Untuk pertama kalinya, The Fédération de la Haute Couture et de la Mode atau FHCM menyuguhkan pergelaran adibusana dalam format digital.
Oleh
Mawar Kusuma
·5 menit baca
Untuk pertama kalinya, The Fédération de la Haute Couture et de la Mode atau FHCM menyuguhkan pergelaran adibusana dalam format digital. Tradisi ”couture” atau adibusana yang lekat dengan sentuhan intim tatap muka desainer dan pencinta mode harus berkompromi dengan era pandemi. Disuguhkan lewat layar datar video di beberapa kanal digital, energi kreatif desainer justru meluap-luap.
Dulu penyajian adibusana bersifat eksklusif terbatas. Kini, Paris Haute Couture untuk musim gugur dan musim dingin 2020-2021 bisa disaksikan siapa pun. Pergelaran yang berlangsung tiga hari sejak Senin (6/7/2020) ini menyuguhkan karya desainer dari berbagai rumah mode yang bergabung dalam FHCM, yaitu badan di bawah Kementerian Perindustrian Perancis.
Tanpa kehadiran klien di landas peraga, desainer Maria Grazia Chiuri dari rumah mode Dior berinovasi menyuguhkan koleksi dalam film pendek Le Myth Dior. Dalam video itu, koleksi Dior tidak hanya berupa enam tampilan busana yang diperagakan model, tetapi juga diwujudkan dalam 37 busana manekin setinggi 55 cm yang akan dikirim ke calon pembeli potensial.
”Gambar surealis berhasil membuat terlihat sesuatu yang tak terlihat. Saya tertarik pada misteri dan sihir, yang juga merupakan cara mengusir ketidakpastian tentang masa depan,” kata Chiuri di laman Dior.
Misteri dan sihir dari dunia imajinatif dihidupkan dalam video berdurasi 15 menit. Film dimulai dari dunia nyata ketika para desainer dan pekerja Dior sibuk menjahit hingga mendandani manekin. Manekin mini berbusana couture lantas diusung dalam kotak berwujud rumah Dior oleh petugas kembar pria berseragam menuju hutan dongeng.
Hutan ajaib ini menjadi rumah bagi beragam makhluk mitos, seperti Nimfa si putri duyung dan Narcissus si patung. Ketika disodori miniatur busana cantik, Narcissus yang tadinya diam mematung lantas bergerak perlahan. Petugas kembar pun mengambil meteran dan mengukur tubuh Narcissus dan para makhluk fantasi untuk mewujudkan mimpi adibusana.
Mimpi terasa semakin indah dengan musik dari komposer dan konduktor Paolo Buonvino. Inspirasi koleksi lahir dari karya seniman surealis Lee Miller, Dorothea Tanning, Leonora Carrington, Dora Maar, dan Jacqueline Lamba. Warna-warni lukisan karya Leonora Carrington dan Dorothea Tanning, misalnya, dihidupkan melalui rona tampilan gradasi merah seperti terumbu karang yang bergoyang dalam kilau lautan.
Pengerjaan tangan
Setiap manekin diatur dalam set struktur rumit berwujud mantel, gaun berlipit, gaun tule hitam panjang, hingga gaun pengantin. Koleksi busana berwarna dominan coklat, misalnya, dibuat dari atasan penuh bordiran ala tahun 1920-an yang motifnya merepresentasikan binatang mikro di hutan. Bordiran menyatu dengan rok lipit dua lapis yang memberi efek tipuan mata serupa kelopak bunga.
”Konsep film sebagai karya seni dan media artistik selalu memikat saya. Saya sering berpikir untuk bereksperimen dengan film untuk mereproduksi atmosfer unik dari haute couture. Film adalah seni yang kreatif dan artisanal.... Ini sangat mirip dengan mode yang mudah beradaptasi,” ujar Chiuri.
