Ini Era Daster ”Couture”
Siapa peduli baju model apa yang kita kenakan di saat susah seperti ini? Walakin, tinggal di rumah atau bekerja dari rumah tidak berarti kita tidak bisa bergaya, kan?
Siapa peduli baju model apa yang kita kenakan di saat susah seperti ini? Walakin, tinggal di rumah atau bekerja dari rumah tidak berarti kita tidak bisa bergaya, kan? Para pelaku bisnis mode dan desainer merengkuh kebiasaan mode baru dengan kenyamanan sebagai kunci.
Rok terusan longgar dengan warna dominan coklat kekuningan itu terlihat cantik dengan sentuhan garis-garis lurik. Bagian lengan juga longgar, dengan aksen garis-garis senada. Tampilannya sederhana, fungsional, tetapi tidak kehilangan estetikanya.
Perancang busana tersebut, Musa Widyatmodjo, menjulukinya sebagai daster couture. Daster tapi keren. Bahannya adem, seperti ”roh” daster pada umumnya. Bedanya, daster ini didesain dengan mengutamakan kebutuhan untuk tampil cantik dari pinggang ke atas.
Musa memilih busana dengan potongan longgar, seperti gamis, gaun, tunik, blus, dan celana karet. Warnanya bernada lembut. Daster itu diberi aksen kerah, bordir, atau renda yang tidak berlebihan.
Dengan cara ini, daster couture berlabel M by Musa itu nyaman dipakai sehari-hari di rumah, tetapi representatif dipakai bekerja lewat panggilan video atau aplikasi rapat. ”Dunia berubah. Fleksibilitas mendesain penting. Bukan lagi pakaian yang punya cerita, pakaian yang membawa mimpi. Orang makin sadar apa yang penting dalam hidup,” ujar Musa.
Daster couture ini harganya Rp 225.000, padahal produk M by Musa biasanya mencapai Rp 1,5 juta. Musa mengatakan, sekarang bukan saatnya orang menghabiskan uang sebanyak itu untuk baju.
Kreativitas Musa ini seakan menandai era baru berbusana yang muncul akibat pandemi Covid-19. The New York Times (4/6/2020) dalam artikel ”This is Not the End of Fashion” menyebutkan, busana menjadi sinyal terbitnya era baru, terutama setelah periode perang, pandemi, dan resesi. Masa-masa traumatis rupanya menghasilkan momen kreativitas seiring upaya kita untuk mencerna apa yang telah kita lalui.
Contohnya desain New Look yang ditampilkan Christian Dior menyusul selesainya Perang Dunia II pada 12 Februari 1947 di Paris, Perancis. Debut koleksi adibusana itu menandai evolusi berbusana kaum perempuan dari model yang telah terbentuk pada masa sebelumnya.
Mode semasa pandemi dan masa-masa setelahnya sepertinya memiliki napas serupa. Dilatari keterbatasan gerak sehari-hari, kemerosotan ekonomi, berikut perhatian terhadap keselamatan dari penyakit, busana dan aksesori yang menyertainya bakal merepresentasikan gaya baru.
Gaya ”Satu Mil”
Di banyak negara dilaporkan meningkatnya permintaan baju santai (loungewear). Kaus, piama, kimono, baju, atau celana longgar dengan karet di pinggang, seakan menyerukan betapa kenyamanan sangat dicari orang di masa krisis. Baju santai ini tentu tak lantas berkonotasi lusuh, serampangan, dan apa adanya. Bicara mode bagaimanapun tetap bicara soal gaya.
Jenama asal Jepang, Uniqlo, merilis koleksi One-Mile Wear. Konsepnya berangkat dari gagasan pakaian minimalis yang nyaman dikenakan di rumah, tetapi relevan untuk beraktivitas di sekitar tempat tinggal. Ibaratnya hanya berjarak satu mil dari rumah.
Seiring tibanya normal baru, tren berpakaian gaya One-Mile Wear mulai digemari. Koleksi ini terdiri dari aneka kaus dan bawahan santai yang nyaman dan minimalis. ”Berbagai jenis T-shirt dan bottom loungewear mengedepankan kenyamanan, desain, dan kualitas. Contohnya T-shirt U crew neck yang terbuat dari bahan katun yang fleksibel, kuat, dan tahan lama, serta berkarakter kokoh dan klasik,” kata PR Manager Uniqlo Indonesia Stefanie Saragih.
Kenyamanan bawahan didapatkan dari pinggang berkerut dan bertali. Potongan longgar dan motif segar, seperti bunga dan garis, memudahkan koleksi ini diadopsi untuk bermacam gaya.
