Hidup Ini Sementara, Nikmat Gudegmu Abadi
Mbah Lindu, salah seorang penjual gudeg legendaris asal Yogyakarta, telah berpulang, Minggu (12/7/2020). Raganya memang telah pergi. Tetapi, jiwanya tetap hidup abadi dalam setiap porsi gudeg basah racikan khasnya.
Biyem Setyo Utomo, atau yang lebih tenar dikenal “Mbah Lindu”, memang telah berpulang dalam usia hampir 100 tahun, di Yogyakarta, Minggu (12/7/2020). Namun, gudeg basah racikannya tak akan pernah hilang. Kenikmatan dalam setiap suapan akan selalu abadi.
Mbah Lindu dimakamkan di tempat pemakaman umum Klebengan, sekitar 500 meter dari rumahnya di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY, Senin (13/7/2020) siang. Para tetangga, handai taulan, serta pelanggan gudeg di warung milik Mbah Lindu, banyak yang menghantar ke tempat peristirahatan terakhir.
Selepas pemakaman, Ratiyah (54), putri ketiga Mbah Lindu, duduk lesehan di ruang tengah. Ia mencoba tegar dari ucapan bela sungkawa saudara dan tetangga. Perlahan tangis pecah juga karena ia tak kuasa menahan kesedihan.
“Terima kasih untuk semua doa-doanya buat ibu (Mbah Lindu). Mohon dimaafkan atas kesalahan-kesalahan yang sempat dilakukan,” ujarnya lirih.
Baca juga: Mbah Lindu, Legenda Gudeg Yogyakarta Itu Berpulang
Racikan gudeg basah telah membesarkan nama Mbah Lindu. Ternyata, gudeg basah itu pula yang ikut mengantarkan kepulangannya. Para pelayat diminta ikut menyantap gudeg yang telah disajikan keluarga di ruangan lainnya. Lauknya beragam mulai dari ayam, tahu, hingga telur. Tak lupa sambal goreng krecek turut disediakan pula.
“Mungkin ini persembahan terakhir Mbah Lindu. Ini untuk menghormati para pelayat juga yang sudah datang. Biarpun sudah tidak bisa banyak beraktivitas, beberapa waktu lalu, Mbah Lindu selalu ingin ikut memasak. Minta ikut memotong cabai, memasukkan telur maupun ayam,” tutur Ratiyah.
Dalam video yang diunggah akun lumixindonesia, pada 25 Oktober 2017, di kanal Youtube, William Wongso, pakar kuliner Tanah Air, menyebut, Mbah Lindu sebagai penjual gudeg tertua di Yogyakarta. Dalam video itu pula, Mbah Lindu mengaku telah berjualan sejak masih berusia 13 tahun pada 1930-an.
“Listrik belum ada. Pesawat juga belum ada. Dulu ada orang jaga (penjajah) minta nasi gudeg, kalau enggak dikasih, mbah (saya) dikejar,” kata Mbah Lindu.
Selanjutnya, William menceritakan, Mbah Lindu turut mengenalkan gudeg ke orang-orang dari luar negeri. Semula, mereka yang menganggap gudeg kurang higienis karena disajikan langsung dengan tangan malah berbalik suka dan ketagihan. William juga kagum dengan semangat Mbah Lindu yang seolah tak pernah putus untuk terus memasak gudeg.
Meski telah berusia lebih dari 90 tahun, Mbah Lindu kerap memasang sendiri kayu bakar dan berhadapan dengan panas perapian saat memasak. William merasa miris dengan kondisi itu. Di sisi lain, William memaknai tindakan Mbah Lindu sebagai sebuah semangat seorang ibu yang tak pernah ingin berhenti berkarya tanpa merepotkan orang lain.
“Mbah ora kepengen ngrepoti anak putu (saya tidak ingin merepotkan anak cucu,” kata Mbah Lindu, dalam video berdurasi 8 menit itu.
Baca juga: Tantangan Gudeg Hadapi Pasar Milenial
Selain itu, William juga mengkhawatirkan gudeg Mbah Lindu tidak lagi diteruskan oleh generasi selanjutnya. Ia melihat dari banyaknya makanan tradisional yang hilang dari peredaran karena tak memiliki penerusnya.
Terkait hal itu, Ratiyah menyampaikan, cita rasa gudeg Mbah Lindu tidak akan pernah berubah. Pihaknya mengaku, tumbuh bersama dengan resep gedeg legendaris tersebut. Takaran bumbu dan proses memasaknya pun sudah hafal di luar kepala. Terlebih lagi, sejak 3-4 tahun terakhir, Ratiyah sendiri yang menggantikan ibunya berjualan. Sebelumnya, ia hanya mendampingi dan membantu ibunya berjualan.
