Di Balik Rencana Larangan Tiktok di Amerika Serikat
Kedaulatan data dan privasi sering disebut banyak negara sebagai dasar pertimbangan larangan terhadap aplikasi media sosial Tiktok. Namun, juga muncul dugaan bahwa ada motif politik domestik yang mendasarinya.

Ilustrasi logo Tiktok yang muncul di layar ponsel pintar. Ilustrasi ini diambil pada 6 Januari 2020.
JAKARTA, KOMPAS — Kedaulatan data dan privasi sering disebut banyak negara sebagai dasar pertimbangan larangan terhadap aplikasi media sosial asal China, Tiktok. Namun, muncul juga dugaan bahwa ada motif politik domestik yang mendasarinya.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) saat ini sedang mempertimbangkan untuk mengambil langkah melarang aplikasi media sosial asal China, Tiktok.
Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada awal pekan ini. Ia mengatakan bahwa Pemerintah AS sedang mempertimbangkan untuk melarang penggunaan aplikasi media sosial Tiktok di negara itu.
”Hanya jika Anda ingin informasi pribadi Anda dipegang oleh Partai Komunis China,” kata Pompeo ketika ditanya apakah sebaiknya masyarakat AS menginstal aplikasi itu.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo
Hal ini berdasarkan kekhawatiran terhadap perusahaan induk Tiktok, Bytedance, dapat diminta Pemerintah China untuk memberikan data penggunanya.
Pemerintah India pada beberapa pekan lalu juga telah melarang Tiktok atas dasar kekhawatiran yang sama. Sejumlah politisi Australia juga meminta Pemerintah Australia untuk melarang Tiktok, seperti yang dilaporkan Sydney Morning Herald.
Baca juga : India Larang Puluhan Aplikasi asal China, Termasuk Tiktok dan Mobile Legends
Namun, seperti yang dilaporkan Techcrunch pada Jumat (10/7/2020), pelaku bisnis di dalam Tiktok menilai tuduhan Pemerintah AS ini berkorelasi dengan politik domestik negara tersebut.

Salah satu akun Tiktok membagi suasana kampanye Presiden AS Donald Trump di BOK Center, Tulsa, Oklahoma, pada Sabtu (19/6/2020) waktu setempat. Lebih dari setengah kursi di gedung itu kosong. Para penggemar K-Pop dan pengguna Tiktok mengklaim sebagai orang yang ”mengerjai” Trump dengan memesan tiket kampanye, tetapi mereka tidak datang.
Menurut pendiri perusahaan manajemen talenta Shots Studios, John Shahidi, bukanlah suatu kebetulan ketika para pengguna Tiktok berkontribusi pada sepinya acara kampanye Presiden AS Donald Trump di Tulsa, Oklahoma, pada akhir Juni.
”Tidak ada pendukung atau akun resmi Trump di Tiktok. Tidak ada orang dekat Trump yang pengguna Tiktok. Sekarang mendekati pemilu, kemudian ada wacana pelarangan Tiktok,” kata Shahidi.
Baca juga : Ketika K-Popers Bersekutu dengan Gerakan Black Lives Matter
Shots Studios adalah sebuah perusahaan manajemen ”influencer” yang mengelola sejumlah akun di Tiktok dengan lebih dari seratus juta pengikut.
Tidak ada pendukung atau akun resmi Trump di Tiktok. Tidak ada orang dekat Trump yang pengguna Tiktok. Sekarang mendekati pemilu, kemudian ada wacana pelarangan Tiktok. (John Shahidi)
Namun, memang jenis data yang ”dipanen” oleh Tiktok dari penggunanya tergolong banyak. Salah satu yang menjadi sorotan akhir-akhir ini adalah praktik perekaman ”clipboard” pada ponsel. Clipboard adalah sebuah lokasi penyimpanan yang menyimpan teks yang anda ”copy”. Tiktok diketahui merekam setiap teks yang pengguna copy.

