Jadi Kapan Nikah? Entar Aja...
Badai Covid-19 memorakporandakan impian pasangan calon pengantin untuk segera bersanding di pelaminan. Bisnis jasa penyelenggara pernikahan pun terimbas luluh lantak.
Badai Covid-19 memorakporandakan impian pasangan calon pengantin untuk segera bersanding di pelaminan. Bisnis jasa penyelenggara pernikahan pun terimbas luluh lantak.
Namun, pandemi mengajarkan hal lebih utama, yaitu esensi pernikahan. Bukan semata pesta.
Semestinya, hari Minggu (21/6/2020) menjadi hari bahagia bagi Filani Olyvia (28) dan Gelar Ridho (28). Hubungan mereka akan memuncak di pelaminan. Namun, hari itu ternyata hanya menjadi hari biasa bagi keduanya di kamar kos masing-masing. Tak ada akad nikah, tak juga ada resepsi.
Pandemi Covid-19 yang menghantam Indonesia sejak Maret mau tak mau mengubah rencana pasangan yang hendak menikah, termasuk Filani dan Ridho. Kebijakan penjarakan sosial dan fisik untuk mengurangi risiko penularan meruntuhkan pernikahan impian sang calon pengantin.
Semula, Filani optimistis pernikahannya pada bulan Juni tetap bisa terlaksana. Sejalan dengan dikeluarkannya aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta, Filani mulai goyah. Terlebih, surat keperluan syarat menikah pun belum tuntas diurus.
”Tadinya mau awal tahun diurus setelah ada kepastian tanggal sejak tahun lalu. Tetapi, ada ketentuan surat KUA (kantor urusan agama) hanya berlaku tiga bulan. Eh, terus ada PSBB. Kebetulan kami berdua anak rantau. Semuanya harus diurus di daerah kami masing-masing. Jadi serba sulit,” ungkap Filani, Rabu (8/7), di Jakarta.
Sempat terpikir melanjutkan rencana dengan meresmikan secara agama lebih dulu, tetapi mendadak Ridho terkena pemutusan hubungan kerja. Keduanya pun berpikir ulang.
”Orangtua masih support buat tetap jalan aja. Rezeki enggak ada yang tahu. Tetapi, saat itu, aku enggak bisa begitu. Belum lagi kalau kemudian punya anak dengan kondisi seperti ini. Pernikahan itu, kan, setelah akad sebenarnya,” katanya.
Dengan berat hati, keputusan menunda pun diambil. Untungnya, wedding organizer (WO) yang sudah dipesan paham dan memberi kelonggaran. Apalagi kemudian Ridho kembali memperoleh pekerjaan. November nanti, keduanya akan mewujudkan mimpi hidup bersama.
”Kalau memang pandemi masih seperti ini, minimal akad dulu. Soal resepsi, sejak awal memang sederhana saja. Tetapi, kalau tidak memungkinkan, ya enggak apa. Dari sini jadi belajar juga lebih butuh dana darurat daripada sekadar pesta. Kami juga makin tahu masing-masing saat menghadapi masa sulit,” ungkap Filani.
Sabtu (27/6) seharusnya juga menjadi hari pernikahan Puput (31) dan Rio (37). Seluruh persiapan sudah beres sejak Maret. Kenyataannya, malam Minggu itu hanya mereka lalui dengan makan malam bermenu ramen dari restoran dekat apartemen Puput. Sembari makan, keduanya berbincang seraya tertawa-tawa getir.
Karena pandemi Covid-19, pernikahan ditunda hingga Desember. ”Kecewa, sih, tetapi mau bagaimana. Situasi tidak memungkinkan. Ada orangtua dengan komorbid, ada anggota keluarga lansia, ada anak-anak berisiko terpapar virus,” tutur Puput.
Terpukul habis
Merujuk data peristiwa nikah di Indonesia tahun 2020 dalam Sistem Informasi Manajemen Nikah Kementerian Agama, angka pernikahan turun drastis pada April dan Mei, yaitu 58.712 peristiwa dan 13.785 peristiwa. Ini sejalan dengan edaran Menteri Agama yang menghentikan sementara pengajuan permohonan pernikahan hingga 29 Mei. Masuk bulan Juni, jumlah pernikahan naik pesat menjadi 136.513 peristiwa.
Pasangan yang memilih melangsungkan pernikahan banyak menggelar pernikahan virtual, misalnya melalui aplikasi Zoom dan Instagram Live. Sebagian lagi dengan cara drive thru, atau memilih melakukan akad nikah di KUA atau di rumah dengan jumlah undangan terbatas sesuai ketentuan pemerintah.
Kondisi serupa terjadi di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, situs The Wedding Report meneliti pasangan pengantin yang berencana menikah sepanjang Maret-Desember 2020. Sebanyak 42 persen masih ingin menggelar pernikahan sesuai tanggal semula. Sementara 27 persen memilih menunda hingga 2021 dan 26 persen memutuskan mengganti tanggal pada akhir 2020.
Dampak penundaan pernikahan ini pun luar biasa. Husnul Fariz (39), fotografer lepas yang biasa memotret pre-wedding dan pernikahan di Balai Kartini hingga Hotel Mulia, ”menganggur” selama hampir 4,5 bulan. ”Sebelum pandemi, Sabtu-Minggu pasti ada. Sebelum dan sesudah Lebaran biasanya juga banyak. Begitu pandemi, semua ditunda. Habis. Enggak ada sama sekali,” ujarnya.
Baru awal Juli lalu Fariz mendapat pekerjaan memotret akad nikah. Itu pun dengan tarif di bawah standar. Untuk bertahan hidup, ia memotret ajang penggalangan dana untuk penanganan Covid-19, juga berjualan asinan Betawi dan rujak kuweni.
