Sastra di Ruang Dengar
Sapaan ”pendengar yang budiman” seakan menjadi mesin waktu ke masa 30-40 tahun silam saat sandiwara radio masih merajai ruang keluarga.
Sapaan ”pendengar yang budiman” seakan menjadi mesin waktu ke masa 30-40 tahun silam saat sandiwara radio masih merajai ruang keluarga. Nada suara yang jadul, dengan efek sedikit bergaung, itu menyapa pendengar program Sandiwara Sastra yang disiarkan lewat siniar atau podcast Budaya Kita.
Sandiwara Sastra merupakan program alih wahana dari karya sastra, baik cerita pendek (cerpen) maupun novel, menjadi audio. Episode perdananya, Rabu (8/7/2020), menampilkan cerpen ”Mencari Herman” karya Dewi Lestari.
Layaknya pada sandiwara radio, setelah menyapa, suara pengantar memperkenalkan segenap kerabat kerja produksi, termasuk para pengisi suara. Penyanyi Widi Mulia sebagai narator, aktor Ario Bayu sebagai Si Abang, dan aktris Pevita Pearce sebagai Hera.
Mencari Herman mengisahkan tentang pencarian orang bernama Herman oleh Hera dibantu Si Abang. Kisah pencarian itu beriring dengan cerita perjalanan hidup Hera, gadis beranjak remaja yang tampak sempurna di mata Si Abang. Rupanya nasib tak sejalan dengan kesempurnaan itu.
”Bila engkau ingin satu, jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan.” Demikian ungkapan yang menjadi daging cerita tersebut.
Penyampaian narator berkelindan luwes dengan percakapan kedua pemeran. Bahasanya mengalir, tetapi tidak seperti percakapan sehari-hari. Ada nuansa sastrawi dalam percakapan Hera dan Si Abang.
Suara Ario Bayu yang tenang dan dalam bersambut suara Pevita yang serak-serak sedikit manja membuat pendengar larut dalam jalan ceritanya. Tragis, tetapi tidak memelas.
Tiga puluh menit berlalu tanpa terasa. Episode selanjutnya baru hadir sepekan kemudian.
Refleksi kehidupan
Selain ”Mencari Herman”, sudah lima karya sastra lain yang dialihwahanakan dalam program Sandiwara Sastra, yakni novel Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), cerpen ”Kemerdekaan” (Putu Wijaya), novel Helen dan Sukanta (Pidi Baiq), novel Lalita (Ayu Utami), dan cerpen ”Berita dari Kebayoran” (Pramoedya Ananta Toer).
Sebanyak empat karya sastra masih dalam proses alih wahana, yaitu cerpen ”Seribu Kunang-kunang di Manhattan” (Umar Kayam), cerpen ”Persekot” (Eka Kurniawan), novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), dan novel Orang-orang Oetimu (Felix K Nesi). Untuk novel, adaptasi dilakukan seturut karakter novelnya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk, misalnya, dialihwahanakan menjadi Catatan buat Emak (episode 2), Helen dan Sukanta menjadi Helen Menunggu di Amsterdam (episode 4); serta Lalita menjadi Perempuan Indigo (episode 5).
Sandiwara Sastra diinisasi oleh Happy Salma dari Titimangsa Foundation dan Yulia Evina Bhara dari KawanKawan Media selaku produser bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di kursi pengarah duduk aktor dan penulis Gunawan Maryanto.
”Saya mengutip seniman Putu Wijaya. Sastra adalah ekspresi yang berbasis bahasa, baik tulis, lisan, maupun isyarat yang merefleksikan kehidupan nyata dan maya. Karya sastra bukan hanya klangenan dan hiburan, melainkan juga pengembaraan spiritual yang memberi dampak konkret pada jiwa,” ujar Happy Salma saat konferensi pers peluncuran siniar Budaya Kita, Senin (6/7).
