Komedi Pelipur Hati di Tengah Pandemi
Selama pandemi Covid-19, imbauan kaku agar tetap di rumah dan menerapkan protokol kesehatan rentan terabaikan. Justru pilihan penuh tawa hingga kedekatan kedaerahan yang disampaikan di media sosial, kerap bermakna beda.
Selama pandemi Covid-19, imbauan kaku agar tetap di rumah dan menerapkan protokol kesehatan rentan terabaikan. Justru pilihan penuh tawa hingga kedekatan kedaerahan yang disampaikan di media sosial, kerap memberi makna berbeda.
Tong so cong conge (Mohon perhatian)
Ceuk aing ge Isuk-isuk kuduna lobha moyan (Kata saya juga, setiap pagi harus banyak berjemur)
Ceuk aing ge, naragog di gogobrog ku ngajaredog (Kata saya juga, diam di rumah saja)
Bishi aya corona virus, mbeh corbana teu lobha (Khawatir ada virus korona agar korbannya tidak bertambah banyak)
Dialog itu ada dalam video parodi berujudul ”Abhi Ge Samidha” yang diunggah akun Instagram @deonsetiadinata, sejak Sabtu (18/4/2020). Durasinya semenit tapi harumnya jauh lebih lama. Rekaman penyiar televisi membawakan berita itu relevan dan menghibur banyak orang di tengah pandemi Covid-19 ini.
Deon Setiadinata (30) adalah sosok di balik semuanya. Idenya datang dari kegelisahan. Saat Covid-19 mewabah, banyak orang di sekitarnya nekat beraktivitas di luar rumah. Protokol kesehatan juga hanya angin lalu.
”Masyarakat tampaknya kurang mendengar imbauan yang sering disampaikan lewat siaran televisi. Padahal, virus korona ini masalah serius,” kata Deon, yang punya nama beken Kang Dae-on.
Kegelisahan itu yang membawanya pada sosok mirip penyiar televisi legendaris Korea Utara. Deon juga menggunakan kostum mirip hanbok, pakaian tradisional Korea. Padahal, kain itu adalah properti Deon saat bekerja di salah satu restoran siap saji. Gambar latar belakangnya dipikirkan benar. Bukan Gunung Paektu di perbatasan China-Korea Utara, melainkan Gunung Tangkuban Parahu di Jawa Barat.
Baca juga: Komunikasi Tepat Dukung Masyarakat Kuat Hadapi Covid-19
Tata rias pun tak luput dari perhatian. Tampil menor, ia meminjam bedak dan lipstik milik ibu atau adiknya. Deon memasang mimik muka tegas dan kaku saat membawakan perannya.
Digarap serius, butuh dua hari menyelesaikan konten itu. Proses dimulai dengan pembuatan naskah percakapan, pemilihan diksi yang pas cukup menguras waktu.
Tak semua kata dalam bahasa Sunda cocok dilafalkan dengan aksen Korea, begitupun penekanan beberapa kata disesuaikan agar pas. Namun, di sana letak keseruannya. Perpaduan ini diberi nama Korsundeo (Korea-Sunda).
Misalnya pada teks bawah video tertulis ”Meoni sarrieun? Abhi ge shamida”, dalam percakapan sehari-hari akrab diucapkan ”Meni sieun? Abdi oge sami da” (Takut? Saya juga sama, kok)
Sebelum video diunggah ke media sosial, keluarganya bertugas jadi juri penilai kelucuan. ”Kalau ibu tertawanya ngakak banget, itu indikator videonya beneran lucu. Keluarga saya terhibur, semoga orang luar juga merasakan hal sama,” kata Deon.
Ternyata ibunya tertawa ngakak. Ujungnya video itu kini bisa dinikmati seantero dunia. Deon sadar, yang ia lakukan mungkin tidak bisa memperbaiki perilaku manusia Indonesia menghadapi pandemi. Namun, ia yakin, imbauan yang dibungkus dengan canda bisa memberikan makna luas.
”Kalau mereka tertawa kan sekaligus mengurangi stres di tengah situasi ini,” ujarnya.
Kalau ibu tertawanya ngakak banget, itu indikator videonya beneran lucu. Keluarga saya terhibur, semoga orang luar juga merasakan hal sama
Pendekatan unik lainnya dibuat akun YouTube, Ucup Klaten. Video yang diunggah Rabu (22/4/2020) berjudul ”Gagal Mudik” itu bercerita tentang kerinduan anak rantau pada ibunya di rumah. Percakapan Ucup, anak itu, yang ingin pulang kampung saat pandemi dengan simbok Minto, ibunya, jadi daya tarik utamanya.
Alih-alih disambut bahagia, keinginan Ucup tak berbalas. simbok tegas menolak. ”Rasah mulih wae to le, lagi eneng usum virus (Jangan pulang dulu, ya, nak, sedang ada musim virus),”
Adu argumentasi mewarnai dialog itu. Ucup berkeras pulang karena merasa sehat dan tidak membawa virus. Simbok pun membalas, tak ada yang menjamin kepulangan Ucup nanti bebas dari Covid-19 atau malah membawa virus bagi orang rumah.