Pandemi juga memukul perias pengantin seperti Ivan Rivaldi. Biasanya, dia menerima enam order per bulan. Sejak pandemi, semua pekerjaan dijadwal ulang.
Andra Hanafiah, pemilik AL’S Catering, pun mengakui beratnya masa pandemi. Banyak konsumen membatalkan atau menunda pesanan hingga waktu tak pasti.
Biasanya, pesanan yang diterima AL’S Catering berkisar 4-10 order per hari. Pesanan itu termasuk katering untuk pernikahan, rata-rata sebanyak delapan order per bulan dengan jumlah konsumsi untuk 1.000 orang.
”Sejak pandemi, pesanan turun drastis. Enggak ada order katering pernikahan untuk undangan jumlah besar. Terakhir Maret,” katanya. Hingga kini baru dua pesanan katering pernikahan yang diterima AL’S Catering pada Juni lalu, untuk 20 orang dan 50 orang.
Edo Pratama, pemilik katering Qaqa Boga, juga terimbas. ”Sekarang tiarap. Sejak Lebaran sampai akhir Juni hanya dapat dua order. Itu juga bukan resepsi, tetapi shooting,” katanya.
Florist dan dekorator perkawinan Dina Touwani mengungkapkan, pandemi telah membuat pelaku bisnis WO terpukul habis. ”Ini termasuk parah karena dari hulu ke hilir, semua kena. Semua ’tiarap’,” ujarnya.
Dina terakhir kali menangani pernikahan pada 10 Maret. Setelah itu, ia lebih banyak direpotkan urusan perubahan jadwal pernikahan para klien. Sebagian mundur, sebagian menunda.
Jika tanggal baru yang dipilih tak lebih dari enam bulan, uang muka kembali 50 persen. Lebih dari 1 tahun, uang muka hangus. ”Karena kami, kan, sudah mulai bekerja. Sudah order barang dan lain-lain,” ujarnya.
Dina berusaha tak patah arang karena sadar dia tak sendiri. ”Justru dengan adanya Covid-19 ini muncul celah baru yang enggak kepikir. Dengan Zoom, live IG,” kata Dina.
Pengelola Payon Catering yang beroperasi di Bali, Megawati, memiliki pemikiran serupa. Meski pandemi menghantam usahanya, ia memetik hikmah luar biasa. ”Ya, belajar introspeksi diri. Selama ini sudah dikasih kenyamanan. Sekarang dikasih seperti ini. Ya, sabar. Terutama juga para calon pengantin,” ujarnya.
Tak semata pesta
Kecewa dan sedih pun melingkupi benak Dila Alifa Laila (22) yang terpaksa menunda pernikahannya dengan Nurchatami Sayyidina (22). Pandemi memaksa Dila menangguhkan rencana menggelar hajatan di rumah dan mengubah lokasinya di KUA untuk mengurangi keramaian.
”Awalnya, pernikahan akan dilangsungkan Agustus. Ditunda Januari 2021,” ucapnya.
Pranindya Rinastiti (30) dan pasangannya yang merupakan warga negara Jepang juga menunda rencana pernikahan mereka. Mestinya, Pranindya dan kekasih menikah awal Juli. ”Calonku sudah siap ke Indonesia, tetapi visa untuk orang asing dibekukan sejak April. Dia enggak bisa masuk Indonesia,” kata Indy.
Informasi mengenai nikah daring yang bisa difasilitasi KUA sempat memberi harapan. ”Tetapi, orangtua belum setuju kalau nikahnya enggak konvensional. Masih pengin nikahan seperti yang dulu-dulu. Jadi, ini entah nunggu sampai kapan,” ujarnya.
Menurut peneliti hubungan romantis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Pingkan CB Rumondor, pandemi sesungguhnya adalah stres yang datang dari luar, bukan stres yang datang dari dalam diri (internal).
”Hasil riset tentang stres eksternal, misalnya pada kondisi 9/11 di Amerika Serikat, atau bencana alam, berdampak pada relasi pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan atau baru menikah,” ucapnya.
Perubahan rencana pernikahan yang terjadi karena pandemi, ujar Pingkan, sangat wajar memunculkan frustrasi yang kemudian memperuncing perbedaan. ”Jadi stres eksternal bisa menjadi stres internal, yang kemudian bisa memperbesar masalah, khususnya pada pasangan yang belum memiliki pengalaman tinggal bersama, menjalani peran sebagai istri/suami, sehingga menimbulkan frustrasi,” ujarnya.
Situasi itu bisa semakin berat karena mereka pun masih harus mempertimbangkan reaksi kedua keluarga terkait keputusan mereka. ”Jadi tantangannya lebih besar. Apabila fondasi keduanya belum kuat, bisa membatalkan pernikahan. Sebaliknya, jika keduanya sudah memiliki kematangan kuat, bisa merekatkan,” kata Pingkan.
Secara terpisah, psikolog Roslina Verauli mengatakan, kunci pernikahan adalah kemampuan berkomunikasi dan menghadapi konflik. Menurut dia, apabila pasangan sudah mantap dan yakin masing-masing, secara emosional dan finansial, pernikahan pasti akan tetap dilangsungkan. Tidak terpengaruh orangtua atau lingkungan.
”Karena mereka menyadari keputusan berumah tangga adalah keputusan mereka berdua, bukan karena didorong ortu dan lain-lain,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut Vera, kondisi saat ini justru mengembalikan pernikahan pada esensinya. ”Yang terpenting itu, kan, the marriage, not the wedding,” kata Vera.