencari cara agar anak betah di rumah. Walau tidak mudah, orangtua bersiasat agar tetap produktif dan waras hingga pandemi reda.
Studi American Psychological Association (APA) menunjukkan, level stres rata-rata bagi orang dewasa di Amerika Serikat terkait Covid-19 adalah 5,9. Level stres dinilai dari angka 1-10. Semakin kecil angkanya, semakin kecil pula level stresnya.
Studi dilakukan terhadap 3.031 penduduk AS berusia di atas 18 tahun. Studi berlangsung pada 24 April-4 Mei 2020 dan dipublikasi dengan judul ”Stress in the Time of Covid-19”.
Studi yang sama menunjukkan bahwa 46 persen orangtua dengan anak berusia di bawah 18 tahun mengalami stres. Level stresnya berada di angka 8-10. Adapun level stres yang sama dialami oleh 28 persen orang dewasa yang tidak memiliki anak.
APA mendeteksi faktor-faktor stres bagi orangtua selama pandemi. Beberapa di antaranya ialah khawatir anggota keluarga terinfeksi Covid-19 (74 persen), perubahan rutinitas (74 persen), mengelola pembelajaran jarak jauh untuk anak (71 persen), isolasi mandiri (67 persen), dan ketinggalan momen-momen penting akibat pandemi (63 persen).
Survei kedua APA dilaksanakan pada 21 Mei-3 Juni 2020 terhadap 2.058 penduduk AS berusia di atas 18 tahun. Hasilnya, 71 persen orangtua khawatir akan dampak pandemi terhadap perkembangan sosial anak-anak. Sebanyak 60 persen orangtua juga mengaku kesulitan menjaga anak karena sibuk.
”Burnout”
Kondisi tersebut membuat orangtua rentan mengalami burnout atau stres. Kondisi itu juga membuat seseorang merasa kelelahan secara fisik dan mental. Psikolog Mira Amir mengatakan, kondisi tersebut dialami oleh sejumlah orangtua yang memiliki anak, khususnya selama pandemi.
”Ini terjadi ke orangtua yang memiliki anak di segala rentang usia, dari TK hingga SMA. Anak-anak punya kesibukan sendiri-sendiri di rumah, begitu pula dengan orangtua. Hal ini membuat orangtua stres dan mengalami burnout,” kata Mira saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (17/7/2020).
Imbauan untuk diam di rumah membuat orangtua dan anak bertatap muka selama 24 jam di rumah yang sama. Akibatnya, setiap anggota keluarga rentan kehilangan waktu untuk diri sendiri (me time). Hal itu umumnya ditemui di permukiman padat penduduk. Kurangnya privasi dan waktu pribadi bisa jadi sumber stres.
Menurut Mira, waktu dan ruang pribadi penting untuk pengembangan diri. Hal itu juga penting untuk menghayati dan merasakan emosi yang dirasakan individu. Mengambil jeda, lanjut Mira, krusial untuk kesehatan mental manusia produktif.
Survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terhadap lebih dari 20.000 keluarga di Indonesia menyatakan 95 persen keluarga mengalami stres akibat pandemi dan pembatasan sosial. Survei ini diadakan pada April-Mei 2020.
”Masyarakat merasa stres, sedih, cemas, mengalami kesulitan tidur, memengaruhi nafsu makan, menimbulkan rasa putus asa, hingga ada yang punya pikiran bunuh diri,” kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN M Yani (Kompas, 15/5/2020).
Manajemen waktu
Untuk mengatasinya, orangtua perlu membuat kesepakatan dengan anak perihal manajemen waktu. Kesepakatan ini juga mencakup peraturan yang harus ditaati bersama.
”Misalnya, orangtua punya jadwal rapat virtual pukul 10 pagi. Maka, anak-anak harus diurus sebelum rapat dimulai. Saat orangtua bekerja dan anak sekolah, keduanya harus menghargai privasi satu sama lain. Baik orangtua maupun anak tidak boleh saling mengganggu,” kata Mira.
Ia juga menyarankan agar orangtua menyempatkan diri bermain dengan anak selama 15-30 menit. Kegiatan ini dilakukan minimal dua kali dalam sehari. Saat itu, orangtua dan anak bisa melakukan hal yang disukai anak, seperti bermain bola, memasak, dan menggambar.
”Kegiatan ini juga harus dievaluasi untuk memantau kondisi emosional anak. Jangan sampai anak tidak bahagia, lalu ’meledak’. Orangtua juga perlu mengajak anak membuat rencana kegiatan untuk besok,” kata Mira.
Chief Marketing Officer Sun Life Shierly Ge dalam siaran langsung Instagram di akun @sunlife_id mengatakan, pola kerja dan sistem sekolah anak yang baru menjadi tantangan. Ia sudah kembali bekerja di kantor, tetapi masih harus mendampingi salah satu anaknya belajar dari rumah.
”Rentang atensi anak cukup pendek, terlebih ketika mereka belajar tanpa pengawasan. Sebisa mungkin anak didampingi. Jika saya akan berangkat ke kantor, anak pasti akan dikasih tahu dulu (untuk belajar dengan benar),” kata Shierly.
Menurut dia, orangtua tidak perlu terlalu khawatir dengan perubahan sistem sekolah. Sebab, anak-anak mudah beradaptasi dengan perubahan teknologi. Adaptasi anak tersebut sebaiknya disertai dengan didikan tegas (tough love) sejak kecil.
”Tough love parenting buat kami ialah memberi anak-anak kebebasan dan ruang untuk bereksplorasi dengan sejumlah batasan. Kami mengimbangi perilaku disiplin dengan kehangatan. Pola asuh ini tidak dijalani sendiri, melainkan bersama suami,” katanya.