Kesenjangan generasi sering kali menjadi tantangan dalam membangun komunikasi. Untuk itu, perlu sikap respek antargenerasi dalam menyampaikan pesan sehingga komunikasi bisa dibangun dengan baik.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesenjangan generasi di dalam dunia kerja dinilai menjadi tantangan saat membangun komunikasi. Untuk itu, diperlukan respek dalam berkomunikasi yang menjembatani perbedaan karakter antargenerasi.
Fasilitator sekaligus salah satu pendiri dan komisaris TALKinc, Becky Tumewu, menyampaikan, setidaknya ada empat generasi yang saat ini berada di dunia kerja. Menurut dia, setiap generasi memiliki karakter yang berbeda sehingga perlu strategi untuk membangun komunikasi.
Baby boomers, generasi yang lahir tahun 1946-1964, dinilai memiliki karakter yang taat aturan, optimistis, dan ingin selalu terlibat. Dalam dunia kerja, generasi ini dikenal memiliki jadwal yang teratur dan lebih banyak menghabiskan waktu di kantor.
”Dalam generasi ini kita mengenal orang-orang yang mendirikan perusahaan besar, salah satunya Bill Gates selaku pendiri Microsoft. Bisa kita lihat ada karakter kerja keras yang merupakan warisan dari orangtua di generasi tradisionalis,” ujar Becky dalam webinar Selasa (14/7/2020).
Pembahasan ini mengemuka dalam acara peluncuran dan diskusi buku Generation Gap(less) Seni Menjalin Relasi Antargenerasi. Buku ini ditulis oleh Becky bersama Erwin Parengkuan, pendiri, managing director, dan fasilitator di TALKinc.
Generasi berikutnya, kata Becky, yaitu generasi X yang lahir tahun 1965-1980 dengan salah satu tokoh yang dikenal, Sergey Brin, pendiri Google. Berbeda dengan sebelumnya, generasi X lebih fleksibel dan tidak suka diatur atau bisa dikatakan ”pembangkang”.
Orang-orang di generasi X lebih suka mengatur jadwal sendiri, membagi antara kerja dan keluarga. ”Pembagian kapan waktu untuk kerja, main, dan keluarga itu diatur sendiri oleh mereka,” ujar Becky.
Berbeda dengan mereka yang lahir di tahun 1981-1995 yang dikenal dengan generasi Y atau milenial. Dalam generasi ini, kita mengenal Mark Zuckerberg, pendiri Facebook.
Para milenial di dunia kerja dikenal sebagai orang yang ingin mengintegrasikan antara waktu kerja dan waktu main dengan istilah YOLO (you only live once) atau Anda hanya hidup sekali. Sisi positif dari generasi milenial adalah mereka peduli dengan persoalan kemanusiaan dan lingkungan sekitar.
Generasi keempat, yakni generasi Z, lahir pada tahun 1996-2000 yang memiliki karakter pragmatis dan realistis. Duta Perserikatan Bangsa-Bangsa termuda, Malala Yousafzai, dinilai mewakili generasi ini yang menyuarakan suara hak perempuan di wilayah konflik.
Bisa dikatakan, mereka pesimistis saat melihat keadaan dunia, tetapi dalam dirinya mereka sangat optimistis. Dalam dunia kerja, orang-orang yang tergolong generasi Z memiliki kecenderungan berupaya memiliki kehidupan yang seimbang, antara pekerjaan dan waktu bermain.
Jembatan
Erwin menyampaikan, keempat generasi inilah yang kita temui di dalam dunia kerja dengan karakternya masing-masing. Mereka semua berbeda dan yang paling ekstrem terjadi pada generasi milenial.
”Dahulu hanya ada dua sampai tiga generasi dalam sebuah organisasi. Semua orang di dalamnya cenderung tidak memiliki pembanding dan yang mereka lakukan adalah mengikuti jejak pendahulu mereka. Perbedaan pun menjadi tidak terlalu terasa,” kata Erwin.
Namun kini muncul masalah baru, yakni ketika dalam satu perusahaan bisa terdapat empat sampai lima generasi berbeda. Keadaan ini disebabkan oleh industri 4.0 yang kian maju dan berkembang, juga perkembangan teknologi yang bergerak cepat.
”Apabila tidak segera diantisipasi para pemimpin di puncak manajemen, bahaya besar akan mengancam keberlangsungan usaha. Sebab bisa terjadi kesalahpahaman yang sebenarnya tidak disengaja,” ujar Erwin.
Sebagai contoh, ada direktur utama perusahaan yang termasuk generasi baby boomer sedang berbicara dengan direktur yang termasuk generasi X. Pada saat bersamaan, karyawan yang tergolong generasi milenial datang tanpa menyapa kedua atasan.
Dalam benak milenial, ia tidak mau mengganggu obrolan antara direktur utama dengan direktur. ”Tapi dalam benak kedua direktur tersebut, anak milenial ini kurang ajar,” kata Erwin.
Untuk itulah, dibutuhkan jembatan yang khususnya menghubungkan antara generasi baby boomer dengan generasi milenial. Pada kondisi ini, generasi X dapat menjadi jembatan untuk menengahi kedua generasi yang hidup di era berbeda.
Generasi X dapat menjadi pengingat bagi generasi milenial untuk selalu mengucapkan salam, meminta masukan dan saran, berbicara secara sopan, serta mendengarkan masukan dari atasan. Sementara bagi generasi baby boomer, juga perlu diingatkan agar tidak cepat tersinggung dan mencoba untuk memberikan ruang bagi milenial untuk berkreasi.
Saat memberikan arahan bagi milenial juga jangan hanya memerintah tetapi coba untuk memberikan petunjuk. Saat berbicara, juga sebaiknya tidak terlalu panjang, fokus pada poin yang ingin disampaikan.
”Kami percaya setiap generasi istimewa dan memiliki keunikan masing-masing. Generasi baby boomers dan generasi X adalah pemegang jabatan penting di perusahaan saat ini, sedangkan generasi milenial ataupun generasi Z adalah pemilik masa depan. Maka, sikap respek adalah yang terpenting saat membangun komunikasi,” ujar Erwin.