Sare Studio juga kebanjiran pesanan. Bisnis mode yang mengkhususkan pada baju tidur dan baju rumahan ini mendadak meledak penjualannya akhir Maret lalu. Pada Selasa (30/6), di kantor Sare Studio terlihat kesibukan anggota tim yang tengah menggarap desain motif baru. Anggota lain tekun memeriksa pesanan baju dan mempersiapkan pengiriman.
Konsep dan model baju tidur dan baju rumahan yang dikembangkan Sare Studio multifungsi. Berbahan rayon dengan model piama dan night dress yang apik, tiap produknya dapat pula dikenakan di luar rumah saat mengantar anak sekolah atau berbelanja tanpa terlihat lusuh.
”Ada cerita, bos suamiku awalnya enggak mau mengaktifkan video saat Zoom meeting karena merasa enggak representatif. Setelah mencoba (koleksi) Sare, dia sering mengaktifkan video. Model atasan bajunya itu kayak kemeja,” tutur Cempaka Asriani, salah satu pendiri Sare Studio.
Desainer Ria Miranda tak ketinggalan mulai merilis baju rumahan dan bergo instan untuk perempuan Muslim yang harus menghabiskan waktu dan bekerja di rumah saja sejak pandemi. Ini terinspirasi dirinya yang mencari pakaian nyaman, tapi tetap terlihat modis. ”Aku lebih suka kerja di rumah, atau berkebun. Butuh kerudung instan. Bahannya dari yang sudah ada, tetapi tetap ada ciri khas Ria Miranda. Untuk keluar rumah, aku coba bikin abaya simpel,” tuturnya.
Serasi masker
Pakaian rumahan yang bisa sekaligus dipakai bekerja, berkebun, memasak, dan berbelanja juga menjadi pilihan desainer Lia Mustafa. Saking tingginya permintaan, busana rumahan lantas menjadi divisi baru dari House of L’Mar miliknya. Awalnya, desainer yang tinggal di Yogyakarta ini hanya ingin membantu memasarkan pakaian rumahan dari perajin batik dan pedagang di Pasar Beringharjo.
”Cepat banget habis. Biasanya baju saya berat, ini ringan. Paling enggak, pilihan motif dan kualitasnya ala desainer,” ujar Lia.
Berhubung laku keras, Lia mulai merancang busana rumahan berbahan batik tulis dan batik cap, lalu dipadukan dengan masker. Ciri khas desainnya tetap tersemat, misalnya pada warna tegas dominan hitam, putih, coklat, dan hijau. Karakter kemandirian tergambar dari aplikasi resleting di bagian masker, sebagai hiasan atau jalan memasukkan tisu penyaring virus.
Padu padan serupa dilakukan desainer Lenny Agustin. Sesuai karakter desainnya, Lenny membuat masker bernuansa ceria dengan karakter kartun kuda poni.
”Saya pernah bekerja sama dengan My Little Pony. Ke depan, orang masih akan pakai masker meskipun sudah tidak pandemi. Masker juga jadi style,” ungkapnya.
Lenny dikenal dengan rancangannya yang penuh warna, bernuansa ceria, dan jenaka. Beberapa unggahan di akun Instagramnya menampilkan baju bernuansa ungu-pink-biru muda dengan aksen kuning terang, berikut masker senada. Tertulis dalam koleksi itu ”Stay safe in style”.
Berkarung-karung bahan sisa rancangan sebelumnya dimanfaatkan Lenny untuk membuat masker yang sudah mencapai lebih dari 1.000 pesanan. Bahannya berkualitas, dari wastra tradisional Indonesia, seperti batik dan tenun, yang akan mudah dipadu-padankan dengan koleksi batik yang sudah dimiliki konsumen.
Padu padan busana dengan masker memang menjadi tren baru mode di dunia. ”Duta” padu padan busana-masker ini di antaranya adalah Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi dan Presiden Slowakia Zuzana Caputova. Mereka sering terlihat tampil di depan publik mengenakan busana serasi dengan maskernya.
Pelosi, misalnya, mengenakan setelan celana dan luaran warna merah muda, demikian pula maskernya. Tampilan warna fuschia diberi masker merah motif flora. Adapun Caputova mengenakan setelan rok dan blazer merah, semerah maskernya.
Sebuah jenama asal Italia, Elexia Beachwear, bahkan meluncurkan koleksi trikini, yakni bikini plus masker dengan motif senada. Pemiliknya, Tiziana Scaramuzzo, yang semula hanya bercanda dengan trikini, sekarang kebanjiran pesanan.
Berbagai kreasi para desainer ini bermuara pada perasaan menyenangkan, yang penting kita miliki dalam hati di masa yang mengkhawatirkan ini. Bukankah salah satu unsur mode adalah fun alias menyenangkan?