Lahirnya busana pada manekin juga merupakan wujud adaptasi Dior pada zaman yang berubah. Konsep manekin mengadopsi pameran tur koleksi busana miniatur 15 desainer terkemuka yang disebut ”Le Theatre de La Mode” di era setelah perang dunia ke dua. Kala itu, bahan baku kain tidak tersedia, bisnis mode terpuruk, dan pasar adibusana menghilang.
Pameran yang terdiri dari 237 koleksi gaun pada miniatur boneka setinggi 70 sentimeter itu dimulai pada 1945 di Perancis dan kemudian dibawa ke seluruh dunia. Christian Dior lantas mendirikan rumah couture pada 1946 di Paris. Kembalinya konsep miniatur Theatre de La Mode menjadi cara luar biasa Dior untuk menegaskan kembali peran sentral Paris sebagai ibu kota adibusana.
Bekerja dalam skala kecil justru menawarkan kesempatan bagi para pengrajin Dior untuk kembali menggunakan teknik berharga, seperti bordir, kemewahan draping, dan ketepatan potongan ke milimeter terkecil. Sama seperti Dior, desainer Ulyana Sergeenko asal Rusia. Sergeenko kembali ke era 1940-an dengan rok dan gaun bersiluet klasik.
Video yang diambil di Moskwa mempertontonkan produksi sulaman tradisional yang disebut tusuk krestetskaya dalam koleksi monokromatik. ”Inilah DNA dari Rusia.... Tiap negara punya sejarah uniknya, dan inilah sejarah kami,” ujar Sergeenko dalam video.
Lompatan keyakinan
Bukan hanya dari Perancis dan Rusia, proses detail pengerjaan tangan pun disuguhkan desainer India, Rahul Mishra. Lewat video koleksi ”Butterfly People”, ia tak hanya berbicara tentang keindahan bordiran perajin India. Ia berupaya menjawab pertanyaan sederhana, tetapi sangat relevan: ”apa relevansi couture di era sekarang?”
Gagasan inti di balik kemewahan adibusana karya Rahul adalah mendorong pekerjaan berkelanjutan dari perajin. ”Kami cemas, seperti seluruh dunia, karena semuanya tampak tidak pasti. Namun, kami bersama dalam semangat. Couture terasa seperti lompatan keyakinan. Itu menyatukan kami,” kata Rahul di laman situsnya.
Rahul pun menunjukkan keindahan alam di tengah pandemi lewat masker kupu-kupu, bunga, dan burung bangau. Keindahan alam pula yang dihadirkan desainer Iris van Herpen yang kali ini hanya menampilkan satu tampilan berupa gaun putih berlapis-lapis yang diberi judul ”Transmotion”.
”Transmotion” merujuk pada perubahan bentuk. Perubahan ini berwujud gaun organsa sutra putih yang mekar berlapis-lapis. Lapisan tembus pandang berlipat hadir dalam batas-batas bentukan gelombang. Di bagian tengah dari gaun putih menyeruak garis-garis hitam serupa cabang.
Pembuatan garis yang dibuat dari satin itu dimunculkan secara detail dalam video, mulai dari proses potong dengan laser hingga jahit tangan. Menurut sang desainer, kisi geometris busana mengingatkan tentang kecenderungan umat manusia untuk menjinakkan alam.
Refleksi keajaiban alam juga dihadirkan Direktur Kreatif Ralph & Russo, Tamara Ralph. Berlimpah dengan warna cerah dari kuning keemasan, biru langit, warna lavender, dan fuchsia pink, koleksi ini menyuguhkan tujuh lokasi keajaiban dunia dengan detail siluet bunga yang rumit.
Lewat keajaiban alam, Tamara dan desainer lain mendorong pencinta mode untuk berlindung sejenak dari masa sulit pandemi ke dalam dunia fantasi. Mode kembali menjalankan peran sebagai medium pelarian dari realitas yang ada.
Melalui litani kesempurnaan serupa mantra yang dilantunkan berkesinambungan, mode menawarkan ruang untuk rehat sejenak.