Dengan alih wahana dari teks menjadi audio, dia berharap bisa memberi spektrum yang lebih luas terhadap karya sastra. Terlebih kepekaan untuk mendengarkan bisa terbangun.
Yulia menambahkan, Sandiwara Sastra lahir pada momen yang tepat saat masa krisis tengah mendera setiap sendi kehidupan. ”Pada sastra, kita belajar tentang kemanusiaan dan solidaritas,” katanya.
Proses produksi cukup menantang. Akibat pandemi, pihak-pihak yang terlibat bekerja di tempat masing-masing yang berjauhan, bahkan lintas benua. Keterbatasan itu justru membuat mereka berpikir kreatif. ”Hal ini juga yang bisa kita pelajari dari sastra,” ujar Yulia, yang juga tumbuh bersama sandiwara radio di ruang keluarganya.
Sebagai sutradara, Gunawan Maryanto merasa harus berhati-hati dalam proses alih wahana. Dia berada di dua dunia tersebut, yakni kepenulisan dan keaktoran. ”Pertama, dari karya sastra menjadi teks. Ini sangat berisiko. Kedua, ketika teks bertemu aktor. Bagaimana teks itu dilisankan agar bisa hidup dalam suara. Aksentuasi aktor akan memberi dinamika pada tulisan yang ’mati’,” paparnya.
Kekuatan suara
Para pemeran dan sutradara bersama-sama menafsir teks dan mengkaji pengucapannya. Bagaimanapun suara menjadi kekuatan sandiwara ini.
Deretan aktor yang sering muncul di layar lebar berperan sebagai tokoh-tokoh dan narator dalam sandiwara tersebut, yakni Adinia Wirasti, Ario Bayu, Arswendy Bening Swara, Asmara Abigail, Atiqah Hasiholan, Chelsea Islan, Chicco Jerikho, Christine Hakim, Eva Celia, Iqbaal Ramadhan, Jefri Nichol, Kevin Ardilova, Lukman Sardi, Lulu Tobing, Marsha Timothy, Mathias Muchus, Maudy Koesnaedi, Najwa Shihab, Nicholas Saputra, Nino Kayam, Oka Antara, Pevita Pearce, Reza Rahadian, Rio Dewanto, Tara Basro, Vino G Bastian, dan Widi Mulia.
Hampir semua aktor menyatakan Sandiwara Sastra ini merupakan pengalaman baru bagi mereka. Hanya Chicco Jerikho yang pernah terlibat dalam sandiwara radio.
”Tetapi, sandiwara sastra baru kali ini. Saya membawakan karya Pramoedya, menjadi Diman, penarik gerobak. Sangat menantang ketika harus mengisi emosi dari kata-kata Pram, yang kita tahu bukan kata-kata biasa. Saya takut, tetapi sekaligus bersemangat,” ujarnya.
Bagi aktor-aktor muda, seperti Iqbaal Ramadhan, Jefri Nichol, Chelsea Islan, dan Kevin Ardilova, kesempatan ini mereka ambil untuk ikut memopulerkan karya sastra Indonesia di kalangan generasinya.
”Aku minim pengetahuan tentang karya sastra, jadi ingin mengenal lebih jauh. Aku juga ingin mengenalkannya ke generasi aku karena agak kurang disentuh,” kata Kevin.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid mengungkapkan, Sandiwara Sastra sangat penting karena bercerita tentang kita lewat karya sastra. ”Dulu sandiwara radio populer sekali, tetapi meredup. Ini tanda komitmen luar biasa untuk menghidupkan sandiwara dan sastra,” ungkapnya.
Menurut rencana, Sandiwara Sastra juga akan disiarkan lewat Radio Republik Indonesia agar dapat menjangkau publik yang lebih luas. Dengan demikian, seperti harapan Gunawan Maryanto, semakin banyak pengenalan karya sastra, pembacaan baru karya sastra, lalu reproduksi karya sastra.