“Keturunan Mbah Lindu juga hampir semuanya berjualan gudeg. Kalau dihitung, satu keluarga besar, ada lebih dari 20 orang yang ikut jejak Mbah Lindu. Laki-laki pun juga bisa memasak gudeg. Karena, kami tumbuh bersama gudeg,” kata Ratiyah.
Mbah Lindu mewarisi keahlian memasak dari ibunya. Ia merupakan generasi ketiga yang menjadi penjual gudeg di keluarganya. Ilmu mengolah makanan berbahan utama buah nangka itu pun terus berlanjut ke generasi berikutnya.
Makna kesetiaan
Butet Kertaradjasa (58), seniman teater, merupakan salah satu pelanggan tetap Mbah Lindu sejak lama. Kurang lebih sudah 20 tahun yang lalu pertama kali, ia mencecap rasa nikmatnya gudeg basah itu. Ia gemar makan gudeg basah langsung di lapak Mbah Lindu yang berlokasi di wilayah Sosrowijayan, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Namun, tidak jarang pula ia memesan gudeg kesukaannya itu lewat jasa ojek daring.
Baca juga: Berjualan Gudeg dengan Alat Pelindung Diri
“Gudeg Mbah Lindu kategorinya gudeg klasik. Jenisnya gudeg basah. Saya makannya pasti bubur gudeg dengan suwiran telur dan kulit krecek. Paling cocok dimakan panas-panas di warungnya,” kata Butet.
Ciri khas dari gudeg basah racikan Mbah Lindu adalah rasanya yang gurih. Tidak terlalu manis. Sambal goreng krecek yang dimasak dengan santan dan petai berpadu lezat dalam setiap suapannya. Seakan-akan semuanya bisa menyatu apik. Khususnya jika dilahap dengan bubur nasi yang lembut.
Kerap kali Butet dimintai rekomendasi tentang gudeg oleh teman-temannya dari luar Yogyakarta. Gudeg Mbah Lindu merupakan salah satu produk kuliner yang wajib ditawarkannya. Ini karena gudeg basah tersebut tidak hanya bicara tentang rasa. Tetapi, juga perjalanan panjang mempertahankan kekhasan citarasa selama sekitar 70 tahun.
“Ini soal kesetiaan dia (Mbah Lindu). Mengerjakan sesuatu sampai titik darah penghabisan. Konsisten melakukan ini. Dia seperti mengusung sejarah. Dia mewariskan sejarah gudeg kepada generasi lanjutnya,” kata Butet.
Konsistensi citarasa dari Gudeg Mbah Lindu tidak terlepas dari metode tradisional pengolahan gudeg yang tetap dipertahankan. Proses memasak masih menggunakan kayu bakar. Dapurnya juga masih berwujud bilik bambu. Letaknya persis di sebelah tempat tidur Mbah Lindu.
Ini soal kesetiaan dia (Mbah Lindu). Mengerjakan sesuatu sampai titik darah penghabisan. Konsisten melakukan ini. Dia seperti mengusung sejarah. Dia mewariskan sejarah gudeg kepada generasi lanjutnya. (Butet Kertaradjasa)
Tampak bilik bambu dari dapur itu telah berubah warna menjadi hitam pekat akibat kepulan asap. Kepekatan itu menunjukkan betapa seringnya dapur tersebut digunakan. Kepakatan itu sekaligus menjadi saksi masakan gudeg basah lezat yang telah memberikan kenangan indah bagi banyak orang.
Heddy Shri Ahimsa-Putra (66), Guru Besar Antropologi Budaya UGM, merupakan salah seorang yang juga mengakui keandalan Mbah Lindu mempertahankan citarasa gudeg basahnya. Sekitar 25 tahun lamanya menjadi pelanggan tetap, Gudeg Mbah Lindu membuatnya selalu ingin kembali.
“Rasanya konsisten. Itu yang membuat kita juga merasa ingin dan ingin lagi. Rasanya agak sulit dideskripsikan. Tapi, gurih areh dan kreceknya itu yang menurut saya menjadi kekhasannya,” kata Heddy.
Baca juga: Soimah Kangen Gudeg Manggar
Heddy menyampaikan, kekhasan lainnya adalah suasana perkampungan Yogyakarta di pagi hari yang bisa dinikmati sembari menyantap gudeg. Menurut dia, suasana itu sulit ditemukan di tempat lain. Gudeg Mbah Lindu, suara gesekan lidi warga yang menyapu jalan, samar-samar bunyi percakapan antartetangga warga sekitar, dan sejuknya udara pagi bagaikan satu kesatuan yang menambah sempurna momen melahap gudeg itu.
Dari Mbah Lindu, kita belajar ketekunan dan kesetiaan dalam mempertahankan citarasa gudeg basahnya. Raga Mbah Lindu telah tiada. Namun, jiwanya tetap hidup dalam setiap porsi gudeg yang diracik generasi penerusnya di lapak yang sama.