Notifikasi ”... pasted from Messages” pada iOS 14 Beta menunjukkan bahwa aplikasi yang sedang dibuka telah merekam isi teks yang baru Anda ”copy”. Dalam contoh ini, aplikasi yang sedang berjalan tersebut mengambil teks yang pengguna baru copy dari Messages.
Dalam sebuah surat kepada Pemerintah India, pada pekan lalu, CEO Tiktok Kevin Mayer mengungkapkan bahwa pihaknya belum pernah mendapat permintaan dari Pemerintah China terkait dengan data penggunanya.
”Apabila kelak mendapatkan permintaan itu, kami tidak akan menuruti permintaan Pemerintah China,” kata Mayer.
Dalam surat tersebut, Mayer juga mengatakan bahwa pihaknya akan berencana membangun sebuah fasilitas pusat data di India. ”Privasi pengguna, kedaulatan dan keamanan India sangat penting bagi kami,” kata Mayer.
Diwajibkan bekerja sama
Undang-undang Intelijen Nasional China (National Intelligence Law) menjadi simpul kekhawatiran ini. Menilik dokumen undang-undang yang disahkan pada 27 Juni 2017, setiap warga negara dan organisasi China memang diminta mendukung upaya intelijen negara.
”Setiap organisasi ataupun warga negara harus mendukung, membantu, dan bekerja sama dalam upaya intelijen negara sesuai dengan hukum yang berlaku, serta menjaga rahasia intelijen nasional,” bunyi Article 7 undang-undang tersebut.
Norma ini kembali dikuatkan pada Article 14. Artikel tersebut menyatakan bahwa setiap badan intelijen negara diperkenankan untuk meminta organisasi dan warga negara untuk memberikan dukungan, bantuan, dan kerja sama yang dibutuhkan.
Namun, hal ini tidak selalu terjadi. Surat kabar Financial Times pada September 2019 melaporkan bahwa Tencent dan Alibaba menolak bekerja sama dengan Pemerintah China.
Pemerintah China saat itu sedang membangun sistem kredit nasional dan membutuhkan data finansial dan perbankan dari para pengguna layanan Tencent dan Alibaba. Kedua perusahaan itu menolak.
”Korporasi China tidak langsung berarti Pemerintah China atau Partai Komunis China. Dan, perusahaan China memiliki kepentingan komersial masing-masing yang harus mereka lindungi sendiri,” kata pakar hukum China Universitas Yale AS, Samm Sacks, seperti yang dilaporkan CNN pada Kamis (9/7/2020).
Larangan berkontrak
Pemerintah AS juga dilaporkan sedang melakukan finalisasi terhadap kebijakan larangan pemerintah federal untuk berkontrak dengan perusahaan yang menggunakan produk ataupun jasa dari sejumlah perusahaan China.
Perusahaan China yang dimaksud antara lain Huawei, Hikvision, Hytera, Dahua, dan ZTE. Pada umumnya, ini adalah perusahaan teknologi; dari peralatan jaringan internet hingga radio dan kamera pemantau. Para perusahaan kontraktor ini diberi waktu hingga 13 Agustus 2020 untuk mematuhi aturan ini.

Dalam dokumen foto yang diambil pada 22 April 2020 ini, orang berjalan melewati toko Huawei di Beijing. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump mengatakan pada 15 Mei 2020, pihaknya akan membatasi kemampuan raksasa telekomunikasi China Huawei, yang dianggap sebagai risiko keamanan nasional, untuk mengembangkan semikonduktor di luar negeri dengan teknologi AS.
Pejabat kantor staf presiden AS, Russel Vought, mengatakan, pemerintah Trump berkomitmen melindungi pemerintah melawan jaringan kriminal seperti Huawei. ”Ada ancaman infiltrasi besar yang mengancam negara kita dari musuh seperti China, saat ini,” kata Vought.
Baca juga : AS Kembali Tekan Huawei
Larangan ini pertama kali diperkenalkan sebagai aturan teknis dalam undang-undang National Defense Authorization Act pada 2019.
Pada prinsipnya, regulasi yang akan dikeluarkan ini melarang kementerian dan lembaga negara untuk bekerja sama dengan perusahaan yang menggunakan peralatan, jasa, dan sistem dari Huawei, ZTE, Hytera, Hikvision, dan Dahua, termasuk anak perusahaan masing-masing atas dasar pertimbangan keamanan dan pertahanan nasional.
AS tidak menjadi satu-satunya negara yang melarang Huawei. Pada Kamis, perusahaan telekomunikasi terbesar Italia, Telecom Italia (TIM), memutuskan untuk mengecualikan Huawei dari perusahaan yang diperbolehkan mengikuti tender pengadaan peralatan jaringan 5G di Italia dan Brasil. (REUTERS)