”Opo ora mesakke simbokmu iki ? (apa tidak kasihan pada ibumu ini?),” ujarnya lirih. Tak selang lama, simbok menambahkan, ”Rasah mulih le, sing penting duitmu mulih. Nomor ATM ku tok simpen to? (Tidak usah pulang, ya, nak, yang penting uangnya saja yang pulang. Nomor ATM-ku masih kamu simpan, kan?)”.
Tantangan terberat adalah editing. Saya harus menggabungkan rekaman video kata-per-kata yang diucapkan simbok agar tampak menyatu natural
Video dagelan berdurasi 6 menit 27 detik itu buatan Muhammad Sofyan (32), akrab disapa Ucup, kini begitu familiar. Tak hanya Ucup, sejumlah orang juga menahan rindu pulang kampung, meski tetap saja ada orang-orang nekat yang tak berpikir panjang
Sejak setahun lalu, Ucup menggandeng simbok untuk menjadi salah satu pemeran dalam video dagelannya. Simbok yang bernama asli Minto Syam (84) adalah tetangganya. Dia tinggal 50 meter dari rumah Ucup di Desa Krakitan, Bayat, Klaten, Jawa Tengah.
Ucup kerap mampir ke rumah simbok dan mengobrol ngalor-ngidul. Karakter simbok yang lucu dan bersuara kencang menjadi bekal awalnya.
Seluruh video lahir dari hasil kreativitas Ucup, termasuk isu-isu pandemi. Semua adegan direkam dan diedit menggunakan telepon pintar.
Proses penggarapan video ini tak mudah. Ucup harus mendikte dialog kepada simbok, kata demi kata. Terkadang simbok merespons percakapan dengan jawaban unik, maklum pendengarannya tidak setajam dulu.
”Tantangan terberat adalah editing. Saya harus menggabungkan rekaman video kata per kata yang diucapkan simbok agar tampak menyatu natural,” kata Ucup. Sejauh ini kolaborasi Ucup-simbok berhasil. Tanpa mengumbar kejahilan dan pamer kekayaan, video mereka menarik mata jutaan orang.
Baca juga: Manfaatkan Komunikasi untuk Mendorong Pemulihan Pariwisata
Kunto Adi Wibowo, pakar komunikasi politik dari Universitas Padjajaran Bandung, mengatakan, pendekatan Deon dan Ucup sangat tepat. Pemilihan konten yang sedang ramai dibicarakan, pendekatan bahasa daerah, hingga eksekusi jujur dan penuh canda memudahkan transfer informasi pada masyarakat. Pendekatan lewat media sosial juga sangat tepat. Media sosial, kini dinilai Kunto, menjadi tempat efektif menyampaikan imbauan.
”Bentuk penyampaian informasi juga berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat. Mayoritas orang lebih mudah menyerap informasi yang disampaikan secara visual, seperti poster, gambar, atau video,” katanya.
Dilihat lebih banyak ketimbang juru bicara pemerintah terkait Covid-19, hingga kini, Deon dan Ucup masih belum berhenti berkreasi dengan video yang menghibur tanpa melupakan edukasi. Belum lama ini, Deon mengunggah video parodi berjudul ”Imbauan dari Korea untuk Warga Jawa Barat”.
Deon menyampaikan agar warga tetap menerapkan protokol kesehatan saat memasuki normal baru. Kebiasaan-kebiasaan baru kembali diingatkan Deon dengan raut yang serius.
Tong sasalamann (jangan bersalaman)
Mun pateppang, kuddu radda dianggangan (Kalau bertemu harus bisa jaga jarak)
Begitu kata Deon. Raut mukanya serius.
Bentuk penyampaian informasi juga berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat. Mayoritas orang lebih mudah menyerap informasi yang disampaikan secara visual, seperti poster, gambar, atau video
Ucup juga masih produktif dengan video dengan pesan edukasi. Hal itu bisa terlihat dari jadwal padat Ucup dan simbok. Dalam seminggu, ada 2-4 video baru yang diunggah ke Youtube.
Minto Syam pun kelihatannya lebih bahagia. Ucup mengpresiasi peran Minto sebagai pekerja seni, Rp 200.000-Rp 300.000 per adegan. Upah itu 10 kali lebih besar dibandingkan upah harian yang diterima simbok setelah mencabuti rumput di tempat tetangganya.
”Mei 2020, bayaran yang diterima simbok meningkat hampir 3 kali lipat karena banyak tawaran iklan,” kata Ucup.
Deon, Ucup, hingga Minto tak pernah menyangka video-video yang dibuatnya bakal viral dan direspons beragam lapisan masyarakat, mulai dari artis, pemimpin daerah, hingga perantau di luar negeri. Niat baik menghadirkan hiburan bermakna di tengah pandemi semoga berdampak luas, kini dan nanti.
Baca juga: Pola Komunikasi Pemerintah Selama Pandemi Covid-19 Picu Ketidakpercayaan Publik